Oleh : Ni Wayan Idayati*
Dari seri diskusi buku Bunga Rampai Puisi Indonesia “Seperti Belanda: dari Konflik Aceh hingga MoU Helsinki”
Sungguh peristiwa mengharukan, saya bisa menjadi bagian dari buku antologi ini, berbagi pandang bersama narasumber-narasumber mumpuni, Bapak Prof. Fachry Ali, Bapak Kurnia Effendi, Bang Putra Gara, juga kawan-kawan sastrawan lain.
Tidak ketinggalan, Bang Saifullah S, yang menginisiasi penerbitan buku dan memungkinan program ini terselenggara.
Saya meyakini, bahwa tidak ada pertemuan yang kebetulan.Pertemuan saya dengan Aceh boleh dikata tertaut dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Bila saya runut, belakangan saya menyadari bahwa antara Aceh dan Bali, boleh dikata memiliki pertautan sejarah dan kesamaan pengalaman–yang barangkali juga dialami daerah-daerah lain di Indonesia.
Pada satu kesempatan saya menyaksikan lukisan Hendra Gunawan yang menjadi koleksi Taman Budaya Denpasar, berjudul Jenderal Micheals.
Jenderal Micheals,sosok yang terlibat dalam Perang Bali III (meninggal di Kusamba, 1849), dan menurut catatan sejarah juga memimpin pasukan Belanda di Barus,Tapus dan Singkil (antara tahun 1840-1841).
Saya menyadari, dalam periodeisasi sejarah itu, Aceh dan Bali termasuk wilayah yang sengit melakukan perlawanan dengan Belanda. Peperangan ini merenggut banyak korban jiwa, baik rakyat pejuang maupun pasukan kolonial.
Sebagaimana saya ungkapkan dalam forum zoom meeting semalam, dari bacaan pengalaman tersebut, peristiwa traumatis suatu bangsa,juga masyarakat, memerlukan upaya kartasis.Salah satunya yaitu melalui penulisan karya sastra.
Buku Seperti Belanda ini menjadi penting, bukan hanya dalam memperkaya khazanah susastra Indonesia, atau membuka perspektif kita tentang bagaimana melihat Aceh dari beragam sisi, tetapi juga bahwa buku ini adalah cerminan jiwa zaman,ditulis berdasarkan periode kunci sejarah tertentu.
Saya meyakini,melalui Puisi atau karya sastra lain, kita dapat melampaui traumatis masa lalu, baik peristiwa di Aceh maupun kekerasan di daerah-daerah lain di nusantara.
Saya berharap inisiasi semacam ini, penulisan dan penerbitan karya sastra yang berangkat dari tematik tertentu, bisa berlangsung berkala dan berkelanjutan.
Puisi dan seni,bukan hanya melampaui pertikaian dan kekerasan, tetapi juga sarana katarsis bagi pribadi dan masyarakat.Dengan demikian,rekonsiliasi niscaya dimungkinkan. [SY]
*Sastrawan Bali
Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :