Kemurnian Adat Perlu Kajian Ulang

oleh

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Banyak generasi muda, utamanya mahasiswa yang mengambil jurusan atau prodi sosial budaya yang berminat menulis tentang adat dan budaya suatu daerah. Baik itu untuk karya limiah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana ataupun juga untuk kebutuhan ilmu pengetahuan, karena ilmu tentang adat dan budaya dalam masyarakat kini mulai kabur bahkan banyak yang telah hilang.

Namun ketika keinginan untuk mendapatkan informasi tentang adat dan budaya tersebut muncul, banyak informasi yang didapatkan salah. Bahkan mereka yang memberi dan menerima informasi adat dan budaya tidak paham antara adat domistik dengan adat domistikasi.

Dari hasil penelitian yang dituangkan dalam karya ilmiah seperti skripsi, thesis atau karya ilmiah untuk jurnal, sering penulis menyebutkan tentang hukuman adat yang tidak sesuai dengan kondisi daerah berlakunya hukuman tersebut. Sebagai contoh tentang hukuman bagi mereka yang melangsungkan pernikahan “sara urang” dalam masyarakat Gayo (pernikahan ini dilarang dalam masyarakat Gayo karena masyarakat Gayo menganut system perkawinan eksogami).

Hukuman bagi mereka yang melangsungkan perkawinan tersebut adalah jeret naru dan diusir dari kampong asalnya (parak) sampai satu saat ia mampu/mau membayar denda berupa memotong satu ekor kerbau yang diserahkan kepada masyarakat melalui reje (pimpinan kampung).

Jeret naru dalam bahasa Indonesia disebut dengan kuburan panjang atau sering juga disebut dengan parak, ini sebuah simbul yang menunjukkan kepada mereka yang menikah satu kampung diusir dan dianggap sudah meninggal, ia bukan lagi warga masyarakat kampong, bukan lagi anak dari orang tuanya, bukan lagi saudara dari saudara-saudaranya, sampai kepada tidak mendapatkan harta warisan dan juga tidak bisa membawa barang miliknya ketika diusir. Ketika satu saat ia bersama keluarga ingin kembali ke kampong asal mereka, maka mereka harus memotong kerbau.

Perkembangan zaman menyebabkan perubahan budaya di dalam masyarakat, sehingga prilaku adat seperti disebutkan tidak banyak bahkan sangat jarang dikerjakan kalaupun tidak kita katakan tidak pernah lagi dilakukan. Hal ini mengakibatkan pengetahuan warga masyarakat tentang hal tersebut juga tergerus, bahkan pengetahuan para tokoh dan ahli sekalian kabur.

Sehingga ketika ditanyakan kepada peneliti karya ilmiah, mereka menjawab tebusan dari hukuman jeret naru (parak) adalah membayar sejumlah uang dan memotong kambing. Padahal berdasarkan pengalaman dan pengetahuan budaya masyarakat Gayo kalau kambing tidak bisa hidup di Gayo karena udaranya sangat dingin, sehingga secara logika tidak mungkin dalam budaya Gayo menjadikan kambing sebagai penebus atau denda dalam adat.

Lalu apakah dengan mudahnya mendatangkan kambing dari daerah lain (domistikasi) sehingga denda seekor kerbau bisa berganti dengan seekor atau sejumlah ekor kambing, jawabannya tetap belum karena kerbau masih menjadi peliharaan unggulan dan masyarakat tetap masih bisa memenuhi kerbau sebagai kebutuhan, baik untuk kebutuhan ibadah kurban, kebutuhan daging lebaran atau untuk penebus kebutuhan hukuman.

Masalah lain yang harus dijawab selain hal di atas adalah alasan yang menyebabkan salahnya hasil penelitian atau pengkajian ilmiah para ilmuan. Diantaranya bisa disebutkan karena pemegang otorita informasi (tokoh) adat tidak lagi memahami adat secara benar, mereka ditokohkan bukan karena kemampuan keilmuan atau pengalamannya tentang adat istiadan dan kebudayaan tetapi mereka ditokohkan karena kedudukannya sebagai pejabat pemerintahan di Kampung, Kecamatan dan Kabupaten.

Mereka sebenarnya tidak ahli, tetapi mereka tidak takut untuk menjawab walaupun jawaban yang mereka sampaikan itu salah, akhirnya terjadilah transpormasi ilmu secara salah dan selanjutnya akan berakhir dengan pewarisan yang juga salah.

Solusi paling sederhana diharapkan agar pemilihan pemimpin dalam masyarakat hendaknya bukan orang yang buta tentang adat dan budaya daerah sendiri kalaupun tidak memahami adat dan budaya orang lain, selanjutnya jangan pernah malu mengatakan tidak tau atau kurang tau apabila ada pertanyaan dari mereka yang sedang menkaji adat dan budaya dan jangan pernah takut untuk belajar karena agama mengajarkan untuk tidak pernah berhenti belajar.

Adat dan budaya adalah identitas bagi pemiliknya, karenanya apabila adat dan budaya diajarkan secara salah maka akan terjadi pewarisan yang salah kepada generasi selanjutnya dan akan meahirkan generasi yang tidak mempunyai identitas.

Bila ingin mengetahui suatu pola pewarisan budaya, bisa mempelajari apa yang diajarkan melalui periwayatan hadis Rasulullah. Dimana ketika para perawi hendak meriwayatkan hadis maka diantara syaratnya ditetapkan, perawi harus mempunyai ingatan yang kuat.

Artinya tidak hanya sekedar menjawab pertanyaan dengan tidak berpikir apa akibat dari sebuah jawaban, sebagai contoh yang telah kami sebutkan di atas, apakan binatang domistikasi (kambing) boleh dijadikan penebus hukuman sedangkan binatang domistik (kerbau) masih dengan mudah didapatkan.

Bila ini boleh dilakukan, maka harus mempunyai alasan atau landasan yang kuat sehingga kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan dalam keberlangsungan hidupnya adat dan budaya di dalam masyarakat di suatu daerah.

Kemudian dalam periwayatan adat dan budaya haruslah periwayat menerima secara langsung dari generasi sebelumnya baik secara lisan ataupun selalu ikut dalam pelaksanaan adat dan budaya yang akan diwariskan, karena pewarisan adat tidak hanya memadai dengan melihat kondisi yang terjadi saat ini sedangkan kondisi awal tempat dan kondisi adat masih bisa diberlakukan (dipertahankan), selanjtnya ketokohan seseorang di dalm masyarakat tidak dapat dipadai dengan kedudukan sebagai pemimpin, atau harus ada sebuah ketentuan yang menjadi pemimpin adalah mereka yang memahami adat. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.