Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
Danau Lut Tawar yang terletak dijantung wilayah provinsi Aceh atau tepatnya disebelah timur kota Takengon ibu kota kabupaten Aceh Tengah.
Luasnya 5.47 ha dengan panjang 17 km dan lebarnya 3.219 km diketinggian 1.100 dpl dengan kedalaman maksimal 80 m (260 ft) dengan volume airnya kira-kira 2,5 triliun liter.
Saat ini menjadi salah satu objek favorit kunjungan wisatawan dengan motto “berkunjung ke laut yang airnya tawar, danau Lut Tawar Takengon” serta menikmati aktrasi alamnya yang terjadi, yaitu Sunset dan Sunrise yang sangat menarik. Tak boleh dilewatkan bila kita telah menginjakkan kaki di kota Dinginya Aceh itu.
Saat penulis masih kecil, era tahun 80-an. Suasana sekeliling danau Laut Tawar masih terbuka untuk seluruh masyarakat menikmati dengan bebas seluruh areal danau Laut Tawar.
Baru-baru ini ketika penulis membawa anak-anak berrekreasi mengelilingi danau Laut Tawar, terasa sangat susah untuk mencari areal untuk bisa beristirahat sejenak dipinggiran danau tersebut.
Semua sudah ada yang memiliki. Terasa seperti mengeliling danau Toba di Sumatra Utara. Asing dan sangat asing bagi kami warga yang besar dan lahir dipinggiran danau itu.
Dulu, danau Laut Tawar adalah milik bersama, tempat masyarakat mencari ikan, mengambil air, atau sekadar menikmati keindahan alam tanpa batasan.
Danau ini menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan budaya, masyarakat Gayo diwariskan turun-temurun sebagai sumber daya alam yang harus dijaga bersama.
Tapi, sekarang, danau Laut Tawar menjadi asing bagi anak-anak masyarakat Gayo karena telah dikuasai oleh pemodal besar. Lahan di sekitar danau sering dibeli dan dikomersialkan untuk resort, wisata eksklusif dan perikanan intensif.
Masyarakat lokal yang dulu bebas mengaksesnya kini sering dibatasi, bahkan kehilangan hak atas sumber daya yang telah mereka manfaatkan selama ini.
Privatisasi danau Laut Tawar ini bukan hanya mengurangi akses masyarakat, tetapi juga sering merusak ekosistem. Eksploitasi berlebihan, reklamasi, dan pencemaran menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan danau.
Jika dibiarkan, danau Laut Tawar yang seharusnya menjadi warisan bersama bisa sepenuhnya jatuh ke tangan segelintir pemilik modal.
Perlu ada regulasi ketat dan kesadaran kolektif agar danau tetap bisa diakses dan dinikmati oleh semua orang, bukan hanya segelintir orang yang mampu membeli kekayaan alam tersebut.
Dalam banyak kasus, danau dianggap sebagai bagian dari “commons” atau milik publik, yang berarti semua orang memiliki hak untuk mengaksesnya sesuai dengan hukum dan regulasi setempat.
Bahwa “dulu danau Laut Tawar milik kita, tapi sekarang cukup sangat pantas kita sebut milik oligarki” mencerminkan kritik terhadap bagaimana sumber daya alam, yang dulunya dianggap sebagai milik publik, kini lebih banyak dikuasai oleh segelintir orang.
Mengapa hal itu bisa terjadi. Ada beberapa alasan mengapa ini bisa terjadi ; Pertama, privatisasi sumber daya alam. Banyak danau dulunya merupakan aset publik yang dapat diakses oleh masyarakat secara bebas.
Namun, karena kebijakan privatisasi, banyak sumber daya alam, termasuk danau, diserahkan kepada individu dengan kepentingan bisnis.
Kedua, eksploitasi dan komersialisasi. Danau sering kali menjadi target eksploitasi untuk kepentingan ekonomi, seperti ; pariwisata eksklusif yang membuat area danau hanya bisa diakses oleh mereka yang membayar mahal dan proyek properti seperti resort mewah atau vila yang membatasi akses publik.
Ketiga, lemahnya regulasi. Oligarki sering kali memiliki kedekatan dengan elite politik, memungkinkan mereka mendapatkan izin eksklusif atas danau. Regulasi yang seharusnya melindungi akses publik bisa jadi tidak ditegakkan dengan baik karena kepentingan bisnis lebih diutamakan.
Keempat, degradasi lingkungan dan hilangnya akses publik. Ketika danau dikuasai oleh segelintir pihak, masyarakat sering kehilangan akses terhadapnya.
Misalnya, pencemaran atau limbah dapat merusak ekosistem danau, yang akhirnya membuatnya tidak lagi bisa digunakan oleh masyarakat setempat.
Perubahan kepemilikan dan akses terhadap danau adalah cerminan dari ketimpangan ekonomi dan kekuasaan. Oligarki yang menguasai sumber daya ini sering kali mendapatkan keuntungan besar, sementara masyarakat yang dulu bergantung pada danau untuk kehidupan sehari-hari semakin terpinggirkan.
Langkah yang bisa diambil agar danau, khususnya danau Lut Tawar tetap menjadi milik masyarakat Gayo pada khususnya, yang harus melibatkan kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat, dan perlindungan lingkungan. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan.
Perlindungan hukum dan regulasi dengan menetapkan danau Laut Tawar sebagai kawasan lindung atau milik publik agar tidak bisa dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, membuat regulasi yang membatasi kepemilikan pribadi atas wilayah di sekitar danau dan menegakkan hukum terhadap pihak yang mencoba menguasai atau mengeksploitasi danau secara ilegal.
Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dengan memastikan bahwa izin pemanfaatan danau atau sekitarnya diberikan secara adil dan tidak berpihak pada kepentingan segelintir elite dan mengawasi kebijakan tata ruang agar tidak memungkinkan privatisasi danau, serta mendorong audit dan pemantauan independen terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya air.
Mendorong masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan dan perlindungan danau Laut Tawar dengan membentuk komunitas lokal yang mengawasi aktivitas kelompok atau individu di sekitar danau serta mengedukasi masyarakat tentang hak-hak mereka terkait akses terhadap sumber daya alam.
Pencegahan komersialisasi berlebihan dengan menolak proyek-proyek yang dapat menyebabkan monopoli atau eksploitasi berlebihan, seperti resort eksklusif atau industri yang mencemari lingkungan dan mendorong ekowisata berbasis masyarakat yang tetap menjaga kelestarian danau.
Membatasi akses oligarki ke sumber daya dengan melarang kepemilikan pribadi atas danau atau pengelolaan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan mengatur pajak atau pembatasan investasi asing dan swasta dalam pengelolaan sumber daya air.
Dengan kombinasi regulasi ketat, transparansi, dan peran aktif masyarakat, danau Laut Tawar bisa tetap menjadi milik bersama dan terhindar dari penguasaan kelompok tertentu yang merasa lebih berhak.
Semua pihak harus dilibatkan, jaring aspirasi yang kreatif yang sifatnya menguatkan eksistensi danau Laut Tawar dimasa yang akan datang. Kebijakan-kebijakan yang diambil bukan hanya ditentukan satu atau beberapa kelompok yang berpotensi maha tahu apa yang terbaik bagi keberadaan danau ini.
Hilangkan kepentingan golongan atau kerlompok atau keuntungan sesaat yang mengorbankan kepentingan yang lebih besar di masa yang akan datang.
Jangan sampai kita dijuluki generasi mata duitan dan jangan kita dianggap generasi rakus oleh oleh keturunan kita. Tidak lagi muncul cerita nantinya “dulu danau ini milik kita tapi sekarang kita hanya bisa menjadi penonton di negeri kita sendiri dengan alasan menggembangkan pariwisata”. Sebelum nasi jadi bubur, kita harus segera bergerak dan bertindak.
Kita berharap, semoga dengan terpilihnya bupati definiti Aceh Tengah periode 2025/2030 pasangan Haili Yoga dan Muchsin Hasan dapat merancang master plan danau Laut Tawar yang berpihak kepada rakyat dengan tidak merusak ekosistemnya dengan menjunjung pariwisata yang berkelanjutan. Amin
*Penulis adalah antropolog dan pemerhati masalah sosial yang berdomisili di seputaran kota Takengon.