B O H O N G

oleh
Kampung Jaluk, dua minggu pascagempa.(LGco-aman.ZaiZa)

Gempa Gayo (bagian 12)

Catatan: Aman ZaiZa

Kampung Jaluk, dua minggu pascagempa.(LGco-aman.ZaiZa)
Kampung Jaluk, dua minggu pascagempa.(LGco-aman.ZaiZa)

BAGI banyak pihak mungkin cerita dari Bener Meriah ini bisa dianggap sudah wajar pada saat zaman sekarang ini. Namun, dilain pihak, cerita ini merupakan sesuatu yang memalukan dan sangat disayangkan bisa terjadi.

Bagaimana tidak, sebagai mana diberitakan media online di Gayo, leuserantara.com. Dimana orang mau mengaku dan berbohong kalau mereka korban gempa. Dengan harapan, mereka juga akan mendapat bantuan baik dari pemerintah maupun kalangan donator lainnya yang berempati pada gempa Gayo.

Dimana, dalam berita tersebut diungkapkan, bahwa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bener Meriah, hingga kini masih kesulitan mendapatkan data valid mengenai total kerusakan rumah rakyat. Hal tersebut, akibat adanya sebagian warga yang rumahnya tidak hancur, bukan korban gempa, namun mengaku terkena dampak, hingga menyebabkan petugas kesulitan mendata

“Sulit membuat data akurat berapa jumlah rumah rusak akibat gempa. Ini karena ada sebagian warga mengaku jadi korban. Padahal setelah dicek ke lokasi, rumahnya masih layak pakai, tidak tampak mengalami kerusakan,” jelas Mahyudin ST, Sekretaris BPBD Bener Meriah, Kamis (5/9/2013) di Redelong.

Meski demikian lanjutnya, data sementara dihimpun pihaknya, jumlah kerusak rumah mencapai 3. 622 KK. Tidak termasuk infraksturktur pemerintah. Namun data ini kemungkinan akan terus bertambah, mengingat masih ada sebagian kecil warga yang mengaku belum terdata dan belum mendapat bantuan.(baca: http://leuserantara.com/2013/09/05/banyak-warga-berbohong-mengaku-korban-gempa)

Ini  sebuah fakta dan realita menarik yang ditulis oleh media. Ada dua hal yang terbayang dalam benak saya. Pertama, memang mereka yang “berbohong” itu memang benar-benar korban dan memang juga belum terdata secara akurat oleh pihak yang bertanggungjawab, sehingga mereka mengaku sebagai korban.

Kedua, orientasi ekonomi. Mereka memang bukan korban namun kondisi mereka dalam kesulitan secara ekonomi dan mereka juga berdomisili di lingkungan yang terdapat banyak korban gempa sesunggunya.

Dimana, para korban gempa ini kerab mendapat bantuan yang datang silih berganti dari berbagai pihak, mulai dari awal gempa bahkan hingga saat ini. Tentunya ini bisa menimbulkan kesenjagan hati dan perasaan. Dimana, tetangga mereka kerab disambangi oleh dermawan, sedangkan mereka hanya bisa melihat sambil urut dada. Padahal mereka juga hidup dalam kesulitan.

Terakhir, terbesit diteliga mereka bahwa para korban gempa ini akan mendapat dana segar sebesar Rp50.000,-. Makanya, berbagai upayapun dilakukan agar bisa dapat hal yang sama. Sebab, di tengah kondisi sulit seperti sekarang ini jangankan Rp50.000,- untuk dapat Rp5.000,- saja teramat sulit.

Kondisi seperti ini juga pernah terjadi di Aceh ini. Dimana saat gempa dan tsunami memporak-porandanya sebagian besar wilayah pesisir Aceh, banyak yang non korban ketiban rezeki, baik berupa bantuan sandang, pangan bahkan banyak juga yang non korban mendapat bantuan rumah dari berbagai pihak donator.

Akibatnya, gesekan kesenjangan itu muncul bukan saja antara pengelola bencana (pihak yang menangani bencana) dengan para korban saja, namun juga berimbas pada gesekan para korban dengan non korban serta para korban dengan korban tsunami lainnya.

Pengalaman yang terjadi dan dialami saudara kita di pesisir kiranya jangan terulang di tanoh Gayo. Karenanya butuh sikap arif dan bijaksana dari pemerintah dalam mengelola ini semua. Sehingga gesekan di tengah masyarakat tidak terjadi.

Kita tidak mau dengar kedepan ada sesama masyarakat Gayo berkelahi hanya karena rebutan bantuan. Kita juga tak mau dengar sesama saudara jadi musuhan karena tidak adanya kesamaan dalam memperoleh bantuan meskipun mereka sama-sama korban gempa.

Untuk itu, kiranya perlu formula khusus yang dirancang pemerintah dengan baik, sehingga gempa Gayo ini tidak menimbulkan masalah di atas masalah yang sudah sangat pelik dan kompleks tentunya.

Masyarakat non korban dengan masyarakat korban gempa hanya bisa berharap keadilan itu dilihat sesuai porsinya. Karenanya pemerintah sebagai eksekutor harus bisa melihat dengan proporsional setiap masalah yang muncul.

Semoga masalah yang ada selama ini sebagai imbas gempa, tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. bersambung…

***

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.