Penerapan Budaya Malu dan Budaya Mukemel (Gayo)

oleh

oleh : Joni MN, Aman Rima*

 A. Pendahuluan

Manusia yang merupakan sebagai mahluk sosial, tidak bisa menjalani hidup sendiri (individu) tanpa orang lain dan mahluk lain serta alam di sekitarnya, maka tanpa keterlibatan ketiga unsur tersebut manusia tidak  dapat menjalani hidup dengan sempurna.  Dalam menjalani proses kehidupan dan memenuhi kebutuhan hidup manusia membutuhkan ketenangan atau kenyamanan, kedamaian, keharmonisasian dan adanya sinergisitas antara satu sama lain. Semua mahluk hidup di atas bumi ini termasuk alam sekitar kita membutuhkan perhatian dengan baik dan butuh keamanan serta kenyamanan. Pemberian perhatian yang baik dan dapat memberikan kenyamanan akan dapat berakibat baik juga, seperti alam yang diperhatikan dan yang dijaga keasliaannya, maka ia akan memberikan sesuatu nyaman, keindahan dan ketenangan kepada manusia di sekitarnya.

Menghargai, memberikan kenyamanan, dan menciptakan kedamaian adalah hak setiap manusia kepada manusia lain dan mahluk lainnya. Dalam hal ini kembali kepada fitrah manusia, yaitu; tidak ada satu manusiapun atau mahluk lain yang menginginkan untuk diperlakukan dengan tidak baik, pasti semuanya ingin diperlakukan dengan baik. Tetapi fenomena saat ini kerap kita lihat dan dengar pada media-media sering meme-meme dan status-status serta komentar yang bernilai sarkatik, hal ini tidak hanya terjadi kepada masyarakat biasa, tetapi, hal ini terjadi kepada orang yang terpandang tidak ada lagi sikap untuk saling harga-menghargai atau yang bersifat manusiawi.

Pada masyarakat Gayo terdapat suatu sistem nilai yang dapat mengantisifasi perbuatan tersebut, mereka sebut dengan “mukemel” atau yang dikenal saat ini dikalangan pemerintahan sering menyebutnya dengan tuturan ‘malu’.  “mukemel” ditinjau secara etimologi berasal dari bahasa Gayo yang diartikan secara harfiah adalah ‘malu’, tetapi  ‘malu’ yang bersumber dari bahasa dan budaya Gayo ini memiliki makna yang berbeda dengan nilai budaya malu yang digadang-gdangkan oleh pemerintah saat ini. malau yang berasal dari bahasa Gayo (mukemel) realisasinya berdasarkan nilai-nilai budaya dan memiliki norma adat yang berdasarkan konsef agama (Islam). Budaya Gayo selalu bereaksi berdasarkan nilai-nilai agama (Islam), seperti yang terdapat dalam  Peri Mestike (PM) yang mereka miliki, yaitu; “edet bersipet wujud agama bersipet kalam” maknanya ialah perbuatan adat harus berwujud atau terbukti dan maslah agama ada tertulis dalam Al-qur’an , karena “agama orum edet lagu jet orum sipet” atau ‘agama dan adat seperti jat dengan sifat’ yaitu tidak dapat dipisahkan. Mksud dari pernyataan PM ini adalah berfungsi sebagai panduan berintraksi yaitu, dalam menyampaikan sesuatu atau konsef agama dianjurkan harus dengan beradat yang bernilai adab.

B. Sistem Nilai Budaya Gayo “mukemel” dan Budaya Malu

Mukemel saat ini lebih dikenal oleh masyarakat secara umum di lingkungan masyarakat Gayo dengan penyebutan ‘Malu’. ‘Malu’ ditinjau secara etimologi merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia yang di dalam bahasa Gayo disebut dengan “mukemel”.  Malu menurut KBBI (2000: 706) adalah ‘merasa tidak enak hati (hina, rendah dsb) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan). Jadi kata ‘malu’ di sini ditinjau dari bahasa Indonesia maksudnya adala malu apabila berbuat salah atau melanggar ketentuan baik ketentuan agama, adat atau juga aturan konvensional. Term “mukemel” yang menggunakan kata ‘malu’ adalah berfungsi untuk mengingatkan kepada anggota masyarakat dan pejabat agar tidak berbuat melenceng dari aturan dan tatanan lokal atau konvensional  dengan tujuan ketertiban bersama tidak saling menjatuhkan satu sama lain.

M.J.Melalatoa (1975/1976) mendiklarasikan bahwa “mukemel”  merupakan sistem nilai dalam budaya Gayo yang mengekspresikan harga diri. Sistem nilai mendasari beberapa nilai lainnya, seperti; “tertib (tertib/teratur), setie (setia), semayang-gemasih (kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap-mupakat (musyawarah), alang-tulung (tolong menolong), bersikekemelen (kompetitif)”. Inbrahim dan AR.Hakim aman Pinan dalam bukunya yang berjudul “Syariet dan Adat Istiadat” (2010: 19) menyatakan “mukemel” sangat dan penting untuk dipahami karena nilai tersebut menurut Islam adalah manusia selalu berhubungan dengan ALLAH, manusia dan alam, beliau menyebutkan bahwa “mukemel” adalah bertujuan untuk memilhara cara melaksanakan akhlaq mulia bukan tercela.

“mukemel” terfokus pada perbuatan yang mulia, seperti perjuangan seorang Ibu dan ayah kepada anak-anaknya dalam proses menyekolahkan anak-anaknya. Mereka sangat malu ketika tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka, dan konsef nilai ini menganjurkan malu kalau tidak bisa berbuat baik. Menurut (Alm) Aman Nur Jenah (Gecik Tue Mongal, November 2010) menyatakan bahwa “mukemel” merupakan konsef leluhur orang Gayo dahulu dalam berinteraksi dan memenuhi kebutuhan hidup mereka untuk menopang nilai “tertib bermajelis umet bermulie” atau ‘hidup yang teratur memiliki tatakrama sehingga dapat menciptakan kemulian bersama’. Jadi, “mukemel” adalah norma yang menjalankan nilai budaya “tertib bermajelis umet bermulie”  untuk tujuan agar hidup lebih bermanfaat, harmonis dan damai bersama. Jadi, dalam menciptakan ketertiban bersama dan menanamkan harga diri, harus didahulu dengan menghargai orang lain dengan melaksanakan sistem nilai “mukemel, misalnya, orang lain kenapa bisa melakukan kebaikan kenapa saya tidak, orang lain bisa bersekolah kenapa saya tidak, dan lainnya. Perbuatan ini adalah tindakkan untuk menghargai meninggi orang lain. Hazlitt (2003:112) mengatakan “jangan pernah melakukan atau mengatakan sesuatu untuk menyakiti atau merendahkan orng lain, dan ini dapat disebut dengan moralitas yang masuk kedalam kategori “Kebajikan Efisien Positif”.

C. Pembahasan

Setiap manusia dan mahluk lainnya memiliki hak untuk saling dihargai dan diperlakukan dengan baik. Tindakkan yang sudah terbukti salah apalagi sudah di dalam aturan tertulis atau juga lisan sudah wajar kalau tidak dilakukan karena hal tersebut sudah jelas hal itu dilarang untuk tidak dilanggar.  Perbuatan menjauhi hal-hal yang negatif adalah moral yang dapat dikategorikan “kebajikan efisien negatif” namun yang dimaksud oleh Hazlitt (2003) adalah melakukan kebaikan di atas kebenaran, maksudnya adalah berbuat baik atas kebaikan yang ada, hal inilah yang disebut oleh Hazlitt dengan “kebajikan efisien positif”. Prinsip sistem nilai “mukemel” menurut (MJ.Melalatoa, 1975; Ibrahim dan Pinan, 2010) bertujuan yaitu, malu jika tidak berbuat kebaikan. Artinya, jika perbuatan yang sudah dilarang dan sudah direalisasikan dalam kode aturan dijauhi dan ditinggalkan adalah hal yang wajar dan lumrah, tetapi bagi masyarakat Gayo yang mengikuti nilai budaya “mukemel” menyatakan bahwa malu jika tidak berbuat baik kepada orang, mahluk dan alam sekitarnya dan inilah yang tepat disebut dengan term “kebajikan efisien positif”.

Menghujat, menghina, mengkiritik yang mebunuh karakter, berkomentar yang bersifat provokasi, mendiskriminasi, merendahkan dan sejenis lainnya, ini adalah hal-hal yang sudah disyaratkan di dalam adat bahkan didalam agama tidak boleh dilakukan, karena hal tersebut dapat menciptakan permusuhan yang akhirnya akan terjadi kerusukan dalam segala hal.  Umumnya, selama ini yang sering kita jumpai adalah anjuran untuk tidak melakukan kesalahan dan perbuatan yang tidak baik, tetapi anjuran untuk melakukan peningkatan atas kebaikan yang ada jarang bahkan hampir tidak ditemui. “mukemel” yang merupakan system nilai dalam budaya Gayo adalah menganjurkan tenttang ‘malu jika tidak bisa berbuat kebaikan’ seperti yang terdapat pada penelitian M.J Melalatoa; dan pembahasan Ibrahim dan Pinan.

D. Kesimpulan

“Mukemel” merupakan konsef leluhur orang Gayo dahulu yang difungsikan dalam berinteraksi dan memenuhi kebutuhan hidup mereka serta nilai ini menopang nilai “tertib bermajelis umet bermulie” atau ‘hidup yang teratur bersama yang memiliki tatakrama sehingga dapat menciptakan kemulian bersama’. Pelaksanaan nilai “mukemel” didasari dengan perlakuan berakhlag dan perbuatan yang tercela yang masuk kedalam kategori ‘kebaikan efisien positif’. Jadi, perbedaan budaya malu dengan budaya “mukemel” yang arti harfianya ‘malu’ dalam budaya Gayo, malu yang digadang-gadangkan oleh pemerintah saat ini adalah malu jika berbuat salah yaitu atas pelanggaran peraturan yang ada (korupsi, menghujat, mempertontonkan suasana gaduh antar sesama kelompok, team, atau suku, dan sejenis lainnya).

Sedangkan malu yang bersumber dari nilai budaya Gayo adalah malu jika tidak berbuat baik dan benar, karena untuk hal yang salah itu sudah pasti masing-masing mengetahui bahwa hal tersebut itu adalah salah dan tidak baik untuk dilakukan. Anjuran atas prinsip nilai “mukemel” atau ‘malu’ dalam budaya Gayo adalah berbuat baik di atas kebaikan, seperti contoh dalam tuturan “salah bertegah benar berpapah” yaitu, yang salah dicegah dan yang benar harus didukung bersama-sama dan diikuti. Di dalam tuturan PM ini terdapat dua nilai, yaitu; kebajikan efisien negatif yang dinyatakan dengan ungkapan “salah betegah” yaitu mencegah kesalahan dan nasehati, dan kedua, yang menyatakan kebajikan efisien positf  diekspresikan dengan “benar berpapah” atau dukung kebenaran dan kebaikan jangan mencari-cari kesalahan dan ikuti kebenaran tersebut. Apabila hal tersebut dapat terrealisasi dengan maksimal maka akan tercipta kondisi yang bernilai “tertib bermajelis umet bermulie” yaitu ‘ ketertiban dan keteraturan dan kemuliaan bersama. Falsafah Gayo yang memiliki nilai kebaikan efisien positif dapat diaplikasikan untuk etika keberpemerintahan yang dapat mewujudkan kemuliaan, keharmonisasian, kedamaian, dan kenyamanan bersama, dengan ini tidak ada lagi yang mencari cari kesalahan salah satu  pihak dan/atau orang lain untuk saling tidak menjatuhkan.[]

*redaktur rubrik Peri Mestika, media online dan tabloid LintasGayo.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.