Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*
Istilah pegerni kampung dalam bahasa Gayo tidak sepopuler istilah pegerni keben, kini Dinas Syariat Islam Kabupaten Bener Meriah membentuk petugas kelompok peduli Syariat di setiap kampung dalam lingkungan Kabupaten Bener Meriah.
Pada tahap pertama mereka membentuk kelompok peduli Syariat ini pada 60 (enam puluh) kampong dengan lima orang anggota, jadi secara keseluruhan ada 300 (tiga ratus) orang. Untuk istilah kelompok peduli Syariat Islam ini selanjtnya disebut dengan pegerni kampung.
Selasa, tanggal 29 September 2020 para pegerni kampung diadakan pembekalan untuk dijadikan bahan ketika mereka melaksanakan tugas mereke selanjutnya, namun waktu pembekalan terasa sangat singkat sehingga hasi yang mereka dapat juga tidak memadai, karena itu tulisan ini diharapkan dapat menambah pemahaman mereka tentang pegerni kampung.
Pegerni Keben
Pegerni Keben terdiri dari dua kata yakni peger dan keben. Peger dalam bahasa Indonesia disebut dengan pagar. Peger biasanya terdiri dari batang pohon kayu atau bambu yang bulat ditancapkan di tanah (tersik) dengan jarak disesuaikan dengan kebutuhan, kalau untuk melindungi tanaman dari binatang yang besar maka jaraknya lebih jauh tetapi apabila untuk melindungi dari binatang yang kecil maka jaraknya lebih dekat.
Kemudian diantara satu kayu yang ditancap dengan kayu yang lain diikatkan batang bambo yang sudah dibelah dua (belide) dengan posisi horizontal dengan jarak satu bambu dengan bambu yang lain sejauh 25 sampai dengan 30 senti meter.
Peger berfungsi untuk melindungi tanaman yang ada didalamnya dari hewan yang akan memakannya, peger juga berfungsi untuk menjaga hewan supaya tidak keluar dan merusak tanaman orang lain.
Sedangkan kata keben berarti tempat menyimpan padi setelah panen dari sawah panen dari sawah, padi yang ada di dalam keben diambil tergantung kepada keperluan dan sesuai dengan kebutuhan. Dalam masyarakat Gayo keben ditempatkan dalam satu lokasi dipinggiran kampong dan besaran keben sangat berhubungan dengan luasnya sawah yang dimiliki.
Pegerni Keben tidak lagi dimaknai secara bahasa seperti yang telah disebutkan di atas tetapi pegerni keben dimaknai secara fingsional yaitu tanaman yang ditanam disekeliling keben (lumbung padi) yang jenis tanaman tersebut selain tanaman padi guna melindungi atau menjaga padi sehingga tidak digunakan selain untuk makanan pokok, seperti dijual atau ditukar dengan kebutuhan yang lain.
Karena padi yang merupakan makanan pokok tidak boleh tidak ada dalam kehidupan masyarakat sebaliknya makanan lain boleh tidak ada, untuk itu perlu persiapan dan juga antisipasi apabila satu saat terjadi gagal panen.
Banyak anggota masyarakat di Gayo yang tidak menyiapkan pegerni keben, lalu ketika tidak mempunyai pakaian, ikan, garam, gula dan lain-lain yang menjadi kebutuhan mereka harus menjual beras (padi), sampai akhirnya belum sempat sampai kepada panen padi selanjutnya mereka kehabisan beras (padi) sehingga harus berhutang kepada orang lain, baik itu berhutang dalam bentuk padi (beras) ataupun berhutang dalam bentuk uang yang akan dibayar dengan padi setelah panen.
Tetapi bagi mereka yang mempunyai tanaman (pegerni keben) dapat memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan yang lain dan tidak harus menjual beras (padi) sehingga dapat bertahan sampai masa panen selanjutnya bahkan setelah masa panen mereka masih mempunyai sisa padi tahun sebelumnya (dalam istilah masyarakat Gayo disbut dengan rom usang).
Pegerni Kampung
Berbeda dengan pegerni keben, pegerni kampong adalah orang-orang yang berfungsi menjaga isi kampong atau anggota masyarakat yang menjadi isi dari kampong tersebut.
Pegerni kampung boleh saja dilaksanakan oleh pemimping kampong (reje, imem, petue) karena jabatannya. Artinya reje (gecik) karena jabatannya sebagai reje mempunyai kewajiban memberi contoh yang baik kepada masyarakat yang dipimpinnya dan juga mengawasi prilaku anggota masyarakat dari hal-hal yang terindikasi bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Demikian juga dengan Imem, menjadi pegerni kampong karena jabatannya sebagai imem. Imem mengajarkan anggota masyarakatnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama dan juga mengawasi anggota masyarakatnya supaya tidak berprilaku bertentengan dengan agama.
Selanjutnya petue, mereka adalah cerdik pandai yang ada dalam masyarakat dapat membaca apa yang terjadi dan akan terjadi dalam masyarakat. Karena kedudukan dan kecerdasannya dijadikan sebagai pegerni kampong yang bertugas mengawasi dan memahami dan memberi solusi terhadap apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Sebenarnya dengan keberadaan reje, imem dan petue dalam masyarakat telah dapat melindungi sebuah kampong dari segala permasalahan baik yang muncul dari dalam kampong itu sendiri ataupun dari luar kampung.
Alasan arus globalisasi yang telah masuk keseluruh lini kehidupan masyarakat membuat peran lembaga adat tidak lagi berlaku efektif, karena anggota masyarakat bisa pergi kemana saja mereka mau tanpa harus ada pengawalan dan mereka juga bisa pergi kapan saja tanpa dibatasi oleh waktu.
Demikian juga dengan aktivitas yang dilakukan, yang selama ini mereka melakukan aktivitas dengan yang terbatas dalam wilayah kampong mereka masing-masing, kini dengan beragam aktivitas yang tidak lagi dibatasi oleh tempat.
Sehingga banyak dari anggota masyarakat pergi pagi kembali ke kampong pada waktu sore hari, sehingga tidak lagi sempat bersosialisasi dengan anggota masyarakat yang lainnya.
*Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Pemerhati Adat dan Budaya
Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :