Gayo bukan Aceh; Mari Kita Hargai Perbedaannya

oleh

Oleh Win Wan Nur

wwnTAHUN 1989, setamat SMP saya memutuskan untuk melanjutkan SMA di Banda Aceh. Di Banda Aceh saya diterima di SMA Negeri 2. Waktu itu di kelas saya, hanya saya sendiri orang Gayo, ada satu Cina dan selebihnya Aceh.

Semasa SMA itu saya sering dijemput untuk menginap di rumah teman sebangku saya. Di rumah teman saya ini ada kebiasaan makan pagi bersama seluruh anggota keluarga. Saat makan pagi ini, teman saya ini tampak begitu akrab dengan bapaknya. Dia ditanyai bagaimana di sekolah, bagaiamana teman-teman, bahkan kami sering lari pagi bersama. Kadang mereka saat makan pun, bapak teman saya ini yang memasakkan telur untuk anaknya dan kadang teman saya ini mengambil ikan dari piring bapaknya.

Pertama kali melihat itu, saya merasa jengah, karena ini sangat janggal bagi saya sebab menurut saya tidak seharusnya begitu. Dalam persepsi saya, teman saya ini sangat tidak sopan dan bapaknya juga tak bisa menjaga wibawa. Tapi tentu saja penilaian awal saya itu keliru.

Penilaian keliru itu terjadi karena saya lahir dan besar di Gayo.  Di Gayo, tempat kelahiran saya, nyaris mustahil menemukan pemandangan seperti di rumah teman sebangku saya itu. Di Gayo seorang bapak  tidak pernah meng-aktualisasi-kan kasih sayangnya kepada anak-anaknya, tidak pernah memperlihatkan keakraban pada anaknya, seperti bercanda, berangkulan dan makan bersama di satu piring. Apalagi kalau itu anak laki-laki.

Di Gayo, hubungan pergaulan antara laki-laki berkerabat, antara abang dan adik, paman dan keponakan sangatlah dingin. Laki-laki Gayo, tak akan merasa nyaman jika dalam satu ruangan hanya ada dia dan pamannya misalnya. Apalagi bapak.

Setelah tinggal di Banda Aceh beberapa lama, akhirnya saya paham, ada banyak sekali tata nilai yang berbeda antara Aceh dan Gayo. Sesuatu  yang dipersepsi baik di Aceh, kadang di Gayo malah sebaliknya.

Contohnya, suatu ketika seorang teman sekolah saya di Gayo menikah dan keluarganya meminta mahar sebesar 50 gram. Teman saya ini langsung jadi buah bibir di Takengen, sebab sebelumnya tidak pernah ada orang yang meminta mahar pernikahan sebanyak itu. Banyak yang mencibir sambil mengatakan “memang secantik apa sih orangnya?”. Di Gayo, perempuan yang meminta mahar tinggi dipersepsi secara negatif. Tapi ketika cerita ini saya sampaikan pada teman-teman di Aceh, mereka malah tertawa “50 gram, itu kan cuma 15 mayam”, kata mereka. Di Aceh justru sebaliknya, meminta mahar sedikit justru dipersepsi kurang menghargai.

Tiga tahun masa SMA membuat saya sudah mulai terbiasa hidup dalam kultur Aceh. Apa yang dulu di Gayo saya pandang aneh, sekarang saya sudah menganggapnya biasa. Bahkan seringkali tidak lagi menyadari kalau sebuah kejadian itu sebenarnya aneh dalam ukuran Gayo.

Waktu kuliah, saya tinggal di Darussalam, kost dengan sepupu yang baru datang dari Gayo. Suatu hari pulang kuliah, sepupu saya ini terlihat mukanya masam. Saya tanya kenapa?

Rupanya, hari itu teman akrabnya di kampusnya di fakultas pertanian, mengajaknya ke rumahnya.  Tapi saat di rumah temannya, dia bertemu ibu temannya, ibu temannya itu hanya tersenyum, dan begitu saja. Dia langsung masuk ke kamar temannya. Tidak ada ditawari kopi.

Di Gayo, sikap orang tua seperti ini ketika teman anaknya berkunjung ke rumahnya pertama kali adalah pernyataan tidak suka dan k ode dari orang tua untuk menyuruh pulang dan jangan lagi pernah berkunjung.

Mendapat perlakuan seperti itu sepupu saya ini sedih sekali, dan tentu saja diperlakukan seperti itu dia tidak mungkin menanyakan secara terus terang pada temannya, apa salahnya. Dia pun kemudian berprasangka, “jangan-jangan karena saya Gayo”. Padahal tentu saja ibu temannya tidak sampai berpikir sejauh itu.

Dari ilustrasi di atas, kita bisa melihat bagaiaman sesuatu yang dianggap baik bahkan sakral dari suku tertentu tidak selalu demikian halnya bagi suku lain.

Cerita perbedaan seperti di atas terlihat tidak begitu serius dan remeh. Mungkin karena terlihat remeh inilah, orang merasa tidak perlu repot-repot memahami orang lain berdasarkan cara pandang budayanya. Padahal sudah berkali-kali terbukti kalau kegagalan mengelola perbedaan ini dan skala konfliknya membesar, yang terjadi bisa seperti apa yang menimpa warga Madura dan Dayak yang menewaskan ratusan bahkan mungkin ribuan orang.

Di Aceh, potensi konflik antar suku ini sangatlah besar, karena di Aceh hidup berbagai suku dengan karakter dan tata nilai yang sangat berbeda.

Pada tingkat individu, kegagalan memahami orang lain berdasarkan cara pandang budayanya memang jarang sampai menimbulkan bencana. Tapi ketika yang gagal memahami itu adalah pemangku kebijakan publik. Sering terjadi, diskriminasi dalam kebijakan. Kadang disadari, kadang tidak. Pada gilirannya ini akan menimbulkan ketidak puasan dan perlawanan.

Dari penggambaran di atas, kita bisa melihat bahwa budaya dan bahasa yang berbeda sangat mempengaruhi cara pandang terhadap dunia. Perbedaan budaya membuat persepsi terhadap persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi bisa jadi sangat berbeda.

Mengapa suku-suku minoritas di Aceh sering merasa didiskriminasi. Itu karena keberagaman ini ditolak dan tidak diakui. Aceh sejak lama, menafikan keunikan masing-masing suku selain Aceh. Aceh selalu membuat propaganda, seolah suku-suku minoritas itu hanyalah sub-suku Aceh. Sehingga sah saja kalau suku-suku minoritas itu diperlakukan dan dihakimi menggunakan standar nilai Aceh yang merupakan suku mayoritas. Bukan berdasar standar nilai masing-masing suku itu sendiri.

Siapapun jelas tidak akan merasa nyaman dihakimi dengan standar nilai yang tidak dia kenal. Aceh dulu sempat merasakannya, ketika kesetiaan dan loyalitas Aceh kepada Indonesia diukur dengan standar kesetiaan dan loyalitas berdasarkan kultur Jawa. Dimana setia artinya harus tunduk tanpa syarat pada raja.

Sebenarnya tidak ada cara lain untuk menghindari konflik ini selain saling mencoba untuk menyadari bahwa tata nilai dan cara mempersepsi dari suku lain tidaklah selalu sama dengan cara kita.

Tapi bagaimana bisa kita melakukannya?. Di Aceh perbedaan ini saja dianggap tidak ada, semua suku dianggap Aceh. Dan siapa yang mengatakan berbeda, dipandang sebagai musuh.

Padahal, ketika Indonesia dulu didirikan oleh para bapak bangsa. Mereka semua menyadari, kalau kita ingin negara ini langgeng. Perbedaan-perbedaan seperti ini wajib dihargai. Karena itulah ada Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang tertulis pada pita yang dicengkeram sang Garuda lambang negara kita.

70 Tahun sudah Indonesia merdeka, seharusnya pengakuan atas keberagaman sudah bukan lagi menjadi isu melainkan sudah diterima sepenuhnya. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.

70 Tahun sudah Indonesia merdeka, di ujung paling barat republik ini, masih ada pemaksaan untuk seragam dengan ungkapan “Gayo adalah Aceh, Aceh adalah Gayo, tak ada beda”. Di provinsi ini  orang yang mengingatkan perbedaan antara Aceh dan Gayo yang sebenarnya adalah Sunatullah, punya resiko besar untuk dicap sebagai anti perdamaian, dimaki-maki disebut provokator dan lain sebagainya.[]

*Pengamat sosial budaya

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.