Oleh : Fauzan Azima*
“Manusia itu yang dipegang omongannya. Kalau ada orang yang mengingkari omongannya sendiri, dia tidak beda dengan kambing,” kata Mayjen TNI (Pur) Soenarko, saat saya berjumpa beliau di mall Cilandak Town Square di Jalan TB Simatupang, Jakarta beberapa tahun lalu.
Saya faham betul siapa yang dimaksud mantan Pangdam Iskandar Muda tahun 2008-2009 itu. Walau terdengar sedikit sarkasme. Soal memegang ucapan, orang Arab jahiliah zaman sebelum Nabi Muhammad SAW jauh lebih jujur daripada manusia sekarang.
Dulu, kalau orang Arab jahiliah sudah berucap tidak akan mengingkarinya. Meskipun nyawa mereka sudah di ujung pedang, lalu mereka minta izin kepada algojo untuk memberi tahu keluarganya bahwa dia akan dihukum mati.
Mereka akan kembali kepada tukang jagal dan siap dipancung. Padahal jalan terbuka lebar bagi dirinya untuk melarikan diri. Mereka istiqomah atas ucapannya. Begitulah sebodoh-bodoh orang Arab waktu itu, karakter mereka masih tetap jujur.
Kita yang selalu berucap dalam setiap pidato atau ceramah, “Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengeluarkan kita dari alam jahiliah kepada alam yang penuh dengan ilmu pengerahuan.” Demikian klaim diri kita sudah terbebas dari sifat jahiliah. Tapi nyatanya kita tidak segan mengingkari ucapan kita sendiri mengatasnamakan Nabi.
Ternyata, jauh sekali antara ucapan dan perbuatan. Orang Melayu menyebutnya “Cakap tak serupa bikin.” Bukan su’udzon, setelah pemilu, 14 Pebruari 2024 nanti baru akan terbukti ingkar janji para calon legislatif.
Kalau sebelumnya para caleg menyapa konstituen dengan sangat ramah, namun setelah jadi, bisa jadi mereka akan cuek. Tidak ada tegur sapa walau mereka berjalan menyentuh ujung hidung pemilihnya.
Sikap demikian bukan sekedar ingkar janji, lebih dari itu, kurang adab. Tidak menghormati orang lain. Saya kira para caleg perlu tahu dan mengambil hikmah dari kisah Imam Hatim Al-Asham dari Khurasan yang pura-pura tuli demi menjaga kehormatan perempuan yang kentut di hadapannya.
Begitulah praktek ilmu adab dalam menghormati orang, meski orang itu derajatnya barangkali berada di bawah kita.
By the way, pada masa konflik Aceh, gara-gara kentut, saya bersama Kepala Keuangan GAM Wilayah Linge, Syech Sapudiarang pernah tersesat di hutan belantara. Pasalnya satu hari kami harus pindah markas pada tengah malam.
Tengku Sabri alias Pang Pelisi yang berjalan di depan tidak henti-hentinya buang gas. Aromanya sangat menyengat dan mengkhawatirkan organisasi kesehatan dunia.
Sebagai lelaki yang sopan, kami tidak menyalib Pang Pelisi untuk berjalan di depannya, tetapi kami memilih jalan lain. Sayangnya, akhirnya kami tersesat. Menjelang subuh kami baru bertemu kembali dengan pasukan gara-gara kentut Pang Sabri. Sikap kami semata-mata untuk menjalankan adab sesama pasukan dalam perang.
Nah, dalam suasana perang pun adab harus dijunjung tinggi. Bagaimana mungkin dalam suasana damai dan kehidupan yang teratur adab ditinggalkan.
Masalahnya dikhawatirkan sikap para penguasa yang ingkar janji akan menimbulkan benci roman berkepanjangan dan menjadi preseden buruk bagi generasi muda yang akan datang.
(Mendale, Januari 13, 2024)