Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Sudah menjadi pengetahuan umum dalam masyarakat bahwa jumlah perceraian pada setiap Kabupaten melebihi jumlah hari pertahunnya, penghitungan perkabupaten ini dengan alasan bahwa perceraian yang sah adalah perceraian yang terjadi dan mendapat pengesahan oleh Mahkamah Syar’iyyah.
Di Mahkaman Syar’iyyah perceraian dibagi kepada dua,yaitu perceraian dengan cara talak yang berasal dari suami dan perceraian dengan cara fasakh yang berasal dari isteri. Fenomena yang berkembang saat ini di setiap Mahkamah Syar’iyyah kasus gugatan cerai (fasakh) mendominasi terjadinya perceraian.
Banyak alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya perceraian, diantaranya adalah disebabkan karena ekonomi, artinya banyak diantara suami yang mengabaikan kewajibannya dalam memberi nafkah untuk kebutuhan keluarganya, sehingga istri yang menganggap haknya tidak terpenuhi meminta ke Mahkamah untuk bercerai.
Alasan lain adalah perbuatan asusila yang dilakukan oleh salah seorang diantara suami isteri, baik itu suami yang berselingkuh dengan dengan perempuan lain atau juga istri yang berselingkuh dengan laki-laki yang lain. Atau juga disebabkan oleh sebab-sebab yang lain.
Yang jelas apapun alasannya perceraian hanya boleh terjadi apabila ikatan perkawinan tesebut sama sekali tidak bisa dipertahankan lagi, bila ada peluang untuk mempertahankan walau sekecil apapun maka perkawinan tetap harus dipertahankan. Karena akibat dari putusnya perkawinan sangatlan besar dan bahkan tidak ada yang diuntungkan dari sebuah perceraian, terlebih lagi anak-anak.
Dalam dalil nash al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233, disebutkan kalau terjadi perceraian antara ayah dan para istrinya, maka hendaklah si ibu menyusui anak mereka selama dua tahun penuh dan kalau mereka hendak menurangi masa susuannya dibolehkan dengan kesepakatan ayah dan para istri, dan kalau para istri tidak mau menyusui anak-anak mereka maka susuannya menjadi tanggungjawab ayah.selama masa penyusuan nafkah para istri menjadi tanggungjawab ayah.
Ayat ini memberi pengetahuan bahwa bila terjadi perceraian maka anak tetap menjadi tanggungjawab ayah dalam hal nafkah, karena anak masih dalam kandungan maka nafkah yang diberikan melalui ibu sehingga ibu memberi makan kepada anaknya melalui susuan.
Bila ibu tidak mau memberi makan anaknya melalui sususannya maka ayah berkewajiban mencarikan susuan pengganti, tentu untuk ibu susuan juga ayah berkewajiban memberikan belanja sesuai dengan kemampuan ayah dan kebutuhan ibu susuan.
Pengetahuan lain juga dapat diambil dari ayat tersebut bahwa kapemilikan ibu dengan anak berakhir setelah melahirkan dan hubungan kepemilikan antara anak dengan ibu berakhir dengan lahirnya anak.
Tetapi hubungan ayah dengan anak dalam hal kepemilikan selalu, artinya semenjak anak dalam kandungan ibunya sampai kepada anak itu menjadi baligh bahkan dalam masyarakat sampai kepada anak itu meninggal dunia.
Kendati ada hadis dhaif yang mengatakan kalau nanti anak itu meninggal dunia maka mereka menjadi milik ibunya.
Bila dilihat dari segi kepentingan hidup anak tentu tidaklah semudah apa yang telah disebutkan, yaitu putusnya ikatan perkawinan antara seorang ayah dan ibu bagi anak menjadikan anak tidak memerlukan kedekatan dengan ibu demikian juga hubungan dengan ayah yang akan memeberi nafkah sampai anak itu tidak lagi butuh kepada nafkah atau juga ayah tidak lagi sanggup memberi nafkah kepada anak.
Imam Abu Hanifah dalam al-Mabsuth, juz. V, menyebutkan bahwa ada hubungan pemeliharaan orang tua terhadap anak setelah perceraian disebut dengan “al-Syafaqah” artinya rasa kasihan terhadap anak.
Bila terjadi perceraian orang tua maka anak harus medapatkan rasa kasihan, karena bila rasa kasihan tidak ada maka dikhawatirkan anak menjadi liar, menjadi anak yang nakal dank an hidup sebagai anak yang tidak diharapkan.
Karena rasa kasihan yang harus didekati dengan rasa kasih saying, menurut mazhab Hanafi yang lebih utama memelihara, mendidik dan membesarkan anak adalah ibu dan bila ibu tidak maka hak syafaqah berpindah kepada keluarga ibu.
Pertimbangan karena syaqafah sebagaimana disebutkan tentu berdasarkan pertimbangan ijtihad atau karena kepentingan si anak, karena kalau melihat dalil sebagaimana telah disebutkan maka kepedulian yang sangat ditegaskan adalah kepedulian ayah yang berhubungan dengan harta.
Alasan yang dijadikan pertimbangan dalam mazhab Hanafi adalah ibu lebih dekat dengan anak, demikian juga keluarga ibu lebih dekat dengan anak dari pada keluarga bapak. Bila keluarga ibu tidak ada maka baru berpindah kepada keluarga bapak.
*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh