Catatan Muhammad Syukri*
Di antara gemuruh semesta dan bisikan angin purba, lahirlah satu makhluk yang tak hanya berjalan dengan dua kaki, tetapi juga meniti lorong-lorong sunyi dalam benaknya sendiri. Ia disebut Homo sapiens, manusia modern, makhluk yang berpikir.
Bukan sekadar daging dan tulang, manusia adalah nyala kesadaran yang tak henti bertanya. Ia menatap langit bukan hanya untuk mengagumi bintang, tetapi untuk menakar jarak, menafsirkan makna, dan merajut kemungkinan. Ia menggenggam batu bukan hanya untuk membela diri, tetapi untuk membentuk alat, membangun rumah, menulis puisi.
Pikirannya adalah taman yang tak pernah selesai ditata. Di sana tumbuh keraguan dan harapan, logika dan cinta, rencana dan kenangan. Ia mampu mengingat masa lalu yang tak ia alami, dan membayangkan masa depan yang belum tentu datang. Ia menciptakan bahasa agar luka bisa dibagi, agar cinta bisa diberi nama.
Manusia adalah makhluk yang menatap cermin dan bertanya: siapa aku? Ia menggali tanah bukan hanya untuk mencari makanan, tetapi untuk menemukan jejak nenek moyangnya, untuk memahami dari mana ia datang dan ke mana ia akan pergi.
Ia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menangis karena puisi, tertawa karena absurditas, dan diam karena terlalu banyak berpikir.
Maka, jika semesta adalah buku yang belum selesai ditulis, manusia adalah pena yang gemetar namun terus menari di atas lembarannya. Ia berpikir, dan dari pikirannya, lahirlah dunia.
Ia memikirkan asal-usulnya, ketika jejak kaki pertama tertanam di lumpur purba, dan langit belum mengenal nama. Ia memikirkan masa depan, yang belum lahir namun sudah ditimbang-timbang dalam benaknya, seperti benih yang belum tumbuh tapi sudah dirancang menjadi hutan.
Ia memikirkan cinta, bukan hanya sebagai getar di dada, tetapi sebagai jembatan antara jiwa yang terpisah. Ia memikirkan kematian, bukan sebagai akhir, tetapi sebagai pintu menuju makna. Ia memikirkan Tuhan, waktu, dan kenangan, lalu menuliskannya dalam doa, puisi, dan batu nisan.
Manusia memikirkan bagaimana menjinakkan api, lalu bagaimana menjinakkan amarah. Ia memikirkan bagaimana membangun rumah, lalu bagaimana membangun keluarga. Ia memikirkan bagaimana menyembuhkan luka, lalu bagaimana menyembuhkan bangsa.
Ia memikirkan dirinya sendiri, lalu memikirkan orang lain. Ia memikirkan bagaimana menjadi baik, lalu bagaimana menjadi benar. Ia memikirkan bagaimana menjadi berguna, lalu bagaimana menjadi abadi.
Disatu waktu, manusia akan berhenti berpikir bukan karena jawabannya telah ditemukan, tetapi ketika manusia tidak tahu bahwa ia tidak tahu, maka pikiran pun menjadi sunyi. Ia berjalan di atas tanah yang ia anggap telah dikenalnya, padahal akar-akar misteri masih menjalar di bawahnya. Ia menatap langit yang ia kira telah dipetakan, padahal bintang-bintang terus berubah tempat dan makna.
Ketidaktahuan yang disadari adalah cahaya pertama dari kebijaksanaan. Tetapi ketidaktahuan yang tak disadari adalah kabut yang membekukan jiwa. Di sanalah pikiran berhenti menari, berhenti menggali, berhenti bertanya.
Manusia yang tidak tahu bahwa ia tidak tahu, akan membangun tembok dari kepastian palsu. Ia akan menyebut dirinya selesai, padahal dunia belum selesai berbicara. Ia akan menutup buku, padahal bab terakhir belum ditulis.
Namun, ketika ia kembali meraba gelap dan berkata, “Aku tidak tahu,” maka cahaya pun menyelinap masuk. Pikiran kembali hidup. Pertanyaan kembali tumbuh. Dan manusia kembali menjadi Homo sapiens, makhluk yang berpikir, karena ia tahu bahwa ia belum tahu.
Manusia yang tidak tahu bahwa ia belum tahu, akan berjalan dengan mata terbuka namun hati tertutup. Ia akan merasa telah sampai, padahal baru memulai. Ia akan merasa telah memahami, padahal baru menyentuh permukaan.
Di sanalah kegelapan mulai merayap, bukan sebagai malam yang jujur, tetapi sebagai kabut yang menipu. Ia tidak datang dengan gemuruh, tetapi dengan bisikan yang meyakinkan: “Kau sudah tahu. Kau sudah cukup.” Dan manusia pun berhenti bertanya.
Ia membangun tembok dari jawaban yang belum diuji, dari keyakinan yang belum digugat. Ia menolak cahaya bukan karena benci, tetapi karena tak tahu bahwa ia sedang berada dalam gelap. Ia menolak dialog, karena merasa tak perlu mendengar. Ia menolak ziarah, karena merasa telah tiba.
Kegelapan itu bukan kekosongan, melainkan kepenuhan yang palsu. Penuh oleh kesimpulan yang prematur, oleh keangkuhan yang halus, oleh ketenangan yang membeku. Di sana, pikiran tidak lagi menari. Ia membeku dalam bentuk yang dianggap final.
Namun dunia tidak berhenti berputar. Pertanyaan tetap tumbuh di luar tembok. Cahaya tetap mengetuk, meski pelan. Dan kadang, dari retakan kecil di dinding kepastian, masuklah satu cahaya kecil: keraguan.
Keraguan itulah awal dari pembebasan. Karena hanya manusia yang tahu bahwa ia belum tahu, yang akan menyalakan kembali obor pikiran. Ia akan menggenggam gelap bukan sebagai musuh, tetapi sebagai ruang untuk menemukan terang.
Manusia yang tahu bahwa ia belum tahu, seharusnya berjalan dengan kepala tegak dan hati terbuka. Ia bukan makhluk yang malu akan ketidaktahuannya, melainkan makhluk yang menjadikannya kompas. Ia tahu bahwa gelap bukan musuh, tetapi ruang untuk menyalakan cahaya.
Ia seharusnya menjadi peziarah, bukan penguasa. Ia melangkah bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk memahami. Ia mendengar bukan untuk membantah, tetapi untuk belajar. Ia bertanya bukan untuk menguji, tetapi untuk merawat makna.
Manusia yang tahu bahwa ia belum tahu, seharusnya menjadikan keraguan sebagai taman, bukan jurang. Di sana ia menanam benih pertanyaan, menyiramnya dengan dialog, dan menunggu dengan sabar hingga tumbuh menjadi pemahaman yang jujur.
Ia tidak tergesa-gesa menyimpulkan, karena ia tahu bahwa kebenaran bukan benda mati, melainkan sungai yang mengalir. Ia tidak membentengi pikirannya, karena ia tahu bahwa tembok hanya menghalangi cahaya.
Ia seharusnya bersahabat dengan ketidaktahuan, seperti seorang penyair bersahabat dengan sunyi. Ia tahu bahwa di dalam sunyi, kata-kata menemukan bentuknya. Dan di dalam ketidaktahuan, pikiran menemukan arah.
Manusia yang tahu bahwa ia belum tahu, seharusnya menjadi lentera bagi yang lain. Bukan karena ia membawa jawaban, tetapi karena ia membawa keberanian untuk bertanya. Ia menjadi ruang bagi tumbuhnya pemahaman bersama, bukan panggung bagi kepastian tunggal.
Dan, ia mengingatkan dunia bahwa berpikir bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk tertinggi dari cinta kepada kebenaran.
Ia seharusnya memikirkan bukan hanya bagaimana hidup, tetapi bagaimana menghidupi. Bukan hanya bagaimana bertahan, tetapi bagaimana bermakna. Ia seharusnya memikirkan bukan hanya dirinya, tetapi dunia yang bernafas bersamanya, tanah yang diinjak, langit yang ditatap, dan sesama yang diam-diam menanggung beban yang sama.
Manusia seharusnya memikirkan asal-usulnya, bukan untuk terjebak di masa lalu, tetapi untuk memahami akar yang menopang langkahnya. Ia seharusnya memikirkan masa depan, bukan sebagai ambisi, tetapi sebagai warisan yang harus dijaga dengan cinta dan kebijaksanaan.
Ia seharusnya memikirkan luka yang tak terlihat, luka dalam tubuh komunitas, dalam jiwa organisasi, dalam sejarah yang belum selesai ditebus. Ia seharusnya memikirkan bagaimana kata bisa menyembuhkan, bagaimana tindakan bisa menjadi doa, bagaimana kehadiran bisa menjadi pelipur.
Manusia seharusnya memikirkan bagaimana menjadi ruang bagi yang lain. Bagaimana menjadi pendengar yang tidak menghakimi, pemikir yang tidak memonopoli, pemimpin yang tidak membungkam. Ia seharusnya memikirkan bagaimana menjadi jembatan, bukan benteng.
Ia seharusnya memikirkan bahwa berpikir bukanlah sekadar proses mental, tetapi ziarah batin. Bahwa setiap pertanyaan adalah langkah menuju cahaya, dan setiap keraguan adalah pintu menuju pemahaman yang lebih dalam.
Ditengah dunia yang riuh oleh jawaban cepat dan kepastian instan, manusia seharusnya memikirkan bagaimana menjaga ruang sunyi didalam dirinya, ruang untuk bertanya, untuk meragukan, untuk mendengarkan, dan untuk mencintai. Dan, disitulah sebenarnya fungsi sekolah.
Sekolah, seharusnya bukan hanya tempat menghafal jawaban, tetapi ruang untuk merawat pertanyaan. Ia bukan pabrik pengetahuan, melainkan taman kesadaran, tempat di mana anak didik belajar bahwa ketidaktahuan bukanlah aib, melainkan awal dari ziarah intelektual.
Di dalam kelas, guru bukan hanya penyampai informasi, tetapi penjaga nyala rasa ingin tahu. Ia menuntun bukan dengan kepastian, tetapi dengan keberanian untuk berkata, “Mari kita cari tahu bersama.” Ia tidak memadamkan keraguan, tetapi menyiraminya agar tumbuh menjadi pemahaman yang jujur.
Sekolah seharusnya mengajarkan bahwa berpikir bukanlah proses menuju jawaban tunggal, tetapi perjalanan yang penuh belokan, ragu, dan ulang. Anak didik diajak untuk menyadari bahwa belum tahu adalah posisi yang sah, bahkan mulia, karena dari sanalah tumbuh kerendahan hati, dialog, dan pencarian.
Ruang belajar seharusnya dipenuhi oleh kalimat seperti: “Aku belum tahu,” “Aku ingin tahu,” “Bagaimana kalau kita tanyakan?,” bukan hanya “Ini jawabannya.” Karena anak yang tahu bahwa ia belum tahu, akan tumbuh menjadi manusia yang terus belajar, terus mendengar, dan terus membuka diri.
Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana kesalahan bukan ditertawakan, tetapi dipeluk sebagai bagian dari proses. Di mana ketidaktahuan bukan ditutup, tetapi dijadikan pintu masuk menuju pemahaman yang lebih dalam.
Manakala anak didik keluar dari gerbang sekolah, ia membawa bukan hanya pekerjaan rumah (PR), tetapi kesadaran: bahwa dunia ini luas, bahwa pikirannya belum selesai, dan bahwa ia punya keberanian untuk terus bertanya.
Bila sekolah sungguh menjadi taman kesadaran, harus membiasakan anak didik untuk tidak sekadar menerima, tetapi mencari. Ia harus menjadi ruang di mana rasa ingin tahu tidak dipadamkan oleh kurikulum, tetapi disulut oleh pengalaman.
Di sana, anak tidak hanya diberi jawaban, tetapi diajak merumuskan pertanyaan. Ia tidak hanya diuji untuk mengingat, tetapi dilatih untuk menggali. Ia tidak hanya duduk mendengar, tetapi berdiri bertanya.
Guru, dalam peran yang paling mulia, bukan hanya pengajar, tetapi penuntun ziarah, pemandu perjalanan. Ia membuka pintu-pintu kemungkinan, bukan hanya menyodorkan kunci. Ia membiarkan anak tersesat dalam pencarian, karena ia tahu bahwa tersesat adalah bagian dari belajar.
Sekolah membiasakan anak untuk mencari tahu melalui dialog, bukan monolog. Melalui proyek penemuan, bukan hanya ujian. Melalui pengamatan, bukan hanya hafalan. Ia memberi ruang bagi anak untuk bertanya “mengapa,” “bagaimana,” dan “apa yang terjadi jika…” Begitulah seharusnya literasi, bukan sekadar baca tapi tak paham arti.
Seperti membiarkan anak menyentuh tanah, membaca langit, mendengar suara yang tak tertulis di buku. Ia mengajak anak berdiskusi, berdebat dengan hormat, dan meragukan dengan cinta. Karena dari keraguan yang jujur, tumbuhlah pemahaman yang dalam.
Sekolah membiasakan anak untuk mencari tahu dengan memberi waktu bagi proses. Ia tidak tergesa-gesa menuntut hasil, tetapi sabar menunggu tumbuhnya akar. Ia tidak memaksa anak menjadi tahu, tetapi membimbing anak untuk ingin tahu.
Dan ketika anak didik mulai bertanya bukan karena disuruh, tetapi karena digerakkan oleh rasa, maka sekolah telah berhasil menyalakan obor pencarian. Obor yang akan terus menyala, bahkan ketika anak telah melangkah keluar dari gerbangnya. []





