Oleh : Fauzan Azima*
DALAM perang, bawahan dilarang membangun propaganda. Informasi dari arus bawah harus benar dan akurat agar pemimpin dapat mengambil keputusan tepat dalam membangun strategi dan mendesain propaganda.
Salah satu propaganda yang paling populer saat Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia berperang adalah “Sebatang rokok lagi Aceh Merdeka”.
Entah siapa orang yang pertama kali mengucapkan ungkapan itu. Tapi frasa “Sibak rukok teuk Aceh Mardehka” atau dalam bahasa Gayo “Sara batang rokokmi Aceh Merdeka” sangat melekat di hati dan otak kombatan kala itu.
Saya pertama kali mendengarkan kalimat itu saat terkepung di kawasan Pateng Seuribe, Aceh Timur, pada 2001. Pada masa konflik Aceh, daerah tersebut dinamakan Daerah II Peureulak.
Informasi pelipur lara itu berseliweran di kalangan kombatan saat serangan dari TNI/Polri semakin mendekati garis damarkasi pasukan GAM. Agar tidak patah semangat dan siap berperang, dikampanyekan-lah ke seluruh kombatan bahwa kemerdekaan Aceh tinggal menunggu waktu.
Setelah menyampaikan “sebatang rokok lagi Aceh Merdeka”, maka frasa pelengkapnya adalah “kajeut lambung-lambung kopiah”. Kalimat itu berarti, “sudah bisa melambung-lambungkan topi”.
Sesuatu yang biasa dilakukan untuk mengekspresikan kesenangan dan kebahagiaan karena tujuan tercapai.
Tentu saja ungkapan angin surga itu hanya khayalan. Kemerdekaan tidak benar-benar terjadi. Itu hanya cara pemimpin memompa semangat pasukan agar tidak gentar menghadapi musuh.
Pilihan Redaksi :
-
Kilas Balik Tragedi Menderek ; 17 Pasukan Daerah III Linge Syahid
Kadang kala pasukan tidak memahami makna tersembunyi dalam satu kalimat. Pasukan memaknai kalimat itu sebagai sebuah euforia. Sehingga mereka bersikap ria dan lalai. Semua ini mengaburkan prinsip perang gerilya.
Alhasil, di tengah euforia itu, musuh yang mengintai dengan mudah membidik. Beberapa kombatan kehilangan nyawa karena korban propaganda itu.
Begitulah situasi perang. Membunuh atau terbunuh menjadi sebuah tontonan yang menyedihkan. Kalah menang sama-sama menjadi korban.
Apapun propagandanya dan berapapun jumlah korbannya; nyawa melayang, hilang harta dan harga diri dihinakan, tidak pernah benar-benar dihitung.
Bangsa ini tidak pernah benar-benar belajar untuk memahami arti kata dan makna di balik setiap kata. Bangsa ini merasa terlalu lelah untuk memahami dan hanya mampu mengolah informasi yang ada dipermukaan.
Bangsa ini terlalu lama menjadi konsumen sejarah. Bangsa ini gagal memahami makna karena semua hal harus diartikan, ditafsirkan, oleh “orang pintar”.
Keturunan Nabi Adam di Aceh ini lupa bahwa Allah memerintahkan setiap manusia untuk berpikir. Kita lupa bahwa manusia diberikan kemerdekaan untuk berpikir dan memaknai setiap kata.
Semua itu seharusnya dilakukan tanpa restu para pemuka masyarakat. Bangsa ini gagal merdeka dan gagal berpikir merdeka.
(Mendale, Desember 5, 2023)