Salman Yoga S
Judul : Nandong Seni Tradisi Simeulue Yang Terlupakan
Penulis : Yoppi Andri
Penerbit : Flara. Bantul Yokyakarta
Terbit : 2009
Tebal : 101 Hlm
Hampir keseluruhan dari kekayaan seni tradisi yang tumbuh dan berkembang di tanah Aceh, baik di dataran tinggi, pesisir dan kepulauan sejak ribuan tahun silam nyaris tidak satupun yang terdokumentasi dengan baik. Ditulis, diterbitkan dan disebar luaskan ke publik sebagai konsumsi akan ke-“penghargaan” terhadap seni tradisi dan sebagai bagian dari usaha pelestarian khazanah bangsa. Sebagai “juara lama” dari hegemoni “petarung” seni modren yang menyusup kesetiap selera jenjang usia, stratafikasi sosial, dusun dan kota, kesenian tradisi telah tiba pada ronde terakhir penentuan kekalahan. Kita hanya tinggal menunggu bunyi lonceng menggema atau peluit panjang dibunyikan sebagai pertanda akan kesempurnaan kekalahan.
Kondisi ini tidak saja memperihatinkan tetapi juga sudah sampai pada titik nadir, memasuki wilayah “kerangkeng” zaman. Lembaga-lembaga yang mempunyai kolerasi dengannya baik formal maupun non formal seperti Dewan Kesenian (DK) Provinsi serta DK-DK Kabupaten/Kota, Lembaga Bahasa, Perpustakaan dan Arsip Daerah, Taman Budaya, Dinas Parawisata Dan Kebudayaan, Lembaga Adat Dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Kabupaten/Kota bahkan Perguruan-perguruan Tinggi seakan tidak mempunyai tanggungjawab apapun, tidak mempunyai garis kerja langsung terhadap eksistensi jenis-jenis kesenian tradisi yang sesungguhnya telah ada sebelum negeri ini ada.
Yang paling mengerutkan kening lagi adalah agenda pada program kerja tahunan lembaga-lembaga tersebut pada setiap tahunnya yang memiliki anggaran lebih dari cukup justru tidak mengakomodir sama sekali bidang pendokumentasian seni tradisi.
Kesenian tradisional hanya tumbuh serta dilestarikan dengan setengah hati oleh daerah dan senimannya sendiri. Seperti layaknya tetumbuhan obat-obatan tradisional yang kerap digunakan sebagai penawar sakit dan bagian unsur dari peusijuk/tepungtawar dalam adat-istiadat, ia hanya dicari saat dibutuhkan saja, tanpa pernah ada pemikiran apalagi usaha pelestraian atau pembudidayaannya. Mencari apabila diperlukan, acuh apabila tak butuh.
Kesenian daerah hanya diundang dan di puji saat jamuan makan malam atau acara penyambutan tamu penting, setelahnya iapun kembali keasal dengan kepingan-kepingan rupiah pengganti lelah, tranfortasi dan sewa baju. Mengisi perhelatan-perhelatan budaya bersakala lokal, regional bahkan internasional, selebihnya hanya kebanggaan serta prestise semu yang ditempelkan sebagai bukti kesuksesan.
Menjadikannya sebagai tameng sekaligus media yang efektif untuk mengkomunikasikan kepentingan-kepentingannya kepada rakyat jelata secara politik. Sarana untuk membangkitkan rasa kebanggaan sekaligus corong untuk memuja-muji sang kandidat dalam kampanye, serta sebagai magnet untuk menghadirkan orang banyak kesuatu tempat. Setelah hajatan itu selesai, maka selesai pula peran dan fungsi seni tradisi dalam keterpurukannya. Ketika ia menduduki posisi tertentu dalam kepemerintahan, maka seni tradisipun akan mendapat tempat di pembuangan sampah kata-kata.
Kesenian tradisionalpun kerap menjadi objek penelitian, dikaji dan dianalisa untuk kemudian dipersentasikan di meja hijau sebagai syarat untuk mendapatkan gelar akademik, pertambahan kum angka kredit dan kenaikan golongan. Setelahnya hasil penelitian akan menjadi bagian dari tumpukan-tumpukan kertas kerja penghimpun debu, tanpa nyawa.
Demikianlah nasip dan kondisi kesenian tradisional kita di zaman pengagungan akan nilai-nilai tradisi bangsa, di tengah hiruk-pikuknya akan semboyan back to naturenya stail kehidupan bangsa yang berbudaya, bangsa yang menghargai khazanah seni tradisionalnya yang bermuatan kearifan lokal, pesan-pesan moral tinggi serta bagian dari kekayaan value cultural nation. Justru karena itu menjadi sangat aneh ketika negara tetangga mengklaim salah satu bidang seni tradisi, kita justru beramai-ramai memprotes akan kepemilikannya.
Demikian pula dengan nasib para pelaku kesenian tradisional itu sendiri. Jauh dari kemapanan dan justru sangat dekat dengan kemiskinan. Penghargaan terhadap mereka hanya sebatas pengakuan, selebihnya adalah omong kosong. Tak terkecuali di Aceh dan Indonesia, sama saja, sama-sama menganggap bahwa pembangunan fisik lebih penting dari pembangunan inmaterial berbentuk seni tradisi. Padahal dengan kecintaan dan idealisme para seniman dalam berkesenian tradisi telah mengokohkan benteng terpenting untuk pertahanan budaya.
Kegelisahan dan kekhawatiran semacam itu telah lama menjadi bagian yang menghantui pikiran para pencinta, pelaku, peminat seni tradisi. Menggelayut dalam alam kesadarannya sebagai sebuah tanggungjawab yang harus dilaksanakan. Sebagai sebuah ”perlakuan” akan objek yang menyenangkan sekaligus berharga bagi generasi yang akan datang serta bagi bangsa ”ideal”nya. Lalu merekapun bergerak dan berkreatif ria dengan segala keterbatasan, dengan minimnya bantuan dan dorongan dari lembaga-lembaga yang berkolerasi kerja dengannya, ber”fardlhu kipayah” (dilaksanakan dengan sepenuh hati secara individual untuk menutupi (dosa) kewajiban komunal kepemerintahan).
Buku ”Nandong Seni Tradisional Simeulue Yang Terlupakan” adalah satu dari sekian buku yang mengulas dan mempersentasikan kepada publik tentang khazanah budaya bangsa dari pulau Simeulue untuk Aceh, untuk Indonesia dan untuk dunia. Sebagai wujud kesalehan dari seniman dan penulisnya Yoppi Andri, yang mencintai dan menghargai warisan non matrial leluhurnya. Sebagai bentuk upaya pengabadian seni tradisi kepulauan. Sebagai bagian dari tanggung jawabnya terhadap lestari dan terpublikasinya seni tradisi Aceh yang nyaris hilang dari peta kekayaan kesenian daerah. Dan yang paling penting adalah sebagai apresiasi sekaligus kerja nyata, fardhlu kipayah Yoppi Andri akan kealfaan kita semua. Sebagai salah satu benteng dari sekian benteng lainnya yang telah berlumut dan merapuh.
Sebagai sebuah karya yang berangkat dari rasa tanggungjawab, sang penulis Yoppi Andri dalam bukunya tersebut secara jelas mengupas tentang eksistensi kesenian tradisional Nandong di tengah-tengah masyarakat Simeuleu, sistematika penampilan Kumendang dan acara berlangsungnya Kumendang. Lebih dari itu, buku daerah yang diterbitkan dari Yogyakarta ini juga memperkenalkan beberapa unsur dan alat musik tradisi yang melingkupi kesenian Nandong, mulai dari biola, gendang seramo sampai kepada teknik penyetelannya. Beberapa karangan syair Nandong dan kumpulan pantun Nandong serta expos daerah Simeuleu.
Buku penting bagi publikasi kesenian tradisional, berhalaman kecil dan bernilai besar ini dipengantari oleh sejumlah nama pentingpula dalam pergerakan kebudayaan nasional. Diantaranya budayawan WS Rendra yang beberapa bulan sebelum meninggal dunia sempat menggoreskan tanggapannya dengan menyatakan bahwa buku ini adalah bagian dari pendokumentasian tata nilai, dan pembangunan kesenian tanpa memperhatikan keberagamannya adalah sebuah kekonyolan akan ke-Bhineka Tunggal Ika-nya repubrik yang mengaku berbudaya ini.
Sujiwo Tedjo, seorang seniman nyentrik dan nyeleneh yang dimiliki Indonesia justru menjadikan Nandong sebagai media in memorialnya bermain musik yang kolaborasi dengan sang penulis sekaligus seniman Nandong, Yoppi Andri. Demikian pula kata pengantar lainnya dari Menteri Pendidikan Nasional RI Bambang Sidobyo, Bupati Simeuleu Darmili serta Taufi Rahman dan Moritza Taher yang secara langsung atau tidak turut memperkuat nilai history dan nilai pendokumentasian kesenian Nandong.
Dukungan akan terbitnya buku ini tidak diragukan lagi. Birokrat dan pelaku seni serta merta memberi andil di dalamnya. Meskipun, kata Yoppi Andri, dukungan yang diberikan hanya sebagai suport seorang penonton terhadap pemain, bukan suport pedagang yang ikhlas memberi modal pengganti ongkos cetak. Keandilan mereka tentu bukanlah bagian dari sebuah upaya menaikkan ratting penjuan, tetapi lebih kepada sebuah keberpihakkan yang patut di apresiasi dan dilanjutkan pada upaya penerbitan buku-buku seni tradisional lainnya, di Kabupaten/ Kota dan Provinsi tentunya. Bukan sebagai bagian dari upaya mencari nama dan popularitas dalam ranah budaya, tetapi sebuah ketulusan dan rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan seni warisan indatu.
Tulisan tangan Jauhari Samalanga pada cover buku ”Nandong Seni Tradisional Simeulue Yang Terlupakan” berikut dengan visual alat musik Nandong serta wajah penulisnya adalah bagian dari memunculkan nilai artistiknya sebuah karya seni berbentuk buku. Yang diharapkan akan menjadi intres tersendiri bagi pembaca. Meskipun dari keseluruhan isi belumlah mencerminkan nilai dan keseluruhan akan keunikkan serta menariknya pementasan kesenian Nandong itu sendiri.[]