Meh Kupi Meh Sen

oleh

Oleh : Kenara Seni*

Musim panen kopi sudah tiba, cipratan rezeki dari maha kuasa mengalir ke segala pelosok negeri. Urat nadi kehidupan ini tak jadi berhenti, karena asa itu masih ada dibalik kaca bening.

Nami-nami masih menempel disisi dedaunan kopi. Saat terik mentari menyapu bersih bersama angin. Terselip mutiara hitam di antara dedaunan, berjuntai menampakkan diri bagai demonstrasi.

Uwah wan ulung, reflek sapaan seorang pemetik kopi. Seolah komunikasi itu menyahuti sapaan batang kopi. Rawat aku, belai aku, rinduku tulus di hati tak ada basa basi.

Suket wan are, mimpi itu tidak terlalu tinggi hanya memenuhi sesuap nasi, sebagiannya lagi dikirim untuk buah hati yang lagi mengaji sebagai santri.

Cabang ranting kering mempongi, terjadi saat akhir musim, daun hijau menguning, layu, gugur tersembab menjadi beje. Harapan pupuk subsidi dinanti harus melewati proses administrasi.

Bukit terjal Arul Relem bukti topografi terhampar disegala sisi perkebunan kopi. Menanti pergantian musim untuk mempersiapkan bunga dan mutik. Hasil panen kali ini hanya cukup makan hutang sedikit.

Mawah namat empus jema, saat hak kami di korupsi di negeri ini, kami ikhlas dan mendoakan agar anak dan istri menari di atas luka ini. Lika liku dilalui dengan senang hati karena ada jagung dan ubi pengganti nasi.

Meh kupi meh sen. Tawaran pekerjaan menanti seperti munos galong lede, munebes empus jema, semua dihadapi untuk menjaga lambung tetap terisi. Semoga selamat dunia dan akhirat bagi pemilik jas dan dasi melakukan negosiasi.

Sa si ngok ileti, gugur daun, gugur bunga. Curah hujan terlalu tinggi dampak perubahan iklim sudah terjadi, inflasi dan harga kebutuhan pokok tinggi. Lebih baik mati besok dari pada hari ini.

(Pantan Terong, 21 Oktober 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.