Curi Start Menjadi Raja Nusantara

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Kemunculan Raja Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire sudah diperkirakan sebelumnya. Tidak lain upaya “curi start” tersebut karena mereka telah mengetahui bahwa tidak lama lagi giliran kepemimpinan nusantara akan kembali kepada sistem kerajaan-kerajaan. Sayangnya, informasi itu mereka terima tidak sempurna. Seperti jin yang “nguping” ketika Tuhan menyampaikan pesan kepada malaikat.

Berita yang bisa ditangkap jin hanya sepotong-sepotong. sehingga jin menyampaikan berita kepada manusia yang minta petunjuk kepadanya cenderung menyesatkan. Informasi yang diterima tidak tuntas dan bersifat parsial. Demikian yang terjadi pada Raja Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire. Mereka hanya menangkap bahwa sejarah kepemimpinan akan kembali ke awal. Mereka tidak tahu latar belakang dan syarat-syarat kembalinya ke zaman kepemimpinan kebudayaan.

Seperti putaran roda pedati, sejarah akan berulang. Indonesia telah mengalami setidaknya lima kali perubahan kalangan kepemimpinan; dari kaum adat, agamawan, intelektual, militer dan hartawan. Demikian pergiliran Sunnatullahnya.

Kalau melihat putaran kepemimpinan Indonesia sekarang ini; Jokowi-Ma’ruf Amin adalah refresentasi dari kaum hartawan yang akan berputar atau beralih kepada kepemimpinan kaum adat. Kita tidak tahu sampai kapan kepemimpinan kaum hartawan ini berkuasa, tetapi bisa dipastikan setelah era kepemimpinan kaum hartawan akan beralih kepada kepemimpinan kaum adat.

Indonesia sebelum menjadi negara kesatuan seperti sekarang ini dipimpin oleh kaum adat; struktur pemerintahan dipimpin oleh Raja atau Sulthan di tingkat pusat dan sampai tingkat bawah dipilih berdasar tata cara adat. Biasanya kekuasaan dilanjutkan berdasarkan keturunan. Namun dalam perjalanannya style kepemimpinan kaum adat ini banyak dikecam karena melestarikan feodalisme sehingga timbul rasa kebencian rakyat terhadap kaum adat.

Perlawanan terhadap kaum adat ini dipimpin oleh para agamawan atau ulama dan akhirnya rakyat mengangkat tokoh-tokoh agama atau ulama sebagai pemimpin mereka karena dianggap punya moral tinggi dibandingkan dengan kaum adat. Para tokoh agama dan ulama dianggap mampu mendistribusikan kebaikan kepada masyarakat banyak.

Tidak puas dengan kepemimpinan agama, apalagi menganggap agama tidak pantas dicampur-adukan dengan negara sehingga bangkitlah kaum intelektual yang dianggap mampu membawa negara ini kepada arah yang lebih baik. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Ir. Soekarno, Muhammad Hatta dan tokoh-tokoh intelektual lainnya.

Sementara kalangan militer sudah menunggu di tikungan bahwa kepemimpinan kaum intelektual pasti akan berakhir juga karena tidak cukup kuat akibat tidak mampu menjaga stabilitas politik. Akhirnya militer yang punya struktur dari pusat sampai ke daerah serta persenjataan yang lengkap dapat merebut kekuasaan dari tangan intelektual.

Ketika Jenderal Soeharto berkuasa,
militer berkuasa sampai tingkat kampung. Bahkan jabatan strategis di beberapa kementerian dan legislatif ada jatah untuk militer. Namun kekuasaan militer yang otoriter tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman yang mengedepankan penegakan HAM. Akhirnya kepemimpinan militer tumbang juga.

Sekarang kepemimpinan Indonesia dari struktur pusat sampai bawah dikuasai oleh kaum hartawan. Oleh karena itu jangan mimpi tanpa uang bisa menjadi pemimpin di negeri ini. Kekuasaan hartawan karena basisnya adalah materi maka lebih dekat kepada kemaksiatan dan kezaliman sehingga rakyat kembali ingin mencari pemimpin yang benar-benar santun, adil dan beradab yang kalau menurut Sunnatullahnya akan kembali kepada kaum adat yang meninggalkan feodalisme. Kaum adat inilah yang pada masa akan datang dianggap mampu menjalankan dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan.

Adapun latar belakang kembalinya kepada kepemimpinan kebudayaan adalah bencana alam. Gunung-gunung sebagai pasak untuk bumi sudah mulai longgar akibat dari penggundulan hutan. Di Pulau Jawa sendiri hanya Gunung Selamat yang masih kokoh, sementara gunung-gunung yang lain sudah longgar. Hal tersebut salah satu yang melatarbelakangi Ibu Kota Negara pindah ke Pulau Kalimantan yang relatif aman dari bencana.

Pada masa yang akan datang peta Indonesia tidak menutup kemungkinan akan berubah. Jawa sendiri bisa menjadi beberapa pulau. Demikian juga pulau-pulau lainnya. Mungkin bencana demi bencana ke depan sebagai “cara” Tuhan menggeser orang-orang yang tidak cocok lagi sebagai khalifah di muka bumi ini karena melenceng jauh dari “visi misi” Tuhan yang sebenarnya.

Salah satu “agenda setting” Tuhan adalah mengembalikan kembali “akhlak mulia” makhluknya sebagaimana Nabi Muhammad SAW diutus untuk memperbaiki menghilangkan sifat-sifat tidak terpuji, kemudian memasukan sifat-sifat terpuji kepada jiwa manusia. Sehingga lahirlah generasi yang berhati suci sebagai khalifah di muka bumi ini.

Sedangkan Raja Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire segera mereka umumkan sebagai sarana menarik “dana nusantara” yang konon mereka percayai disimpan di Bank Swiss dan Bank Dunia yang tidak bisa diambil kecuali jika Indonesia kembali kepada Kerajaan Nusantara yang Bersatu.

Pergiliran masa depan dunia akan ditata oleh kepemimpinan kebudayaan sudah menjadi Sunnatullah. Kabar gembiranya mereka akan bangkit tanpa feodalisme dan properti identitas lewat pakaian atau bangunan istana yang condong sebagai berhala. Kepemimpinan kebudayaan akan dipimpin oleh orang-orang yang mensucikan bathinnya yang “membangun istana” di dalam jiwanya.

(Mendale, 15 Januari 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.