Kenapa Remaja Kita Harus Berantam Lagi?

oleh

Oleh : Hammaddin Aman Fatih*

Kita terkejut mendengar berita yang beredar di media sosial tentang berita terjadinya perkelahian remaja di kecamatan Bener Kelipah Kabupaten Bener Meriah dan saat ini telah viral menjadi disorot media nasional.

Kayaknya masih terang dalam ingat kita, peristiwa serupa ini pernah terjadi setahun yang lalu, tepatnya di jum’at sore di bulan april 2024, muncul kabar telah terjadi perkelahian remaja di lapangan Musara Alun Takengon Aceh Tengah yang telah menimbulkan korban jiwa.

Terkait : Viral Pengeroyokan Remaja di Masjid Bener Meriah Hingga Orang Tua Meninggal, Kapolsek Bandar : Jangan Terprovokasi, Masih Mediasi

Mirisnya peristiwa ini dua-duanya terjadi dalam suasana yang sangat religius bagi kita umat Islam. Dulu kejadian masih dalam suasana saling maaf memaafkan (hari raya Idul Fitri 1445 H) menimbulkan satu korban.

Kejadian sekarang ini yang membuat hati kita lebih miris lagi terjadi di dalam rumah ibadah jam 01.00 Wib dini hari dan dalam bulan ramadhan, bulan yang penuh ampunan dan rahmat terjadi di kampung Bener Kelipah Selatan kecamatan Bener kelipah kabupaten Bener Meriah yang kabarnya orang tua korban meninggal dunia dalam proses medias.

Melihat kronologis kejadian yang berlangsung ditengah malam, seperti pemberitaan salah satu media online lokal. Penulis teringat ketika nonton film G30S/PKI. Ada adegan ketika serombangan massa ditengah malam menyerbu masuk ke dalam masjid dan memukuli para santri yang berada di dalamnya.

Mengapa harus terjadi lagi. Ini merupakan pukulan berat bagi kita, khususnya penentu kebijakan di negeri ini yang harus mengambil tindak yang kongkrit menuntaskannya. Apa yang salah dengan karakter remaja kita saat ini ???????? Tidak ada moral dan etika mereka sampai tempat yang sangat kita hormati sudah tidak ada lagi harganya dimata mereka.

Dulu waktu kejadian di musaara alun Takengon, penulis juga telah pernah menulis opini tentang hal tersebut dengan tema kenapa hal tersebut harus terjadi ( lihat : https://lintasgayo.co/2024/04/15/anak-berkelahi-ada-apa-dengan-budaya-kita/ ) dan juga dingkat dalam dialog Takengon Pagi di RRI Takengon pada tanggal 25 April 2024 yl tema “Dukungan sosial membentuk fondasi yang kuat bagi masyarakat Aceh Tengah”. Setahun kemudian, saat ini terjadi lagi.

Ada banyak alasan kenapa anak-anak remaja sering bertengkar atau berantam, baik dengan teman sebaya, saudara, atau bahkan orang tua. Beberapa penyebab utamanya bisa jadi disebabkan ;

Faktor emosi yang tidak stabil, dimana remaja masih dalam proses perkembangan emosional, jadi mereka lebih mudah tersinggung atau marah. Kadang mereka belum tahu cara mengelola emosi dengan baik.

Tekanan sosial yang mana mereka ingin diterima di lingkungan pergaulan, jadi kalau ada perbedaan pendapat atau konflik kepentingan, bisa berujung pada pertengkaran.

Persaingan dan ego, ada beberapa remaja punya sifat kompetitif, terutama dalam hal popularitas, akademik, atau hubungan sosial. Jika merasa tersaingi atau direndahkan, mereka bisa bereaksi dengan marah atau agresif.

Pengaruh media dan lingkungan yang banyak tontonan atau game yang menampilkan kekerasan, membuat beberapa remaja menganggap bahwa kekerasan adalah cara menyelesaikan masalah. Selain itu, jika lingkungan mereka sering menunjukkan perilaku agresif, mereka bisa meniru.

Ditambah kurangnya komunikasi yang baik, karena tidak semua remaja tahu cara menyampaikan perasaan atau pendapat dengan baik. Kadang, mereka lebih memilih bertengkar daripada berdiskusi.

Dan mungkin juga masalah keluarga atau stres pribadi, terkadang remaja yang punya masalah di rumah, seperti orang tua sering bertengkar atau tekanan akademik yang berat, bisa melampiaskan emosinya dengan berantam.

Selain hal diatas, peran keluarga punya peran besar dalam mencegah anak-anak remaja berantam, karena rumah adalah tempat pertama mereka belajar tentang nilai, emosi, dan cara menghadapi konflik.

Dari beberapa beberapa referensi yang penulis baca menyebutkan bahwa peran penting keluarga untuk mencegah hal tersebut terjadi, antara lain sebagai berikut :

Pertama, memberikan pendidikan emosi dan kontrol diri.

Orang tua bisa mengajarkan anak cara mengenali dan mengelola emosi. Jika mereka terbiasa melihat orang tua menyelesaikan masalah dengan tenang, mereka akan meniru cara yang sama saat menghadapi konflik.

Kedua, menjadi contoh yang baik

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika orang tua sering bertengkar atau menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, anak-anak cenderung meniru perilaku tersebut. Sebaliknya, jika orang tua menunjukkan sikap tenang dan bijak, anak juga akan belajar menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

Ketiga, membangun komunikasi yang terbuka

Ketika remaja merasa didengar dan dipahami di rumah, mereka lebih kecil kemungkinan untuk meluapkan emosi dengan cara berantam di luar. Orang tua perlu sering berdiskusi dengan anak tentang masalah yang mereka hadapi dan memberikan solusi yang baik.

Keempat, mengajarkan cara menyelesaikan konflik dengan damai

Ajarkan anak cara menyelesaikan masalah tanpa kekerasan, misalnya dengan berbicara baik-baik, mencari jalan tengah, atau menghindari provokasi. Ini bisa dilakukan dengan simulasi atau diskusi dari pengalaman sehari-hari.

Kelima, menjaga keharmonisan keluarga

Keluarga yang penuh kasih sayang dan dukungan membuat anak lebih stabil secara emosional. Anak yang merasa dicintai dan dihargai di rumah lebih kecil kemungkinannya untuk melampiaskan amarah dengan cara berantam.

Keenam, memberikan pengawasan dan bimbingan

Orang tua perlu tahu dengan siapa anak bergaul dan bagaimana lingkungan mereka. Jika anak mulai terpengaruh oleh teman yang suka berantam, orang tua bisa memberi nasihat dan membimbing mereka ke pergaulan yang lebih positif.

Ketujuh, mendorong kegiatan positif

Dengan mengajak anak mengikuti kegiatan yang positif seperti olahraga, seni, atau kegiatan sosial, mereka bisa menyalurkan energi dengan cara yang lebih baik daripada bertengkar.

Keluarga adalah faktor utama dalam membentuk karakter remaja. Jika suasana keluarga baik, komunikasi terbuka, dan anak mendapat bimbingan yang cukup, mereka akan lebih mampu menghindari konflik dan bertindak lebih dewasa.

Penulis juga sangat berharap, pemimpin-pemimpin leval bawah sampai keatas formal maupun non formal, marilah jadilah panutan yang bisa jadi panutan, jangan mempertontonkan hal-hal yang tidak sesuai dengan agama, budaya dan etika moral yang berlaku.

Apakah atau mungkinkah mereka saat ini telah kehilangan panutan. Sehingga mereka bertindak mengikuti apa yang mereka lihat selama ini. Yang seharusnya menjadi panutan mereka, tidak yang seperti harapan mereka. Naudzubillah min dzalik.

*Penulis adalah antropolog dan pemerhati masalah sosial yang berprofesi sebagai pendidik.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.