Oleh : Fauzan Azima*
KALAU saja Kepala Dinas Kesehatan Aceh Tengah, Yunasri, tidak dipanggil ke Polda Aceh pada 20 Oktober 2023, kita tidak pernah tahu soal dugaan kejahatan penyalahgunaan dana zakat. Usut punya usut, ternyata kepolisian sudah memeriksa sejumlah pejabat di lima dinas.
Kelima dinas itu adalah Dinas Keuangan, Dinas PUPR, Dinas Permukiman, Dinas Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) dan teranyar Dinas Kesehatan. Naga-naganya, menyusul tiga dinas lagi. Kepolisian masih merahasiakan dinas mana yang bakal menerima undangan wawancara.
Panggilan selanjutnya tentu tidak bakal mudah. Biasanya panggilan kedua untuk pejabat dilakukan setelah aparat penegak hukum menemukan unsur kejahatan yang dilanjutkan dengan peningkatan status menjadi tersangka. Pada hakikatnya korupsi, nikmat membawa sengsara.
Para kadis yang akan diwawancarai itu harus membawa dokumen; SK CPNS, SK PNS, SK Jabatan, SK Pelaksana Kegiatan Tahun 2022, Laporan Realisasi Anggaran 2022, Kontrak Kegiatan, Dokumen Pembayaran (SPM dan lampirannya) dan SP2D.
Membaca dokumen yang harus dibawa tidak ada celah bagi para kadis yang diundang untuk berkilah, kalau dirinya benar-benar bersalah. Begitupun pengadilan masyarakat yang tidak peduli duduk perkaranya dan sangat cepat menuduh pejabat itu bersalah. Seharusnya siapapun dia harus berprasangka baik atau dalam bahasa hukum azas praduga tak bersalah.
Surat panggilan dari Polda Aceh meskipun sifatnya wawancara bisa dipastikan menjatuhkan mental para kadis yang dipanggil. Hal tersebut, tidak saja menjadi beban psikologis dirinya, tetapi memukul perasaan anak, istri dan keluarga dekat.
Sebetulnya tidak ada enaknya jadi pejabat. Dia tidak saja ditekan oleh atasan, entah kepala daerah atau tim suksesnya. Mereka juga harus menanggung akibat tekanan itu saat berhadapan dengan proses hukum. Kasihan memang.
Si pejabat terpaksa mendekam dalam penjara sementara uang setoran dinikmati oleh kepala daerah, anak, atau tim suksesnya. Seperti yang terjadi pada mantan Kadis Pendidikan Aceh Tengah, Uswatuddin dan bawahannya. Orang makan nangka kita kena getahnya.
Belum lagi, sebelum menjadi Kadis, dia harus melobi sini-sana. Itu tidak murah. Semua harus pakai uang. Sehingga lahir istilah: tidak ada makan siang yang gratis. Setelah jadi Kadis, yang dia lakukan adalah berupaya mengembalikan modal. Dari mana lagi uangnya selain mengotak-atik anggaran di dinas itu.
Sistem transaksional dalam mendapatkan jabatan sangat mempengaruhi kualitas kegiatan proyek karena para rekanan untuk mendapatkan kegiatan harus membayar fee.
Sehingga rekanan harus pandai-pandai mencuri ukuran besi, jumlah adukan semen, pengurangan aspal, menggunakan material galian C ilegal, atau menggunakan bahan-bahan yang tidak sesuai spesifikasi.
Sungguh miris, kini Aceh Tengah dan Bener Meriah diduga memasuki babak darurat korupsi. Tsunami korupsi skala besar menembus lembaga yang berlabel agama; Baitul Mal dan Dinas Syariat Islam. Lantas di tengah masyarakat muncul stigma bahwa label syariat tidak efektif menangkis praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
(Mendale, Oktober 21, 2023)