- Oleh : Oleh : Dr. Joni, M.PdB.I*
”Kebebasan berekspresi harus sejalan dengan nilai agama dan adat. Akhlak, moral, etika, dan integritas harus dijaga untuk keharmonisan sosial. Tanpa kesadaran kolektif, perpecahan dan kerusakan moral, etika dan akhlak mengancam masa depan Generasi muda”
Akhlak, moral, dan etika penting untuk memberikan panduan perilaku, memperkuat hubungan sosial, menjaga keadilan, menumbuhkan rasa tanggung jawab, serta meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional.
Ketiganya membentuk dasar masyarakat yang harmonis, adil, dan Sejahtera (Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulum al-Din (Revival of Religious Sciences; Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. 2017; Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. 2019; Kohlberg, L. 1981;) dan QS: Al-Qalam, ayat, 68:4.
Ayat ini menggambarkan bahwa akhlak yang baik adalah sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang Muslim, mencerminkan pentingnya moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Menjaga kebersihan hati sesuai ajaran Nabi mengharuskan kita untuk selalu menjaga akhlak, moral, dan etika.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bukhari). dan etika (Syukri, 2018).
Kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan kesadaran terhadap nilai agama dan adat (Mubarak, 2020), agar hati tetap bersih dan masyarakat terhindar dari kerusakan moral (M. Ali Jadun, 2006).
Akhlak yang baik mencerminkan kebersihan hati dan menjadi dasar dalam berinteraksi dengan sesama.
Kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan kesadaran terhadap nilai agama dan adat, agar hati tetap bersih dan masyarakat terhindar dari kerusakan moral.
Peristiwa yang terjadi di Jagong Jeget, Aceh Tengah, pada 16 Februari 2025, menimbulkan kontroversi besar di kalangan masyarakat Gayo. Kejadian ini melibatkan sekelompok anak muda yang berjoget di depan panggung tanpa mengenakan jilbab, diiringi musik dangdut genre breakbeat.
Peristiwa tersebut dianggap melanggar norma adat Gayo dan ajaran Islam, terutama kewajiban menutup aurat (Syukri, 2018). Hal ini memicu ketegangan sosial dan psikologis di masyarakat, serta menimbulkan pro dan kontra mengenai kebebasan berekspresi yang bertabrakan dengan kewajiban menjaga norma agama dan adat.
Aceh, sebagai wilayah yang menerapkan Syariat Islam secara ketat, memiliki aturan tegas terkait kewajiban menutup aurat. Selain itu, adat Gayo yang mengutamakan kesopanan dan kehormatan diri juga terabaikan dalam kejadian ini.
Peristiwa ini terjadi pada penutupan HUT Jagong Jeget, yang sebelumnya diisi dengan kegiatan bernilai budaya tinggi seperti Gedruk, Didong Jalu, shalawatan, dan pawai adat Gayo.
Reaksi keras dari masyarakat setempat menunjukkan kekecewaan atas ketidakpedulian terhadap pelestarian nilai agama dan adat.
Dalam perspektif budaya Gayo, norma adat “Mukemel” mengajarkan rasa malu jika tidak berbuat baik. Perilaku berjoget tanpa jilbab di tempat umum dianggap tidak pantas dan bertentangan dengan norma-norma yang telah lama diajarkan.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Alm. Arifin Bantacut (2011), pernah menegaskan kepada penulis bahwa pentingnya menjaga kehormatan diri dan perilaku sesuai dengan prinsip agama dan adat.
Begitu juga dalam adat Gayo, terdapat pantangan “Madu ni Edet”, yang mencakup konsep “Terjah, Empah, Tangak, dan Tonga”, yang mengajarkan untuk menghindari perilaku merusak ketertiban, bersikap kasar, angkuh, dan melewati batas kesopanan (M. Ali Jadun, 2006).
Dalam perspektif agama Islam, peristiwa ini sangat bertentangan dengan kewajiban menutup aurat bagi wanita. Kebebasan berekspresi tidak boleh mengorbankan nilai-nilai yang telah lama diterima dalam kehidupan masyarakat (Syukri, 2018).
Perilaku yang tidak sesuai dengan norma ini dikhawatirkan dapat merusak moralitas, khususnya di kalangan generasi muda yang merupakan masa depan komunitas.
Reaksi masyarakat setempat sangat keras, dengan banyak yang menilai kejadian ini sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai agama dan adat.
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah juga mendapat kritik terkait kelalaian dalam mengawasi pelaksanaan Syariat Islam dan adat Gayo di ruang publik.
Untuk menghindari terulangnya kejadian serupa, langkah tegas dari pemerintah sangat diperlukan. Pemerintah harus lebih proaktif dalam memperketat pengawasan terhadap acara publik dan memastikan pelaksanaan norma-norma agama dan adat di setiap kegiatan.
Berdasarkan peristiwa yang terjadi di Jagong Jeget, maka diharapkan kepada Dinas Syari’at Islam, Majelis Adat Gayo, dan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh perlu memperketat pengawasan terhadap acara publik, memastikan pelaksanaan norma agama dan adat, serta menyelenggarakan edukasi intensif tentang pentingnya menjaga akhlak, moral, dan etika.
Kolaborasi antara lembaga ini akan menjaga keharmonisan sosial dan mencegah kerusakan moral.
Edukasi tentang pentingnya menjaga nilai-nilai agama dan adat harus dilakukan secara intensif, terutama bagi generasi muda. Seminars, pelatihan, dan kampanye mengenai kesopanan, kehormatan, dan pengetahuan tentang adat dan agama perlu digalakkan di seluruh lapisan masyarakat.
Penguatan peran ulama dan tokoh adat juga menjadi bagian penting dalam menjaga kesadaran masyarakat. Tokoh agama menyarankan bahwa pendidikan agama berbasis pada pemahaman kontekstual adalah kunci dalam menghadapi tantangan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan (Mubarak, 2020).
Sebagai kesimpulan, peristiwa di Jagong Jeget menjadi pengingat penting bahwa menjaga keharmonisan sosial di tengah kebebasan berekspresi memerlukan kesadaran kolektif.
Pemerintah dan masyarakat Gayo harus bekerjasama dalam menegakkan prinsip-prinsip agama dan adat, sehingga generasi muda dapat berkembang dengan pemahaman yang kokoh tentang pentingnya menjaga kesopanan, kehormatan, dan nilai-nilai luhur yang menjadi identitas adat dan budaya mereka.
Tanpa tindakan tegas dan kesadaran bersama, keberlangsungan norma agama dan adat akan semakin terancam.
Akhlak, moral, etika, integritas, dan empati adalah nilai-nilai penting dalam membangun masyarakat yang harmonis.
Akhlak mengajarkan pentingnya menjaga perilaku baik dan sopan santun dalam interaksi sosial, mencerminkan kepribadian yang dihormati.
Moral menekankan nilai universal seperti kejujuran dan keadilan sebagai dasar pengambilan keputusan. Etika mengatur tata cara berperilaku, baik profesional maupun personal, guna menghindari konflik.
Integritas menjaga konsistensi perkataan dan perbuatan, sementara empati mempererat hubungan antarindividu dengan saling memahami perasaan. Semua ini berkontribusi pada terciptanya masyarakat beradab.
Melanggar moral seperti yang sudah dijelaskan di atas (norma adat dan konsep Islam/ Syari’at) akan merusak fondasi mental dan moral kemanusiaan anggota masyarakatnya dan runtuhnya kekuatan bangsa, sementara perilaku tanpa etika bisa menimbulkan ketidakharmonisan dalam lingkungan profesional maupun pribadi.
Kurangnya integritas akan mengarah pada ketidakkonsistenan antara perkataan dan perbuatan, merusak reputasi dan hubungan.
Tanpa empati, hubungan antarindividu akan terasa dingin dan terpecah. Secara keseluruhan, hal ini dapat mengarah pada masyarakat yang tidak beradab, merusak tatanan adat dan agama, dan saling merugikan sesama.
Peristiwa di Jagong Jeget mengingatkan kita bahwa kebebasan berekspresi harus sejalan dengan nilai agama dan adat.
Tanpa menjaga akhlak, moral, etika, dan integritas, generasi muda dapat terjerumus dalam kerusakan moral yang mengancam keharmonisan sosial, seperti yang terlihat dalam kejadian tersebut. Keberlanjutan norma agama dan adat harus dijaga agar tidak ada perpecahan di masyarakat.
*Urang Gayo, Dosen Pascasarjana dan Ketua Pusat Kajian Budaya dan Kebijakan Publik INISNU Temanggung – Jawa Tengah