Singgah di Ujung Sumatera

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Seorang yang sakti mandraguna sedang terbang dari bintang yang satu ke bintang lainnya. Kadang-kadang turun ke bulan. Dari angkasa itu ia melihat bumi seperti peta. Matanya tertuju pada daratan yang kalau dirangkai-rangkai berbentuk seperti kapal layar. Konon negeri itu disebut juga “induk manusia”.

Pandangannya fokus pada wilayah barat “peta perahu” itu yang banyak terdapat spot-spot merah menyala. Ada apakah di sana? Rasa penasaran mendorong hasratnya untuk turun melihat langsung, manusia model apakah yang ada di sana? Sejarahnya negeri itu sering terjadi pemusnahan massal; lewat perang dan bencana alam.

Sekilas pandangan mata, rasanya Tuhan tidak adil. Di Bali banyak yang telanjang, tetapi mengapa negeri syariat yang terkena tsunami. Ilmu kita sebagai orang awam tidak sampai ke sana jelajah fikirannya. Berbagai pertanyaan dalam benak kita. Apakah musibah itu cobaan atau bahkan Tuhan menunjukkan bencinya.

Orang sakti itu, semakin ingin tahu. Ia pun turun melihat dari dekat dan semakin nyata pada mata bathinnya “titik-titik merahnya”. Ternyata beberapa dari mereka sebagai pion berinisial SM, TA, NZ, UFO, FK, TSB dan beberapa orang dalangnya yang gencar siang dan malam membangun kebencian, bersifat sombong dan sangat rasis.

“Bit hana ate dan hana utak,” bisik benak orang sakti itu.

Orang-orang yang tidak punya hati adalah orang yang tidak memiliki sifat baik dalam dirinya dan tidak berusaha membersihkan bathinnya (tazkiatun nafsi). Sedangkan otak mereka tidak lebih dari hiasan dalam batok kepalanya atau dalam bahasa Qur’an; tidak Iqro’. Tuhan menutup hati dan menyempitkan otaknya karena mencari rizkinya dengan membangun kebencian.

Belajar dari sejarah bahwa orang-orang yang dimusnahkan sejak zaman Nabi dulu karena fanatik buta pada nenek moyangnya. Padahal mereka tidak faham sama sekali jalan ceritanya. Apalagi proses kelahiran manusia ada beberapa macam yang intinya; itulah alasan bagi siapapun untuk tidak boleh saling membenci. Na’udzubillah min dzalik.

Berbagai cara mereka membangun dan menyebar kebencian; terutama dengan membolak-balikan logika. Kalau berani mengejek orang yang terkena Covid-19 “Untuk minum Dettol”, maka jangan marah kalau kita yang terpapar, orang sarankan “Minum itu disfektan!”

Mengkritisi dengan fakta jelas dan memberikan solusi adalah tindakan terhormat. Masalahnya, lagi-lagi mereka hanya menyampaikan ujaran kebencian. Sedikit manusia yang membangun sifat buruknya di negeri bersyariat ini, tetapi mereka ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga.
Orang sakti terus mencari informasi lainnya.

Ternyata mereka tidak berdiri sendiri. Ada beberapa sponsor di belakangnya. Ternyata, inti dari segalanya “soal fulus”. Prilaku seperti itu, termasuk ke dalam kategori “raja tega” yakni, memberi makan anak istri dengan menyusun bata-bata kebencian.

“Manuk sia,” pekik orang sakti itu dalam hati untuk menggambarkan; manusia yang tidak membersihkan kekotoran hatinya (takhalli) dan tidak mengisinya dengan sifat-sifat baik (tahalli) lalu tidak mendapat manifestasi atau perwujudan dari hasil berbuat baik (tajalli), mereka sama dengan “manuk” atau ayam

(Mendale, Ahad, 11 Oktober 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.