Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
Ketika musim liburan tiba, kehidupan diseputaran kota Takengon tampak riuh, begitu juga disepanjang pinggiran danau Laut Tawar.
Riuh pariwisata memang punya peran besar dalam membangkitkan kehidupan kota Takengon, baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, sampai lingkungan.
Pariwisata tidak hanya soal kunjungan wisatawan, tetapi juga denyut kehidupan sebuah kota. Ketika sektor pariwisata bergerak, berbagai lini kehidupan ikut terangkat: UMKM (Usaha, Mikro Kecil dan Menengah ) hidup, lapangan kerja tercipta, infrastruktur berkembang, dan identitas lokal makin dikenal luas.
Kota yang tadinya lesu bisa kembali bergairah karena hadirnya wisatawan yang memberi napas baru bagi perekonomian dan semangat masyarakat.
Bila kota Takengon mampu mengelola potensi wisatanya secara berkelanjutan tak hanya menarik dari sisi ekonomi, tetapi juga menjadi tempat yang lebih layak huni.
Ruang publik dibenahi, transportasi ditingkatkan, dan kebudayaan lokal dilestarikan. Wisata sejatinya bukan sekadar tentang “datang dan melihat”, tapi juga “merasakan dan menghidupkan”, baik bagi wisatawan maupun penduduk lokal.
Namun, keberhasilan ini menuntut kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Tanpa perencanaan matang, pariwisata justru bisa membawa dampak negatif seperti over-tourism, kenaikan harga hidup, atau hilangnya jati diri kota Takengon.
Maka, penting bagi kota Takengon untuk menyeimbangkan antara eksploitasi potensi dan pelestarian karakter lokalnya
Kota Takengon tanpa danau Laut Tawar akan terasa seperti kehilangan jati dirinya. Tanpa danau ini, wajah kota Takengon akan kehilangan salah satu daya tarik utamanya.
Bayangkan sejenak kota Takengon tanpa danau Laut Tawar. Tidak ada panorama danau diatas awan yang estetik di Indonesia.
Tidak ada ceruk Mendale, tidak ada cerita tentang asal-usul kehidupan Gayo 7400 tyl, tidak ada napas budaya yang berpadu dengan keindahan alam. Yang tersisa hanyalah kekosongan secara identitas, ekonomi, dan kebanggaan.
Danau Laut Tawar bukan sekadar destinasi wisata, ia adalah jantung emosional dan budaya Gayo. Ia menjadi pusat cerita, tempat lahirnya legenda, dan penyambung hidup warga yang bergantung pada sektor pariwisata dan perikanan.
Jika danau Laut Tawar hilang, kota Takengon akan kehilangan simbol utamanya.
Tanpa danau Laut Tawar, denyut pariwisata kota Takengon mungkin takkan sekuat sekarang. Potensi lain tetap memesona, namun danau Laut Tawar punya magnet tersendiri, ikon yang mengundang dunia datang.
Kehilangannya akan menjadi pukulan besar, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga eksistensi (https://lintasgayo.co/2022/05/08/danau-lut-tawar-ikon-wisata-tanoh-gayo/).
Lebih dari itu, danau Laut Tawaer adalah pengingat bahwa manusia dan alam harus hidup berdampingan.
Ancaman pencemaran, eksploitasi sumber daya, dan ketidaktertiban pembangunan di sekitarnya seolah jadi peringatan: jika kita lalai menjaga, kita bisa benar-benar melihat masa depan tanpa Danau Laut Tawar dan itu bukan sekadar opini, tapi ancaman nyata.
Dengan pendekatan yang bijak dan inklusif, pariwisata bukan hanya membangkitkan kehidupan kota, tetapi juga menghidupkan harapan akan masa depan yang lebih berkelanjutan (https://lintasgayo.co/2021/05/02/menata-masa-depan-danau-lut-tawar/).
Pariwisata sering dianggap sebagai cara untuk meningkatkan ekonomi lokal, tetapi ketika menjadi terlalu eksklusif, justru bisa merampas hak masyarakat sekitar.
Danau yang dulunya bisa diakses bebas oleh siapa saja, kini berubah menjadi tempat wisata mahal yang hanya bisa dinikmati segelintir orang.
Privatisasi ruang publik, banyak danau yang awalnya merupakan bagian dari lingkungan alami dan dapat diakses masyarakat kini dikelola oleh hotel, resort, atau pengusaha besar ( https://lintasgayo.co/2025/02/16/danau-lut-tawar-milik-siapa/).
Bila hal tersebut terus dibiarkan tanpa regulasi yang jelas, maka hal tersebut bisa berdampak.
Pertama, akses masyarakat dibatasi, bahkan untuk penduduk lokal yang hidup di sekitar danau.Kedua, biaya masuk mahal, menjadikannya hanya tempat rekreasi bagi kalangan tertentu.
Ketiga, aktivitas tradisional terpinggirkan, seperti nelayan atau warga yang biasa mencari air atau berkumpul di tepi danau.
Dampak bagi sosial dan ekonomi. Pariwisata eksklusif sering dijual sebagai “peluang ekonomi,” tetapi lebih banyak menguntungkan investor daripada masyarakat sekitar.
Beberapa dampak negatifnya. Yakni ; harga tanah naik, memaksa warga lokal pindah karena tidak mampu membeli atau menyewa.
Lapangan pekerjaan terbatas, karena sering kali tenaga kerja yang dipekerjakan berasal dari luar daerah, bukan masyarakat setempat.
Ketimpangan ekonomi meningkat, di mana hanya segelintir orang yang mendapatkan keuntungan besar dari pariwisata.
Timbulnya kerusakan lingkungan. Alih-alih menjaga kelestarian danau, pariwisata eksklusif sering kali merusak ekosistem.
Contohnya, Pembangunan resort dan vila mewah yang mengurangi ruang hijau dan merusak ekosistem alami dan polusi dari aktivitas wisata, seperti sampah plastik, limbah hotel, atau kebisingan yang mengganggu flora dan fauna (https://lintasgayo.co/2023/10/26/selamatkan-ekologi-danau-lut-tawar/)
Menurut hemat penulis, bahwa seharusnya pariwisata tidak hanya menguntungkan segelintir orang. Solusi yang lebih inklusif bisa mencakup, antara lain ;
Pertama, membatasi privatisasi lahan di sekitar danau agar tetap bisa diakses publik. Kedua, mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat, di mana warga sekitar menjadi bagian dari pengelolaan dan mendapatkan manfaat ekonomi langsung.
Ketiga, membuat regulasi ketat untuk memastikan lingkungan danau tetap terjaga dan tidak hanya menjadi objek eksploitasi bisnis.
Pariwisata bisa menjadi berkah atau bencana, tergantung bagaimana dikelola. Jangan sampai warga lokal menjadi penonton dinegerinya sendiri.
Dan kalau ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penangan, penataan yang jelas bisa menjadi bola salju konflik. Tunggu meledaknya. Nauzubilahiminzalik.
*Penulis adalah hanya seorang antropolog dan pemerhati masalah sosial yang berdomisili di seputaran kota Takengon.