Berqurban dalam Masyarakat Gayo

oleh

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[i]

Letak geografis daerah Gayo secara alami mendidik penduduknya hidup bertani dan berternak, pertanian yang berkembang di Gayo pada awalnya adalah sawah, masyarakat bercocok tanam padi di lahan yang mereka garap sendiri. Selanjutnya pada tahun pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an masyarakat Gayo mulai mengembangkan pertanian sembari memperluas daerah mereka dengan menanam tebu yang diolah untuk gula merah, tahun 1980-an masyarakat mulai mengganti tanaman tebu mereka dengan tanaman kopi dan kopi inilah yan berkembang saat ini.

Karena mereka hidup bertani sawah, maka mereka memerlukan alat untuk mengerjakan sawah mulai dari masa menanam sampai pada masa panen dan alat yang paling cocok dan sesuai yang digunakan untuk oleh masyarakat adalah kuda dan kerbau. Dalam kaitan dengan binatang yang dijadikan sebagai binatang qurban tentu masyarakat Gayo memilih kebau, karena dalam pemahaman mereka kuda tidak bisa dimakan, kuda hanya digunakan sebagai alat untuk mengerjakan sawah, tenggangan dan alat untuk mengangkat barang. Ada pemahaman dalam masyarakat kenapa mereka tidak mau memakan kuda, diantaranya adalah karena kuda digunakan sebagai kendaraan Nabi untuk berperang dan mereka merasa sayang kalau harus disembelih kemudian kalau memang harus memakannya maka tidak boleh seluruh badannya. Dalam pemahaman masyarakat hanya boleh dimakan sebelah dari badan kuda tersebut, penulis belum menemukan keabsahan pendapat ini, apakah dari riwayat ataukah hanya pemahaman masyarakat semata.

Hampir secara keseluruhan masyarakat petani sawah pada awalnya memiliki dan memelihara kerbau, sebab keadaan tanah yang dijadikan lahan pertanian di daerah Gayo secara keseluruhan sangat gembur dan kalau dialiri air langsung merembes dan kering, karena itu perlu dibajak dengan menggunakan kerbau untuk memadatkan tanah sehingga air yang tergenang di petak sawah tidak mudah kering sehingga tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Fungsi lain dari kerbau adalah untuk membawa barang dengan menggunakan nok (alat pembawa barang yang tidak menngunakan roda) dan gerbak atau gerobak (alat pembawa barang yang memiliki roda).

Masyarakat Gayo sebelum tahun 1990-an sedikit sekali orang yang memelihara kambing. alasannya adalah karena kambing tidak tahan dengan udara yang dingin apalagi terkena hujan, sehingga ada ungkapan dalam masyarakat Gayo yang dutujukan kepada mereka yang malas terkena air dengan ungkapan lagu kaming terih kin wih (seperti kambing takut dengan air). Karena itulah dikalangan masyarakat Gayo tidak menjadikan kambing menjadi binatang yang boleh menjadi qurban sehingga sampai saat ini belum terbiasa masyarakat menjadikan kambing atau selain dari kerbau sebagai qurbah.

Pemahaman lain dari qurban dalam masyarakat Gayo adalah binatang yang dipelihara sendiri bukan binatang yang dibeli, sesuai dengan apa yang telah disebutkan bahwa kerbau adalah binatang peliharaan maka qurban mereka juga adalah kerbau dan mereka memahami sama dengan pemahaman orang lain bahwa harga satu kerbau adalah tujuh orang sama dengan seekor sapi. Tradisi lain yang ada dalam masyarakat Gayo pada dasarnya memahami bahwa keluarga itu satu danĀ  tidak dapat dipisah-pisah artinya ketika seorang ayah menyembelih qurban maka tidak memadai kalau dia menyembelih untuk dirinya atau untuk isterinya atau juga untuk anak-anaknya, karena itu kalau mereka mau menyembelih qurban mereka menunggu sampai cukup untuk satu keluarga yaitu satu kerbau.



[i] Pemerhati sosial keagamaan masyarakat Gayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.