Mata Dunia Melirik Gayo

oleh
Gempa Gayo dalam rekaman lensa ibu Ani Yudoyono.

Gempa Gayo (bagian III)

Catatan: Aman ZaiZa

Gempa Gayo dalam rekaman lensa ibu Ani Yudoyono.
Gempa Gayo dalam rekaman lensa ibu Ani Yudhoyono.

Gempa Gayo, pada awal Juli lalu menyisakan banyak luka. Setidaknya 42 nyawa melayang dan hingga saat ini masih ada enam orang hilang bersama amblasnya Serempah, perkampungan mereka ditelan bumi.

Cerita pilu siang 2 Juli itu rasanya tak mudah dilupakan begitu saja oleh masyarakat Gayo. Masyarakat yang sedang larut dengan aktivitas mereka di kebun, terhentak dan seketika itu pula tanah-tanah amblas bersama rumah-rumah mereka.

Setelah sepekan cerita itu berlalu,Gayo dikunjungi orang nomor satu di republik ini. Presiden yang didampingi ibu negara Ani Yudhoyono langsung menjumpai para pengungsi di Kecamatan Ketol, Aceh tengah.

Praktis, dapat dikatakan, pascakunjungan SBY ke Ketol, Aceh Tengah sambil mendengar dan bermain bersama anak-anak disana. Mata dunia terus melirik Gayo. Gempa yang awalnya hanya berstatus “bencana lokal” jika tak salah menterjemahkan makna pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi, sehari pascagempa terjadi, menjadi bencana dunia.

Mengapa, hal ini terlihat dari banyaknya sorotan dunia akan gempa Gayo dan banyak pakar menjadikan gempa Gayo sebagai bahan analisis ilmiah terhadap dinamika gempa dunia dan efeknya pada daerah lainnya di Indinesia yang berada pada satu jalur gempa.

Efek gempa ini membuat simpati nusantara dan dunia, berbagai daerah, provinsi di Indonesia ikut merasa luka atas duka Gayo, sehingga secara simultan penggalangan bantuan itu terus mengalir, tanpa ada batasan dan komando.

Sejumlah Negara Arab di kawasan timur tengah misalnya, ikut prihatin dengan menyalurkan berbagai bantuan, mulai dari kurma yang merupakan buah pelepas rasa dahaga dan lapar, juga ada yang berniat untuk membangun masjid di kampung yang terkena gempa.

Niat membangun masjid ini terutama dari komunitas muslim di Turki. Hanya saja, sejauh ini kepastian pembangunan masjid itu masih menunggu perkembangan nantinya. Dan masyarakat turki sudah siap untuk itu.

“Kawan-kawan dari Turki ingin membantu membangun masjid di Aceh Tengah, terutama di perkampungan yang terkena gempa,” ujar seorang teman penulis yang pada masa tsunami di Aceh aktif melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan komunitas muslim internasional.

Perhatian dan curahan kasih sayang dicurahkan masyarakat nasional dan dunia ini harus bisa menjadikan masyarakat Gayo menjadi suku bangsa yang mandiri. Sebab, tidak selamanya bantuan itu akan terus mengalir dan tidak selamanya juga kita (urang Gayo) sebagai orang yang menengadahkan tangan.

Syukur, rasa bangkit itu kini kian tumbuh meski ada dan tanpa bantuan pihak lain. Laksana ikon orang Jepang yang menyemangatkan anak-anaknya untuk bangkit Ganbatte. Sehingga bisa kembali sejajar dan melebihi Negara-negara lain di dunia. Jepang tidak lama larut dalam keterpurukan pasca pengeboman Hiroshima pada akhir perang dunia ke II.

Ganbatte ini juga yang bisa mempercepat keterpurukan Jepang, pasca gempa Kobe pada tahun 1995. Daerah Kobe yang nyaris rata dengan tanah kini bisa bangkit menjadi daerah maju dan menjadi salah daerah kunjungan wisata terbesar di Jepang.

Masa keterbukaan wilayah ini juga dialami Aceh, khususnya  Banda Aceh pascatsunami. Sehingga banyak pendapat yang menyatakan, Banda Aceh pra gempa dan tsunami 2004, jauh lebih maju dari saat ini pascagempa dan tsunami.

Saya yakin, sebagai bangsa yang ulet, pekerja keras dan pantang menyerah yang melekat dalam darah urang Gayo, kawasan Gayo yang terkena bencana gempa ini akan bisa bangkit kembali untuk mensejajarkan ketertinggalan pembangunan pascagempa dengan daerah lainnya di Aceh bahkan dengan daerah lainnya di Indonesia.

Terlebih lagi kita memiliki potensi alam yang teramat kaya. Laksana ungkapan, bahwa Gayo adalah sekeping tanah daru surga, maka potensi alam yang sangat kaya ini akan bisa terus berkembang. Gayo yang terkenal dengan kopi, wisata alam seperti Lut Tawar, Pantan Terong dan banyak lagi potensi bisa akan kembali bangkit.

Jika sebelumnya, orang datang ke Gayo untuk menikmati wisata agro dan kuliner dengan kopinya, serta wisata alam dengan Lut tawar, bukan tidak mungkin nantinya akan ada andalan baru yakni wisata 6,2 SR.

Apa maksudnya wisata 6,2 SR? ini bermakna nantinya Gayo menjadi andalan distinasi wisata Indonesia untuk wisata sejarah, riset/penelitian serta museum Gempa Gayo. berbagai peneliti dari nusantara bisa saja menjadikan Gayo sebagai penelitian sejarah gempa tektonik, bisa juga menjadi laboratorium riset atau penelitian akan gempa tektonik.

Dengan datangnya masa keterbukaan, dimana siapa saja bisa datang ke Gayo untuk berbagai keperluan, tentunya ini juga harus bisa disikapi dengan bijaksana, dan dengan nalar dan akal sehat pula. Sebab bukan tidak mungkin misi jelek juga ikut terbawa di dalamnya, seperti halnya pengalaman daerah-daerah bekas bencana di Indonesia ini, termasuk Aceh pascagempa dan tsunami.

Sekali lagi saya ulangi, sebagai bangsa yang ulet, pekerja keras dan pantang menyerah yang melekat dalam darah urang Gayo, saya yakin kita segera bangkit dari keterpurukan dan duka nestafa.

Semangat bangkit tu sudah sejak lama ada dan mengakar di tubuh masyarakat Gayo. Buktinya, almarhum AR Moese sedari awal mengingatkan kita  akan kebanggan Tanoh Gayo dan menyemangati kita untuk bisa bangki.

Lagu Tawar Sedenge yang menjadi lagu wajib Gayo, menjadi refleksi kita untuk segera bangkit kembali:

………

Pengen ko tuk ni korek so
Uwet mi ko tanoh Gayo
Seselen pumu ni baju netah dirimu

Nti daten bur kelieten
Mongot pude deru
Oya le rahmat ni Tuhen ken ko bewenmu

Uwetmi ko tanoh Gayo
Semayak bajangku
Ken tawar roh munyang datu uwetmi masku

Ko matangku si mumimpim
Emah ko uyem ken soloh
Katiti kiding nti museltu
ilahni dene

…….

Insya Allah, kita segera bangkit kawan…bersambung

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.