Oleh: Dinika Yusuf*
Lama sudah saya tidak menulis. Tulisan bersambung bergenre horor terakhir saya berjudul “Berita duka dari kampung” yang terbit pada 1 September 2022. Keadaan yang membuat saya terpaksa berhenti berbagi cerita lewat tulisan. Prioritas saya sementara beralih untuk mengurus bayi dan suami yang sedang dalam proses pemulihan pasca stroke.
Kemarin, Rabu, 10 Juli 2024, kebetulan saya menemani suami ke salah satu destinasi wisata berbasis kebun dan taman yang kami rencanakan. Kami menamakannya “Damar’s Garden House”. Pada saat suami mengawasi eskavator yang menata pematangan lahan, saya pun asyik membersihkan rerumputan di bawah “pohon kuel” yang berdiameter 80 cm. Cukup besar memang.
Pada saat itu pula saya merasa diawasi seseorang. Saya berhenti mengayunkan cangkul dan mencari tahu siapa gerangan dia. Tapi tidak ada siapapun di sekeliling saya. Saya pun langsung istirahat dan duduk di bangku potongan pohon pinus. Tiba-tiba ada rasa keinginan kuat untuk meneruskan cerita bersambung yang sudah setahun lebih tidak pernah saya garap lagi.
Dari peristiwa itu saya mendapat pelajaran, ternyata menulis yang bagus, perlu suasana yang tenang. Ide mengalir deras pada saat kita berada dalam suasana sepi dibandingkan kita berada di dalam keramaian. Setidaknya demikian menurut psikologi massa; seseorang dalam kesendirian kecerdasannya meningkat, sedangkan orang yang berada dalam kerumunan massa kecerdasannya menurun.
****************
Pade sore hari yang dihiasi rintik hujan menyentuh bunga padi di persawahan sekitar kos-kosan kami di Kampung Kasihan, Bantul, Seleman. Waktu itu, kurang lebih sudah dua bulan saya berada di Kota gudeg itu, kakaku, Novita Sari mengajakku ikut serta Latihan Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau disebut dengan istilah LK I.
Acara perekrutan dan penggemblengan kader organisasi mahasiswa itu akan digelar di daerah Kaliurang, di kaki gunung Merapi, sebelah utara Kota Jogja. Setelah menempuh jarak dengan mobil sekitar dua jam, kami sampai di Wisma Melati. Rumah peninggalan Belanda tempo dulu itu tampak antik dan misteri. Apalagi ada peringatan dari pasutri setengah baya yang bekerja melayani tamu wisma.
Kak Novita datang terlambat karena perlu mengurus perlengkapan dan administrasi LK I serta masih ada kuliah sore. Saya terpaksa ikut bersama rombongan naik bis. Kak Novita hanya memperingatkan kepada saya untuk tidak masuk kamar nomor dua. Peringatan tersebut disampaikan Kak Novita berdasarkan mimpinya sebelumnya.
“Maaf ya Nak! Untuk kamar nomor dua bagian bawah tidak bisa digunakan untuk kegiatan dan tidur. Selain itu, kamar di bagian bawah hanya untuk laki-laki” pesan pasutri itu.
Azan maghrib berkumandang, kami tidak fokus dengan peringatan pasutri itu. Sementara ketua panitia memerintahkan 70-an orang peserta, termasuk saya untuk segera masuk ke wisma itu untuk menempati kamar masing-masing. Sebagian peserta melaksanakan sholat maghrib, peserta lainnya membenahi barang-barang peralatan acara.
Saya sendiri karena lelah memilih mandi dan merapikan diri. Kemudian saya pergi keluar wisma untuk menghirup udara segar. Setelah itu saya berencana masuk ke kamar nomor satu, ruangan khusus panitia. Tiba-tiba lampu di kamar itu padam. Semua peserta yang menyaksikan kaget.
“Hati-hati dek, itu pertanda peringatan, eh becanda” celetuk salah seorang peserta laki-laki kepada saya sambil tertawa kecil.
Sementara lampu padam di ruang panitia, seluruh peserta diminta untuk mengikuti acara pembukaan. Syukur, Kak Novita pun sudah hadir. Setelah acara pembukaan dilanjutkan materi “Tuhan dan Alam”. Saya mulai mengantuk dan kembali ke kamar nomor dua bagian atas.
Salah seorang peserta, bernama Laode terlambat datang. Tabiatnya suka iseng. Apalagi dia tidak dapat jatah kamar tidur, sehingga dia bersama dua orang peserta lainnya menerobos “kamar nomor dua terlarang” lewat jendela. Dia melihat sesajen di kamar itu. Dia tidak peduli dan tertidur pulas sampai pagi karena kecapean.
Saya pun sempat tertidur, namun saya terbangun karena pintu kamar mandi terbuka dan air kran mulai menetes terdengar dengan jelas. Saya mengira kawan-kawan masuk. Saya mencari tahu, ternyata tidak ada seorangpun menggunakan kamar mandi.
Saya keluar kamar melihat ke sekitar aula tempat acara, tidak tampak seorangpun. Sementara suara gareng bersahutan terdengar semakin nyaring. Saya kembali masuk kamar merebahkan diri dan akhirnya tertidur pulas sampai pagi.
Suasana pagi begitu indah. Gunung Merapi tampak menantang di depan mata. Untuk mengisi waktu kosong, kami beberapa orang dan seorang seksi dokumentasi pergi berkeliling sambil mengabadikan indahnya suasana pagi di lokasi sekitar wisma yang sudah berusia ratusan tahun itu.
Begitu juru foto memotret kami, dia tergelincir dan kameranya terpental. Beruntung juru foto itu tidak cedera serius dan kamera masih berfungsi dengan baik. Begitupun ada beberapa gambar yang sudah sempat kami abadikan.
Pukul 8.00 pagi acara pengkaderan akan dimulai. Kami kembali ke wisma. Masing-masing peserta sibuk mempersiapkan diri menghadapi acara. Sebelum masuk acara, saya duduk di bebatuan di bawah pohon beringin di depan wisma. Tiba-tiba badan dan kepala saya panas, dada terasa sesak dan kepala pening. Kemudian saya tidak sadarkan diri.
Saya sadar setelah berada di kamar. Ternyata, menurut kawan-kawan peserta LK I, saya baru saja mengalami kerasukan setan, kurang lebih selama 30 menit. Kata mereka saya meronta-ronta sambil berteriak.
Inilah kali pertama saya kesurupan atau kerasukan setan selama berada di Jogja. Saya mengira setelah menyeberang atau berbeda pulau saya telah terbebas dari energi negatif yang tidak terkendali itu. (Bersambung)
(Kala Lengkio, 11 Juli 2024)