ALA Lahir? Setangkai Bunga Untuk Provinsi Linge

oleh

Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*

“Menyematkan nama Aceh di Provinsi ALA ibarat merindui nama sang mantan yang telah mematahkan ranting asmara hingga berguguran bunga renggali, nama ALA pun didendangkan oleh ceh satu dan dua pada momen tertentu, seperti momen panen sayur kol.”

Pandemi belum usai, genderang politik tetap didendangkan oleh ceh satu dan dua dengan nada senandung rindu bernama Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) sungguh rindu serindu-rindunya di masa pandemi pun masih ingat dengan tulus.

Untuk menguatkan genderang politik ini, konsep pun ditaburi dengan gerakan kesadaran, semangat baru, diskusi dari orang-orang penting pun terus digelorakan, dan didendangkan dengan nada bahwa gerakan ini merupakan kepentingan akar bawah, kepentingan masyarakat bukan kepentingan elit politik.

Selama satu dekade mengamati proses pemekaran provinsi baru ini. Osop-osop teles, tidak konsisten karena perjuangan ALA selalu didendangkan dengan indah pada momen-momen tertentu saja, menjelang pemilu dan momen panen sayur kol seperti saat ini. Maka tidak heran ada yang beranggapan bahwa ini adalah agenda kepentingan politik semata.

Ada momen ada isu inilah gaya khas politik Indonesia saat ini sehingga rakyat Indonesia terpecah belah dan bingung hingga menjadi korban atas keganasan isu musiman, seperti isu PKI, intoleransi, dan radikalisme agama tiba-tiba mencuat ke permukaan bumi Indonesia menjelang pemilu.

Terlepas dari adanya kepentingan atau tidak, tapi dalam politik bermuara pada kepentingan dan kekuasaan, hanya dengan kepentingan bersama kebahagiaan bisa tercapai dalam politik. Omong kosong dan pembohong besar, kalau ada seorang politisi mengatakan bahwa ini tidak ada kaitannya dengan kepentingan.

Kepentingan ada dua macam, kepentingan masyarakat dan politisi. Masyarakat menunggu progres orasi politisi dalam hal kesejahteraan, harga palawija dan kopi tak lagi resah dan menangis. Sementara politisi kepentingannya adalah kekuasaan dan jabatan.
Maka dari itu, politisi al-Kadzab (politisi si pembohong) mengatakan bahwa tidak ada kaitannya dengan kepentingan, sebenarnya dia sedang berbicara tentang kepentingan.

Nah, kembali pada ALA yang merupakan issue hot di wilayah tengah saat ini. Dalam dunia demokrasi menyuarakan ALA tidak ada larangan keras selama tidak bertentangan dengan UUD dan ideologi pancasila. Bagi pejuang ALA silahkan berjuang dengan narasi-narasi positif, adu gagasan/ide, edukatif, bermartabat, dan beradab sebagai wadah dalam berdemokrasi yang cerdas.

Perbedaan pro-kontra dalam genderang politik bernama ALA hal yang biasa, bagi yang tidak menerima perbedaan mungkin saja paradigma berpikirnya masih sempit, jumud, kolot, dan perlu asupan gizi pemikiran dengan luasnya literasi-literasi politik dari zaman Yunani Kuno hingga postmodern ini.

Nah, ini seandainya dan berandai-andai suatu saat nanti benar adanya bahwa Provinsi ALA lahir sehingga kekuasaan pun bisa digenggam dengan aman, mudah mensejahterakan masyarakat dan jalan aspal pun bagaikan karpet merah yang tak lagi berlobang-lobang hingga ke pelosok desa.

ALA lahir? Menyematkan nama Aceh ibarat merindui nama sang mantan yang telah mematahkan ranting asmara hingga berguguran bunga renggali dan bunga-bunga kopi yang indah. Karena itu suatu hari nanti ketika ALA lahir bisakah para pejuang ALA meletakkan kembali setangkai bunga yang telah gugur itu kepada nama Provinsi Linge?.

Nama Linge mempunyai historis yang kuat di wilayah tengah, dengan falsafah dan identitas yang cocok sehingga bisa bersanding untuk menelurkan aura-aura positif dalam mensejahterakan masyarakat. Nama Linge sebagai nama provinsi sepertinya mempunyai chemistry yang kuat daripada ALA itu sendiri.

Melihat dari nama Bener Meriah yang kabarnya tidak cocok sebagai nama kabupaten, daerah yang terkenal dengan taman harmoninya ini dari masa ke masa terus diterpa dengan masalah yang menghambat kemajuan daerah.

Nah, untuk merefresh kembali ingatan kita terhadap sejarah Gayo, tentunya kita tidak melupakan sejarah Kerajaan Linge dengan konstitusi-konstitusi kerajaan yang ada pada waktu itu sebagaimana telah diulas oleh sejarawan Yusra Habib Abdul Ghani dalam bukunya “Gayo dan Kerajaan Linge: Dari Kerajaan Menuju Kecamatan 1025-1945”.

Untaian kata sebagai penutup dalam tulisan singkat ini “Ibarat pacu kude, jema mude ni keras sangka e, tapi mera di musier. Enti musier kati sawah ku finish.”

Ahh seandainya!. Selamat berjuang. []


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.