[Bag.1] Deddy “Dewa” Corbuzier Sang Greatest Showman Indonesia

oleh
Deddy Corbuzier (Sumber : internet)

Ali Akbar sang Penulis Skrip Drama yang Handal

Oleh : Win Wan Nur

Sebenarnya, dengan berakhirnya pertandingan catur antara Dewa Kipas melawan GMW Irene Kharisma Sukandar, sayapun berniat mengakhiri ulasan mengenai polemik ini. Tapi, kemarin sahabat saya Alkaf, salah satu esais terbaik yang ada di Aceh meminta saya untuk mengulas lagi soal ini, dari sisi Deddy Corbuzier yang menjadi sosok sentral yang memungkinkan terjadinya pertandingan catur fenomenal ini.

Setelah saya pikir-pikir, karena saya sendiri merasa Indonesia benar-benar beruntung memiliki sosok seperti Deddy Corbuzier sehingga banyak hal yang perlu kita pelajari dari dirinya dan apa yang akan saya tulis ini juga sejalan dengan moto media ini “Cerdas dan Mencerdaskan, ” saya menyanggupi permintaan Alkaf.

Tapi setelah saya mulai menulis, saya merasa kalau saya hanya sekedar mengulas sisi Deddy tanpa benar-benar membedah inti dari munculnya segala kehebohan ini, para pembaca akan mengalami bias saat membaca keseluruhan tulisan ini nanti.

Baiklah, sekian saja mukadimah dari saya dan tulisan tentang Deddy Corbuzier ini saya awali dari pengalaman saya pribadi ketika menonton sebuah film di abad yang lalu.

Apa yang saya rasakan, mungkin juga dialami oleh para pembaca. Dari sekian banyak film yang kita tonton, biasanya ada beberapa yang benar-benar memberi dan meninggalkan kesan kuat dalam diri kita.

Salah satu film yang memberi efek seperti itu bagi saya adalah “The Great White Hype” sebuah film komedi tinju yang dibintangi antara lain oleh Samuel L. Jackson, Damon Wayans, Jamie Foxx dan lain-lain.

Episentrum film keluaran tahun 1996 ini terletak pada sosok tokoh Rev. Fred Sultan (diperankan Samuel L. Jackson), seorang promotor tinju yang memegang hak atas pertarungan James “The Grim Reaper” Roper juara dunia sejati kelas berat yang tak terkalahkan (diperankan oleh Damon Wayans).

Tokoh Rev. Fred Sultan ini, tidak bisa tidak pasti akan mengingatkan para penggemar tinju di tahun 80-90-an, pada sosok Don King, promotor yang disebut-sebut paling bertanggung jawab atas kehancuran karir Mike Tyson.

Dalam film ini digambarkan, bagaimana Rev. Fred Sultan yang berkulit hitam, mencak-mencak karena minat orang menonton tinju tidak lagi menggebu-gebu. Pertandingan tinju mulai terlihat membosankan karena yang bertarung melulu petinju kulit hitam.

Sebab tidak ada petinju kulit putih yang potensial. Karena itu dia berencana untuk mencari petinju kulit putih untuk dihadapkan dengan James “The Grim Reaper” Roper.

Setelah berusaha dengan segala cara, dia gagal menemukan petinju kulit putih yang layak melawan juara dunia, dia menemukan fakta bahwa di masa amatirnya, Roper pernah kalah dari petinju berkulit putih bernama Terry Conklin (diperankan oleh Peter Berg)

Mengetahui ini Sultan segera memerintahkan timnya yang nir etika (diperankan Cheech Marin, Jon Lovitz, Salli Richardson, dan Corbin Bernsen) untuk menemukan Conklin yang akhirnya mereka temukan ada di Cleveland, menjalani hidup sebagai vokalis band heavy metal, sekaligus menjadi aktifis perdamaian yang mempromosikan ajaran Buddha serta isu-isu sosial yang progresif.

Bahagia dengan kehidupannya saat itu, Conklin tidak tertarik untuk kembali ke tinju untuk menghadapi Roper, tapi akhirnya dengan dibujuk dengan berbagai cara, dengan iming-iming bayaran $ 10 juta untuk membantu usahanya membantu para tunawisma. Conklin setuju untuk bertanding.

Lalu, Conklin tiba di Las Vegas, di mana dia “dibersihkan”, dan mulai berlatih untuk kembali ke ring. Dengan segala kelicikan dan lobi tingkat tinggi Rev.Fred Sultan, Conklin, si petinju antah berantah tiba-tiba dinobatkan menjadi penantang nomor 8 di dunia pada salah satu badan tinju dunia.

Para pakar pengamat tinju, jelas dengan sekilas saja dengan mudah melihat ini sebagai sebuah dan menyebut pertarungan itu aib. Tapi, karena prospek pertarungan putih vs hitam tampaknya sama menguntungkan seperti yang diharapkan pertama kali, proses menuju pertandingan ini berjalan terus.

Conklin sendiri yang begitu serius mengembalikan kondisinya, menjadi bugar dengan cepat, mendapatkan kembali beberapa bentuk permainan lamanya, sementara itu Roper sang juara, menganggap pertarungan itu sebagai lelucon – sampai pada titik di mana berat badannya bertambah 25 pound dan dia hampir tidak bisa berlari mengejar truk es krim.

Ini membuat banyak pihak bertaruh di pihak Conklin. Sultan dan timnya (menggunakan media) gencar mempromosikan pertarungan dan mempublikasikan sudut putih vs hitam, bahkan memalsukan leluhur Irlandia untuk Conklin. Sudut rasial berhasil, dan uang mulai mengalir masuk.

Pada hari pertarungan, jutaan orang mengikuti Pay-Per-View untuk pertarungan, dan Kane yakin tentang era baru yang dimulai dengan kekesalan Conklin. Pertarungan dimulai, dan Conklin hanya berhasil mendaratkan satu pukulan bagus sebelum Roper yang bentuk badannya sudah tidak karuan, dengan mudah mengirim satu pukulan mematikan dan membuat Conklin terjungkal K.O.

Rev Sultan dapat uang, Conklin dapat 10 juta dollar dan kembali berhenti bertinju.

***

Hype-nya Dewa Kipas dan bagaimana Deddy Corbuzier kemudian mengemas pertarungan antara pecatur abal-abal ini melawan Irene Kharisma Iskandar, pecatur wanita terkuat di Indonesia menjadi sebuah pertandingan catur paling ditunggu yang dalam perkembangannya menjadi pertandingan catur yang memecahkan berbagai rekor dunia dari segi jumlah penonton sampai-sampai FIDE, ferderasi catur dunia yang seperti FIFA di sepakbola, ikut memperhatikan dan mengulasnya. Mengingatkan saya pada film ini.

Sebagaimana kita ketahui bersama, hype-nya Dewa Kipas ini diawali oleh kesialan Levy Rozman, seorang pecatur professional asal Amerika yang bergelar IM (International Master) yang biasa bermain online secara jujur di situs catur terkenal Chess.com dengan menggunakan nama Gotham Chess.

Sepanjang karirnya bermain secara online, Gotham Chess sudah bermain dengan pecatur dari pelbagai negara di dunia, termasuk dari Indonesia, dengan hasil beragam, menang, kalah maupun remis. Kekalahan yang dia derita kebanyakan dari permainan jujur, kadang-kadang dia kalah karena lawannya menggunakan bantuan computer untuk menganalisa langkah terbaik apa yang harus dijalankan, untuk setiap jawaban atas langkah yang dimajukan lawan.

Dari semua kekalahan yang pernah dia derita, delapan di antaranya dia dapat saat dirinya melawan pecatur asal Indonesia.

Nah kesialan yang dia dapatkan bermula dari kekalahannya melawan pecatur Indonesia ke delapan yang mengalahkannya. Pecatur ini bermain di Chess.com menggunakan akun Dewa Kipas yang belakangan kita ketahui dimiliki oleh Dadang Subur. Seorang pecatur amatir asal Jawa Barat.

Awalnya Levy berpikir ini adalah kekalahan biasa dalam dunia catur online. Saat dia memeriksa rekam jejak lawannya, dia melihat ada kejanggalan. Dari 20 pertandingan terakhir lawannya, akurasi pilihan gerakannya konsisten berada di kisaran angka 95-99%. Yang artinya, selama dua puluh pertandingan terakhirnya, setiap lawan memajukan bidak, Dewa Kipas hampir selalu mampu memilih jawaban terbaik dari sekian banyak pilihan jawaban yang tersedia.

Sebut saja misalnya ketika dia menjalankan 40 langkah per pertandingan, maka dalam 20 pertandingan itu, Dewa Kipas selalu konsisten mampu memilih 39 langkah terbaik dari 10 pangkat 120 kemungkinan pilihan langkah lain (saya tidak tahu apa istilah bahasa Indonesia untuk jumlah bilangan angka satu dengan SERATUS DUA PULUH angka nol mengikuti di belakangnya)

Lalu seperti biasa juga, sebagaimana yang selalu dia lakukan dan juga dilakukan pecatur lain, ketika menemui kejanggalan seperti ini, seperti biasa sebagaimana yang dilakukan pecatur lain, Levy Rozman melaporkannya kepada admin Chess.com sang pemilik situs.

Sebenarnya dalam situs catur seperti ini, laporan seperti yang dilakukan Levy adalah hal biasa, banyak orang yang tidak menerima kekalahan melaporkan lawannya ke admin chess.com. Dengan laporan itu chess.com akan mengecek akun yang dilaporkan, lalu menganalisa, apakah benar curang seperti yang dilaporkan atau tidak.

Meski banyak laporan yang masuk, tapi tidak semua laporan itu ditanggapi oleh Chess.com dengan cara memblokir akun yang dilaporkan. Hanya akun yang menurut analisa algoritma situs ini terindikasi curang, yang mereka blokir.

Inilah alasannya mengapa GMW Irene Kharisma Sukandar berani menantang siapapun untuk melaporkan akunnya ke Chess.com dan dia yakin akunnya akan aman, karena mau seribu bahkan sejuta orangpun yang melaporkan. Selama algoritma situs itu tidak menemui indikasi kecurangan, akunnya akan tetap aman.

Inilah yang kemudian dialami oleh Dewa Kipas, setelah dilaporkan oleh Levy Rozman. Algoritma Chess.com menganalisa jejak permainan Dewa Kipas, dan ditemukanlah statistik dahsyat nan mengagumkan tadi yang mungkin saja bisa dilakukan oleh seorang pecatur yang maha sakti.

Tapi, sampai sejauh ini, sejak permainan catur mulai ditemukan sampai hari ini, belum ada satu manusia pun yang mampu tampil konsisten dengan statistik sedahsyat itu (konsisten memilih 39 dari 40 langkah terbaik yang tersedia dari sebanyak 10 pangkat 120 pilihan)

Sialnya, yang tidak diketahui Levy Rozman, sang Dewa Kipas ini punya anak bernama Ali Akbar yang teryata seorang penulis naskah drama yang sangat berbakat. Kehebatannya menulis naskah drama bahkan menurut saya di atas kemampuan penulis skrip drama sinetron Ikatan Cinta.

Dalam skrip dramanya ini dia dengan sangat jitu menekankan kontrasnya perbedaan otoritas antara bapaknya dengan Levy Rozman sekaligus menggambarkan dirinya sebagai anak berbakti yang membela orangtuanya yang terzalimi.

Dalam skrip dramanya itu, Ali Akbar memberi penekanan kuat kalau Levy Rozman, warga negara Amerika berdarah Yahudi yang dia beri peran antagonis ini adalah seorang pecatur profesional dengan rating 2400. Seorang YouTuber dengan subscribe 700.000.

Sementara bapaknya yang menjadi tokoh protagonist (anakmuda kalau menurut istilah kami di Gayo dan di Aceh) dalam skrip drama buatannya, dia gambarkan sebagai laki-laki tua yang lugu, mantan pemain catur turnamen yang sudah pensiun, tidak mengerti teknologi yang bisa bermain secara online karena dirinya sang anak berbakti lah yang memperkenalkan.

Sisi dramatis kisah ini dia tampilkan di cerita tentang bagaimana bapaknya, si laki-laki Indonesia nan lugu dan gagap teknologi ini bertarung melawan Levy Rozman, sang pecatur professional asal Amerika berdarah yahudi yang sangat update soal teknologi komputer.

Sisi dramatis yang digambarkan dengan sangat apik oleh Ali Akbar dalam skrip ini, seperti replika sejarah perjuangan Indonesia dalam merebut kemerdekaan yang dulu diajarkan pada kita semua semasa sekolah, meresap di sanubari.

Kisah yang sering diadopsi oleh para pembuat film Indonesia dengan cara menggambarkan para pahlawan para pejuang yang merebut kemerdekaan dalam sosok yang lugu, sederhana, berpakaian lusuh bahkan cenderung kurang gizi, dengan senjata bambu runcing, bertarung dengan gagah perkasa, dengan tatapan mata yang polos tapi berapi-api, penuh percaya diri tanpa kenal rasa takut menghadapi musuh, anggota militer terlatih dengan asupan gizi kelas satu, bersenjata lengkap, mulai dari senjata mesin otomatis, tank dan pesawat tempur.

Singkat cerita, seperti para pahlawan Indonesia yang bersenjatakan bambu runcing mampu mengalahkan tentara Belanda yang dibantu sekutu mereka yang sama-sama tentara kulit putih dari negara-negara besar dunia yang peralatannya lebih canggih lagi dan mengusir mereka dari bumi pertiwi.

Dadang Subur (orang di balik akun Dewa Kipas,) bapaknya yang lugu dan gagap teknologi inipun berhasil mengalahkan Gotham Chess alias Levy Rosman, master catur asal negara superpower berdarah Yahudi, pemilik channel YouTube dengan jumlah subscribe 700.000 orang.

Kemudian, seperti Belanda yang tidak mau menerima kekalalahan pasukan tentara terlatih yang dilengkapi dengan asupan gizi kelas satu dan dukungan peralatan tempur mutakhir dan dibantu oleh sekutu lagi, kalah secara memalukan oleh para pejuang Indonesia yang cuma modal semangat dan senjata seadanya. Dengan lihai, dalam skripnya Ali Akbar menggambarkan Levy Rozman melakukan hal yang sama.

Seperti Belanda yang dalam sejarah yang diajarkan pada kita, digambarkan sengaja mencari-cari alasan konyol yang tidak masuk akal untuk secara curang membalas dendam atas kekalahan memalukan yang mereka derita dari para pejuang kita. Levy Rozman pun digambarkan begitu oleh sang penulis skrip drama kita.

Ali Akbar mengatakan, karena kalah dari bapaknya, para subscriber Gotham Chess yang menonton langsung pertandingan Levy Rozman melawan bapaknya, ngambek dan tidak terima kekalahan junjungannya.

Akibatnya, para fans garis keras Gotham Chess, beramai-ramai melaporkan akun bapaknya dan seperti diduga, Chess.com yang dikelola oleh orang kulit putih dari negara maju, sepetri Levy Rozman, secara zalim memblokir akun bapaknya, hanya karena mereka malu dan tidak bisa menerima kalau seorang pribumi tua, yang polos dan gagap teknologi dan namanya tidak pernah dikenal di dunia catur, mengalahkan Levy Rozman, pecatur hebat dari negara superpower dan berdarah yahudi dengan 700.000 subscriber.

Oleh Ali Akbar, unsur dramaturgi dari skrip drama yang dia tulis ini, dia sempurnakan dengan sebuah killing punch dari seorang tokoh aktor pendukung yang diperankan oleh dirinya sendiri. Seorang anak berbakti, yang rela mengorbankan jiwa dan raga dalam membela ketidakadilan yang diterima oleh orangtuanya.

Kehadiran tokoh ini dalam film-film dan dalam cerita sejarah di sekolah adalah representasi dari para penonton sendiri, dan kita para murid sekolah yang menjadi objek pelajaran sejarah itu. Para putra pertiwi yang rela menyumbangkan harta benda, darah dan airmata bahkan nyawa untuk mempertahankan kehormatan ibu pertiwi.

“Sumpah gue nggak terima, mentang-mentang publik figure, bisa seenaknya blokir akun orang…” tulisnya.

***

Sementara itu, Indonesia negara kita yang berpenduduk 270 juta jiwa ini, yang seluruhnya tumbuh besar dalam didikan soal sejarah seperti yang saya gambarkan di atas adalah bangsa yang penduduknya memiliki nasionalisme dang ghirah berbangsa yang sangat tinggi. Bisa dibilang, semua rakyat Indonesia mengidentifikasi diri sebagai patriot, putra pertiwi yang rela mati mempertahankan kehormatan bangsanya.

Nah, dari 270 juta jiwa ini, hampir semua penduduk dewasanya mengerti catur, tapi 99,99% di antaranya benar-benar awam tentang dinamika dunia catur professional.

Awam yang saya maksud di sini, kalau kita bawa ke dalam konteks sepakbola (saya selalu menggunakan analogi sepakbola karena paling mudah dipahami) mereka ini seperti orang yang mengerti apa yang disebut gol, off side, tendangan pojok, lemparan ke dalam, pinalti dan seterusnya.

Tapi mereka tak paham kualitas apa yang membuat Real Madrid sebagai klub jauh di atas Persib Bandung, mereka tidak tidak paham jauhnya gap kualitas permainan Bambang Pamungkas dengan Cristiano Ronaldo, mereka tidak paham kenapa Cristiano Ronaldo bisa bermain di Real Madrid sementara Bambang Pamungkas bahkan tak mampu bersaing masuk Levante.

Awam di sini dalam pengertian, meski paham aturan bola, tapi kalau ada orang yang bisa menceritakan dengan mengangkat sentimen nasionalisme yang berapi-api haqqul yakin dan percaya kalau Timnas Indonesia asuhan Benny Dollo yang diperkuat para pemain hebat sekaliber Rocky Poetiray, Gendut Doni, Imran Nahumarury, Yaris Riyadi dan gawang yang dijaga Sahari Gultom, mampu lolos ke Piala Dunia dan membawa pulang gelar juara dengan mengalahkan Brazil yang dilatih Luis Felipe Scolari dengan squad yang lini depan yang dihuni oleh tiga pemain peraih Ballon d’or, Ronaldo Tonggos, Rivaldo dan Ronaldinho yang disokong dua bek sayap terbaik di dunia untuk posisi masing-masing, Roberto Carlos dan Cafu.

Orang-orang dengan pemahaman sepakbola seperti ini, atas alasan nasionalisme dan ghirah bernegara akan merisak dan memaki-maki siapapun yang mengatakan hal sebaliknya. Bahkan, meskipun yang mengatakan itu adalah pemain yang sudah sangat jelas rekam jejaknya, sebut saja misalnya Kurniawan Dwi Julianto yang menjelaskan secara logis dan sangat jernih pun kan mereka sebut pansos jika berani mengatakan impian mereka itu tidak nyata.

Fenomena seperti inilah yang kemarin kita saksikan di dunia catur.

99,99 % masyarakat Indonesia, meski tahu grand master adalah pecatur hebat, tapi meraka sama sekali tidak paham sebesar apa perbedaan kekuatan antara seorang Grand Master dengan pecatur pos ronda.

99,99% masyarakat Indonesia yang awam catur ini percaya kalau jagoan pos ronda punya kans menang lebih dari 0,1% ketika berhadapan dengan seorang grand master. Bahkan jauh lebih naïf lagi, ada yang menyangka peluang itu sampai 10%, 40% bahkan 50 – 50.

Ditambah dengan realita adanya ketidamerataan akses yang merupakan hal jamak di Indonesia, awamnya pemahaman tentang dunia catur professional ini, membuat banyak dari masyarakat kita yang percaya kalau di luar sana sebenarnya ada banyak pecatur hebat, mutiara terpendam yang tidak mendapat gelar GM hanya karena tak punya akses saja.

Begitulah, ketika skrip drama Ali Akbar di lempar ke masyarakat awam catur ini, terjadilah kehebohan seperti yang kita alami beberapa waktu yang lalu.

Dewa Kipas, pecatur antah berantah, laki-laki tua yang katanya lugu dan gagap teknologi, yang tak pernah mereka saksikan sendiri bermain catur secara langsun, yang tidak punya catatan prestasi dari turnamen-turnamen yang kata anaknya pernah diikuti, tiba-tiba mereka lihat sebagai sosok pahlawan kebanggaan pertiwi, yang dizalimi oleh pecatur arogan berkulit putih, berdarah yahudi yang tidak bisa menerima kekalahan.

Semangat juang para putra pertiwi inipun terbakar, apa yang dilakukan Levy Rozman dilihat sebagai pelecehan atas martabat bangsa.

Media-media mulai dari level keroco yang sampai media-media besar yang terdaftar di Dewan Pers, ikut mengompori.

“Sumpah gue nggak terima…” killing punch, yang seolah diucapkan oleh Ali Akbar untuk dirinya sendiri teramplikasi secara massif menjadi “Sumpah, KAMI BANGSA INDONESIA nggak terima…”

Dan sesuatu yang tak pernah dibayangkan oleh Levy Rozman dalam mimpi terburuknya sekalipun, terjadi. Netizen +62 yang tak diragukan militansinya, menyerbu akun Levy Rozman dengan serangan bergelombang 7 hari 7 malam. 700.000 subscriber Levy yang digambarkan oleh Ali Akbar sebagai fans garis keras jadi terlihat seperti buih-buih mengambang yang sama sekali tak berkutik menahan serangan jutaan netizen +62 yang menyerang dengan semangat seorang patriot sejati.

Bukan hanya Levy Rozman, ibunya yang tidak mengerti apa-apa, ikut dimaki-maki dengan kata-kata yang tidak pantas oleh netizen +62 yang budiman. Pacarnya malah mendapat ancaman mati.

Tiba di titik ini, siapapun yang berani melawan arus yang sok-sokan mencoba menerangkan realitas sebenarnya tentang dunia catur professional, apalagi sampai berani menyatakan kemungkinan bahwa dalam kasus ini Dewa Kipas lah yang berada di pihak yang salah karena memang terindikasi curang, akan otomatis mendapat label pengkhianat yang tidak cinta negara dan tidak mau membela saudara sebangsa yang dizalimi bangsa asing.

Situasi ini tak ayal membuat malu Percasi dan para pecatur professional Indonesia. Kalau situasi ini terus berlarut, seorang pecatur jujur, atas nama nasionalisme diserang secara membabi buta oleh masyarakat Indonesia. Kalau ini tidak mereka redam, kemana mereka harus menyembunyikan muka, ketika mereka bertemu kolega sesama pecatur profesional di turnamen-turnamen yang nantinya mereka ikuti ?

Tapi, siapa yang berani melawan arus kemarahan netizen +62 ? Siapa yang mau menjadi tumbal ? Tampaknya semua berhitung dan berpikir, karena hidup akan jadi sangat tidak mudah kalau netizen +62 sudah menjadikan kita sasaran bully.

Untungnya ada seorang pecatur perempuan yang dengan gagah perkasa mengambil resiko ini, namanya Irene Kharisma Sukandar, seorang perempuan yang berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi yang kurang mampu, yang mengorbankan kesempatan hura-hura di masa mudanya untuk diganti dengan berlatih catur, yang memberinya kesempatan mengharumkan nama negara.

Dan seperti yang mudah diduga, alih-alih menerima penjelasan dari pecatur yang sudah mengharumkan nama negara dengan menjuarai pertandingan internasional di usia 9 tahun ini. Irene malah diperlakukan layaknya seorang pengkhianat bangsa.

Ketika Dewa Kipas, putra kebanggaan bangsa, lelaki tua yang polos, lugu dan gagap teknologi dizalimi oleh Levy Rozman. Netizen +62, menuduh Irene, pecatur penerima penghargaan Parama Krida Pratama dari Presiden Republik Indonesia ini tidak merasa terluka ghirah berbangsanya.

Mereka menuduh Irene yang sudah mendapat begitu banyak hal dari negara ini malah memilih berpihak pada Levy Rozman, Yahudi Amerika yang sama-sama pecatur profesional seperti dirinya ketimbang Dewa Kipas yang merupakan saudara sebangsanya sendiri.

Tak ayal, berbagai hujatanpun menghujani Irene, pecatur yang meraih dua medali perak Sea Games pertamanya di usia 11 tahun ini dituduh pansos, mencari popularitas dengan menunggangi polemik Dewa Kipas.

Berbagai ungkapan yang melecehkan Irene dan mengagungkan Dewa Kipas pun berseliweran di media sosial.

Dari beberapa yang saya kumpulkan, di antara sanjungan kepada Dewa Kipas sembari melecehkan Irene itu ada yang mengatakan “ Di atas langit, masih ada Dewa Kipas”

Dalam situasi chaos dan kusut sepetri ini, datanglah Deddy Corbuzier, sang Dewa Showbiz, yang dengan kejeniusannya dan ketajaman indera penciumannya dalam mendeteksi peluang.

Bagaimana kisah selanjutnya, silahkan ikuti kelanjutan tulisan ini. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.