Realita SNBP dan SPAN-PTKIN di Sekolah Terpencil

oleh

Oleh : Nanda Winar Sagita*

Bagi sebagian besar sekolah di Aceh Tengah, khususnya sekolah berakreditasi A, besarnya jumlah kelulusan siswa lewat jalur SNBP dan SPAN-PTKIN bukan lagi sesuatu yang ajaib.

Hal tersebut mengingat besarnya minat siswa yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri yang memang berpatokan pada sistem persaingan dan besarnya jumlah kuota yang mereka terima.

Di sekolah-sekolah tersebut, siswa rela melakukan apa saja asalkan nilai mereka tinggi dan memenuhi kuota yang disediakan oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) atau berdasarkan Permendikbud Ristek No. 48 Tahun 2011 telah digantikan oleh Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3).

Berdasarkan peraturan baku yang telah ditetapkan, jumlah kuota siswa yang diperbolehkan untuk mendaftar adalah sebagai berikut: a) sekolah berakreditasi A dapat kuota 40% siswa terbaik; b) sekolah berakreditasi B dapat kuota 25% siswa terbaik, dan; c) sekolah berakreditasi C dapat kuota 5% siswa terbaik.

Dengan demikian, jika ada sekolah berakreditasi B yang jumlah siswa kelas XII sekitar 50, maka yang diperbolehkan ikut adalah 12 siswa. Itu pun belum tentu semua akan diterima di Perguruan Tinggi pilihan mereka.

Dengan diumumkannya hasil dari SNBP dan SPAN-PTKIN, tampak jelas perbedaan besar jumlah kelulusan antara sekolah berakreditasi A dan sekolah berakreditasi B atau C.

Sekali lagi: hal tersebut mengingat sistem persaingan yang ketat di sekolah-sekolah tersebut, sehingga sekolah lain yang memang tidak selevel dengan mereka tampak sangat kecil.

Realitanya adalah di sekolah-sekolah kecil seperti SMAN 6 Takengon, misalnya, persaingan semacam itu nihil. Saya selaku admin yang mengurusi bidang tersebut merasa kewalahan untuk mencari siswa yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi.

Jangankan memenuhi kuota yang cuma 13 siswa, untuk mencari 5 siswa pun sulitnya minta ampun. Terkadang kami, para guru, harus merayu dengan masa depan cerah bagi mereka yang kuliah.

Namun mengingat para siswa di sekitaran sekolah tersebut sudah banyak yang sukses dari bertani, bagi mereka kuliah hanya ajang untuk menghabiskan uang dengan cara paling sia-sia.

Selama lima tahun menjadi guru di SMAN 6 Takengon, sedikit banyak saya sudah bisa membaca pola tersebut. Setiap tahun kuota kami untuk SNBP yang jumlahnya hanya 13 siswa itu selalu tidak terpenuhi.

Mirisnya lagi, ada kasus yang selali terulang tiap tahun, yakni ada siswa yang lolos tapi tidak jadi kuliah. Dengan demikian, kelulusan siswa hanya sebatas ajang gengsi agar tampak berpartisipasi dalam menyumbang kelulusan siswa bagi provinsi Aceh.

Adapun yang menjadi akar masalah dari semua itu adalah mayoritas siswa kami memang bukan siswa yang datang ke sekolah untuk belajar.

Secara umum mereka dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yakni siswa yang sekolah dengan niat benar-benar ingin belajar (sekitar 15%), siswa yang sekolah hanya untuk menghindari pergi ke kebun (sekitar 25%), dan siswa yang sekolah hanya untuk dapat ijazah (60%).

Untuk kategori pertama jelas tidak ada masalah, tapi dua kategori setelahnya yang malah punya persentase terbanyak adalah masalah terbesar yang kami hadapi.

Tentu saja hal itu terkait dengan banyaknya siswa tamatan SMP yang masuk kategori pertama di sekitaran sekolah tersebut lebih memilih untuk sekolah di luar zonasi. Tentu saja ada dua yang patut disalahkan untuk itu, yakni kualitas yang ditawarkan oleh sekolah itu sendiri dan keseriusan pemerintah dalam menerapkan sistem zonasi.

Hal paling penting untuk menarik minat siswa untuk bersekolah memang kualitas. Namun kualitas itu terkadang tidak sebanding dengan usaha yang hendak dilakukan untuk meningkatkannya.

Di beberapa sekolah terpencil, demi mendapatkan jumlah siswa yang besar terkadang perlu melakukan hal-hal besar seperti mengadakan lomba bagi siswa SMP atau memberi hadiah kepada siswa berprestasi yang mau mendaftar ke sana.

Itu adalah perhitungan yang lazim, mengingat semakin banyak siswa maka semakin besar pula Dana BOS yang diterima. Lantas semakin besar Dana BOS, maka upaya untuk meningkatkan kualitas sekolah juga semakin besar.

Adapun soal keseriusan pemerintah dalam menerapkan sistem zonasi memang perlu dipertanyakan. Katanya siswa yang alamatnya berada di sekolah tertentu tidak boleh mendaftar ke sekolah yang berada di luar zonasi. Namun nyatanya tidak demikian.

Malah kebanyakan siswa yang punya niat untuk belajar lebih memilih sekolah ke tempat yang jauh. Dengan demikian, bagaimana mungkin kami di daerah terpencil ini bisa maju kalau SDM terbaiknya dibiarkan oleh pemerintah untuk memilih bersekolah ke tempat lain?

Nah, begitulah realita yang sebenarnya terjadi. Jika banyaknya kelulusan siswa lewat jalur SNBP dan SPAN-PTKIN dianggap sebagai ajang perlombaan, maka sekolah terpencil seperti kami sudah kalah bahkan sebelum perlombaan dimulai.

Lalu solusinya bagaimana? Ah, sejujurnya kami tidak tahu. Selama SDM terbaik kami dibiarkan memilih sekolah di luar zonasi yang menyebabkan Dana BOS yang kami terima jadi sedikit, kami tidak bisa melakukan banyak hal untuk meningkatkan kualitas sekolah kami. Jadi pemerintah juga jangan bermimpi bakalan ada pemerataan pendidikan bagi tiap-tiap daerah.

Selebihnya: Capre diem, quam minimum credula postero. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.