Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*
Di sudut-sudut malam yang dingin, dahulu kala, pemuda, duda, atau para musafir yang kemalaman berkumpul di joyah—sebuah ruang sakral di pojok luar masjid atau mersah.
Joyah kala itu bukan sekadar tempat berteduh, melainkan pusat kajian dan pembelajaran. Kini, fungsi itu bergeser; joyah lebih sering dihuni oleh para lansia, terutama perempuan tua yang menghabiskan waktu dalam ibadah.
Joyah, serapan dari bahasa Arab زاوية (zāwiyah), telah lama menjadi bagian dari kehidupan intelektual masyarakat Gayo.
Di belahan dunia lain, zawiyah berkembang sejak abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, selaras dengan gerakan tasawuf di Timur Tengah dan Afrika.
Di Gayo, joyah tak hanya menjadi tempat bertafakur, tetapi juga pusat pendidikan.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada September 1902, Kapten Scheepens menyita sejumlah kitab dari joyah di Semelit, sementara pada April-Mei 1903, Van Daalen merampas kitab di joyah-joyah sekitar Karang Ampar.
Naskah yang disita mencakup karya Muhammad Saleh Tambusai, Nuruddin Arraniri, Abduraauf, Muhammad Syeh Krueng Kale, hingga Tgk Chik Di Tiro.
Ini membuktikan bahwa masyarakat Gayo tak hanya mendalami tasawuf, tetapi juga ilmu tauhid, fiqih, dan tafsir dengan berbagai tarekat seperti Rifa’iyyah dan Syattariyah.
Namun, joyah bukan hanya ruang spiritual dan intelektual; ia juga menjadi pusat ekonomi masyarakat (baca: https://l1nk.dev/aHyAD).
Salah satu produknya yang melegenda adalah minyak sapi. Mengacu pada catatan Kruijt (1877), minyak sapi Gayo menjadi komoditas yang diperdagangkan ke luar daerah, bersanding dengan butiran emas yang juga menjadi kebanggaan Tanoh Gayo.

Minyak sapi kala itu bukan sekadar bahan dapur, melainkan juga sumber penerangan.
Uniknya, dalam proses produksinya, masyarakat Gayo menemukan minuman tradisional yang disebut “kepala”(https://github.com/Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo/wiki/Kepala#2).
Minuman ini, meski namanya mirip dengan bahasa Indonesia, memiliki makna yang berbeda dalam bahasa Gayo.
Ia adalah hasil pertama dari proses pemanasan susu sebelum menjadi minyak sapi, menjadikannya minuman beraroma khas yang menghangatkan tubuh.
Selain kepala, ada minuman lain yang tak kalah menarik: Kilang (https://github.com/Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo/wiki/Kilang#2) Disajikan dalam wadah bambu yang disebut buyung dengan penutup keting (https://github.com/Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo/wiki/Keting).
Kilang adalah minuman segar dengan cita rasa manis dan sedikit menthol yang mengusir dingin dari tubuh.

Di masa lalu, kilang menjadi sajian istimewa pada hari raya. Bayangkan jika kafe-kafe modern menyajikan kilang dalam buyung berketing dengan sentuhan seni—sebuah atraksi budaya yang memikat dan mengundang nostalgia.
Namun, kilang bukan satu-satunya warisan minuman Gayo. Ada juga serbet (https://github.com/Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo/wiki/Serbet), minuman khas yang disajikan agak kental karena dicampur dengan bubuk ketan sangrai.
Serbet diyakini berasal dari resep Timur Tengah dan menjadi bagian dari perjamuan hari raya masyarakat Gayo.
Keberadaannya tercatat hingga tahun 1922, ketika J. Kreemer meneliti di Gayo dan menemukan bahwa masyarakatnya memiliki ragam kuliner unik, termasuk makanan bernama awas 44.

Dari berbagai penelusuran, kemungkinan besar awas 44 yang dimaksud Kreemer adalah sejeni, hidangan khas yang masih diolah oleh masyarakat di Payung, Jamat.
Konon, sejeni memiliki khasiat meningkatkan daya tahan tubuh—suatu kearifan lokal yang patut dijaga.
Tak hanya dalam ranah kuliner, masyarakat Gayo masa lalu juga memiliki pengetahuan bioteknologi yang luar biasa.
Mereka mampu memproduksi Saccharomyces—yeast atau ragi dalam industri modern—yang kini bernilai miliaran dolar.
Dahulu, yeast Gayo dibuat saat panen padi, ketika suara lesung bergema di kampung-kampung, membentuk harmoni tingkah temping.
Tepung beras atau ketan dicampur dedaunan tertentu, dibentuk bulat dengan lubang di tengah, lalu digantung dan diangin-anginkan hingga fermentasi sempurna.
Yeast ini melahirkan dua jenis minuman khas: ning (https://tinyurl.com/598sc95s), dan pencor. (https://tinyurl.com/2ykfrems).
Jika proses fermentasi berlanjut, ning akan berubah menjadi pencor, minuman dengan karakter yang berbeda. Sayangnya, keberadaan minuman ini kini tinggal catatan sejarah.
Namun, Kilang, Serbet, dan Sejeni masih bertahan—mereka adalah jejak budaya yang memiliki potensi ekonomi besar.
Jika dahulu orang Gayo tak hanya menjual komoditas mentah, melainkan juga produk olahan berbasis budaya, mengapa kita tak melakukan hal yang sama?
Mengapa kita tak mengangkat kembali warisan ini ke panggung industri pariwisata? Produk-produk budaya berbasis sumber daya lokal dapat diregenerasi secara berkelanjutan, menciptakan ekonomi yang mandiri dan tak bergantung pada impor.
Kita telah hidup ribuan tahun di Tanoh Gayo dengan segala kekayaan yang diwariskan leluhur.
Lalu, mengapa kita harus terpaku pada hal-hal yang datang dari luar? Kita memiliki budaya, sejarah, dan sumber daya yang tak ternilai.
Seperti syair yang sering dilantunkan: Engon ko so Tanoh Gayo… si Megah mureta dele… Sudah saatnya kita kembali kepada akar, menggali kekayaan sendiri, dan menjadikannya sumber kesejahteraan bagi generasi mendatang.
Sumber :
1. Kruijt, J.A dan C.H. Bogaert. (1877) Atjeh en de Atjehers. Leiden: Gualth Kolff,
2. Hazeu, G.A.J. (1907) Gajösch-Nederlandsch Woordenboek. Batavia: Landsrukkerij
3. Kreemer, J. (1922) Atheh Algemeen Samenvattend Overzicht Van Land En Volk Van Atjeh En Onderhoorigheden. Leiden: E.J. Brill, 1922.
*Peneliti Bahasa dan Budaya Gayo