Oleh : Khairan Konadi*
Kebebasan adalah ratio essendi hukum moral. Moral mengandaikan adanya kebebasan. Dalam arti inilah kebebasan memiliki status transendental. Bukan dalam arti bahwa kebebasan diberi status ilahi, melainkan dalam arti bahwa tanpa kebebasan sebagai prasyarat, orang tidak dapat lagi berbicara tentang perbuatan yang manusiawi.
Tindakan manusiawi dan bermoral tidak dapat dipikirkan tanpa mengandaikan adanya kebebasan. Entah sejak kapan dalam kehidupan manusia, kebebasan dialami sebagai yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusiawi.
“Kebebasan manusia itu merupakan sesuatu yang tidak dapat disangkal dan dilacak asal usulnya. Bahkan mereka yang meragukannya, terdapat sedang menggunakan kebebasan itu sendiri. Tanpa kebebasan tindakantindakan spesifik manusiawi (moralitas, komunikasi, hukum, dan lain-lain) tidak dapat dipikirkan.”
Argumentasi ini berdasarkan menurut para ahli psikologi mengenai kebebasan.
Lalu juga berbicara tentang kebebasan dalam Islam, menurut penulis, adalah sangat komplek, tergantung dari sudut mana kita memandang. Dari tasawuf misalnya.
Kebebasan dapat diartikan dengan terbebasnya seseorang dari dominasi dan jebakan materi-kebendaan. Dengan dzawq-nya, ia mampu menyaksikan hakekat kebenaran (mukâsyafah/ ketersingkapan) Kemudian kebebasan berpikir mencakup kebebasan berilmu dan kebebasan berpikir ilmiah.
Artinya setiap orang berhak menetapkan pemikirannya mengenai fenomena cakrawala, alam, binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia, dan berpegang pada hasil pemikirannya serta mengemukakannya. Dalam Islam sendiri tidak menetapkan rumusan atau teori ilmiah tertentu mengenai fenomena-fenomena tersebut.
Karena itulah, Al-Qur‟an dalam hal ini hanya menganjurkan kepada akal manusia, agar memikirkan setiap fenomena alam, dan memberi motivasi untuk selalu merenungkan, dan menggali beberapa aturan umumnya, sebagai upaya riset, disamping sebagai jalan utama menuju iman dan Islam.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan manusia agar merenungkan fenomena yang ada di sekitarnya sangat beragam. Diantaranya adalah QS. Al-A-Raf : 185, QS. Al-Baqarah: 164, QS. Al-Nur: 43-44, yang mengisaratkan kepada manusia agar mengamati dan berfikir tentang ayat-ayat kauniyyah-Nya, meliputi langit, bumi, dan seisinya, pergantian malam dan siang, dan kejadian-kejadian yang ada di lautan.
Kemudian kebebasan mengemukakan pendapat (Hurriyyat Al-Ra’y) merupakan aspek terpenting dari kebebasan berbicara.
Dalam pemerintahan Islam, kebebasan berpendapat adalah hak individu yang mengantarkanya kepada kepentingan dan nuraninya yang tidak boleh dikurangi negara atau ditinggalkan individu. Hal ini penting bagi kondisi pemikiran dan kemanusiaan setiap individu, agar seorang muslim dapat melakukan kewajiban-kewajiban Islamnya.
Diantara kewajiban tersebut adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yang untuk merealisasikannya membutuhkan dan dituntut kecakapan mengutarakan pendapat secara bebas.
Tentu di Indonesia ada banyak keberagaman dan aturan Kebebasan berpendapat ini harus dimanfaatkan untuk tujuan menyebarkan kebaikan, dan tidak untuk menyebarluaskan kejahatan dan kezaliman.
Seseorang boleh mengemukakan pendapat secara bebas, asalkan tidak melanggar hukum mengenai penghujatan, fitnah, melawan kebenaran, menghina keyakinan orang lain atau dengan mengikuti kemauan sendiri dan juga dimana rakyat berhak mengawasi pemimpinnya dan mengoreksi setiap tindakannya. Dan hal semacam ini sudah pernah dilaksanakan dan dicontohkan oleh para pendahulu kita.
Untuk melakukan kritik yang benar, setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, ada fakta-fakta yang memperkuat dan latar belakang yang pasti untuk mendasari kritik. Kedua, pengkritik harus yakin tentang kebenaran moral dari pendapatnya.
Karena ia tidak boleh mengatakan sesuatu, kecuali jika dia yakin bahwa apa yang dikatakannya adalah benar. Ketiga, kritik harus sesuai dan tepat sasaran. Kata-kata yang digunakan dan cara mengkritik disesuaikan dengan situasi (tidak boleh terlalu keras atau terlalu lunak, tetapi harus sopan dan efektif). []