Selain Sistem Moneter, Gayo Juga Miliki Sistem Perpajakan Sendiri

oleh

Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*

Di tengah gempuran modernisasi dan ketergantungan ekonomi pada satu komoditas, ada satu fakta yang kian terbenam dalam ingatan kolektif Urang Gayo: kita pernah memiliki sistem ekonomi yang mandiri, kuat, dan jauh lebih unggul dibanding pemerintahan daerah saat ini.

Bukti sejarah mencatat bahwa mata uang Ringgit Gayo, pada masanya, memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan Spanish Dollar.

Fakta ini bukan sekadar cerita nostalgia, tetapi cermin bagi kondisi kita hari ini—sebuah ironi tentang bagaimana pengetahuan dan kemandirian ekonomi yang dahulu kita miliki, kini semakin terlupakan.

Pada awal abad ke-20, Aman Ratus dan Nyak Puteh mengambarkan kondisi ekonomi dan sosial Gayo yang tekah berkembang 100 hingga 200 tahun sebelumnya.

Saat menyusun kamus Gayo-Belanda, ia mendokumentasikan bagaimana masyarakat Gayo menetapkan nilai satu ringgit setara dengan 0,6 gram emas (emas murni setara 40 anak oros), sementara satu Spanish dollar hanya diakui kurang dari setengahnya.

Dengan kata lain, pada masa itu, Urang Gayo memiliki standar nilai tukar yang lebih kuat daripada mereka yang menggunakan Spanish Dollar berbasis perak.

Tidak hanya dalam sistem moneter, sistem perpajakan pun telah berkembang di Tanoh Gayo.


Terkait : Sistem Moneter Urang Gayo Lebih Tua Dibanding Kolonial


Ada berbagai istilah pajak seperti wasil, usur, edet, upit, dan pancung, yang mencerminkan model perpajakan berbasis sumber daya alam dan pelayanan pemerintahan.

Ini menunjukkan bahwa Urang Gayo bukan hanya masyarakat agraris sederhana, tetapi telah memiliki struktur ekonomi yang kompleks—suatu indikator penting dari peradaban yang maju, sebagaimana dikemukakan dalam teori evolusi sosial oleh Lewis Henry Morgan, Herbert Spencer, dan Émile Durkheim.

Namun, kenyataan hari ini berbicara lain. Kejayaan ekonomi yang dulu dimiliki Urang Gayo kini hanya tersisa sebagai lembaran sejarah.

Ketahanan ekonomi yang berbasis pada sistem moneter berbasis emas dan diversifikasi komoditas perlahan menghilang.

Saat ini, pertumbuhan ekonomi Aceh Tengah dan Bener Meriah berkisar 3-5% per tahun sama seperti pertumbuhan ekonomi nasional, tapi pendapatan per kapita rata-rata Rp 2-3 juta per bulan—angka yang jauh tertinggal dibandingkan pendapatan perkapita rata-rata nasional Rp 6,25-6,5 juta per bulan.

Lebih jauh lagi, sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah ini semakin rapuh. Pada 1929, produktivitas kopi Arabika Gayo mencapai 2,6 ton per hektar (baca: sumber 1), sementara hari ini hanya 825-900 kg per hektar.

Sensus pertanian 2023 menunjukkan bahwa hanya sekitar 40% generasi milenial di Aceh Tengah dan 30% di Bener Meriah yang masih mengelola perkebunan kopi.

Tanpa adanya regenerasi petani, keberlanjutan kopi Gayo pun kian terancam.

Ironisnya, di masa lalu, komoditas yang dihasilkan Gayo begitu beragam, mulai dari hasil alam mentah seperti getah, gambir, dan damar, hingga produk berteknologi seperti stofgoud (serbuk emas) atau produk industri seperti minyak sapi.

Jika dibandingkan dengan kejayaan masa lalu, sistem pemerintahan kita saat ini lebih menyerupai kapal tanpa nahkoda (auto pilot)—bergerak hanya ketika ada masalah, seperti tanpa strategi jangka panjang.

Pemerintahan yang cerdas seharusnya mampu membaca sejarah dan menjadikannya pedoman untuk masa depan.

Namun, pola pemerintahan business as usual yang diterapkan hari ini hanya akan membawa kita semakin tenggelam dalam stagnasi, kupaloh jamur te.

Sumber :
1. Gonggrijp,JRG, “Overzicht Van De Economische Ontwikkeling Van Atjeh Sedert De Pacificatie” (Tijdperk 1923 – 1938), W.P. Van Stockum & Zoon, Den Haag, 1944
2. Kruijt, J.A dan C.H. Bogaert. (1877) Atjeh en de Atjehers. Leiden: Gualth Kolff,
3. Sistem Moneter Urang Gayo Lebih tua dari Kolonial : https://lintasgayo.co/2025/03/14/sistem-moneter-urang-gayo-lebih-tua-dibanding-kolonial/
4. https://en.wikipedia.org/wiki/Spanish_dollar
5. https://github.com/Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo/wiki entri: wasil, usur, edet, upit, mejelis dan pancung
6. Hazeu, G.A.J. (1907) Gajösch-Nederlandsch Woordenboek. Batavia: Landsrukkerij
7. BPS Aceh Tengah dan Bener Meriah

*Peneliti Sejarah dan Budaya Gayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.