Jemerak dan Preneten, Jejak Pengetahuan Gayo yang Pupus

oleh

Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*

Di balik setiap kata, tersimpan jejak peradaban. Kata bukan sekadar rangkaian bunyi yang membentuk makna, tetapi juga pintu menuju pengetahuan yang diwariskan lintas generasi.

Namun, bagaimana jika kata-kata itu hilang? Bagaimana jika bersama lenyapnya sebuah istilah, turut terkubur pula kebijaksanaan yang pernah dimiliki muyang datu kita?

Bahasa Gayo menyimpan istilah yang nyaris tak terdengar lagi di tengah masyarakatnya. Jemerak dan Preneten—dua kata yang dahulu akrab dalam kehidupan sehari-hari, kini hanya bergaung dalam lembaran tua buku yang disusun lebih dari satu abad lalu.

Kata-kata ini bukan sekadar kosakata, melainkan potongan dari pengetahuan yang telah punah, terkikis oleh zaman, dan nyaris tak lagi dipahami oleh generasi sekarang.

Emotional Contagion (Penularan Emosi) adalah salah satu fenomena dalam kajian ilmu psikologi. Emotional contagion merupakan proses di mana emosi atau respons emosional menyebar di antara individu dalam kelompok.

Penyebabnya, otak manusia memiliki neuron cermin yang mengaktifkan respons emosional serupa ketika melihat atau mendengar reaksi orang lain.

Ini adalah dasar biologis dari penularan emosi, misalnya tertawa saat orang di sekitar tertawa. Fenomena ini tercermin dalam kata Jemerak yang nyaris terhapus dari memori kolektif orang-orang Gayo.

Lalu ada Preneten (atau Predeten dalam dialek Gayo Lues), menggambarkan sesuatu yang tumbuh kerdil, tidak mencapai ukuran normal—baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan.

Kata ini mungkin dahulu digunakan untuk mengamati pertumbuhan anak-anak atau kondisi kesehatan ternak. Dalam dunia modern, konsep ini dekat dengan istilah stunting, yang kini menjadi perhatian besar dalam kesehatan anak.

Apakah orang Gayo pada masa itu mampu mengatasi stunting? Berhasilkah? Untuk apa orang Gayo dulu memiliki terminologi khusus dibidang psikologi dan kesehatan? Tak ada yang tahu pasti, sebab kata itu telah pudar dari ingatan kolektif.

Kata yang hilang bukan sekadar kehilangan bunyi. Ia adalah kehilangan cara pandang, kehilangan ilmu, kehilangan bagian dari jati diri suatu bangsa.

Saat Jemerak tidak lagi digunakan kesehatan mental tidak terkontrol, kekerasan dan bulliying bahkan terjadi ditempat yang paling suci, di mesjid ketika belajar Al-Quran.

Ketika Preneten lenyap, hilang pula pemahaman tradisional tentang pertumbuhan dan kesehatan. Kita mungkin telah mengabaikan kebijaksanaan lama tentang tubuh dan jiwa.

Hilangnya kata adalah hilangnya pemahaman yang bisa saja menjawab tantangan masa kini.

Kini, buku tua yang mencatat dua istilah ini tengah diterjemahkan kembali dalam bahasa Gayo-Indonesia. Ini bukan sekadar upaya akademik, tetapi langkah awal untuk menghidupkan kembali warisan yang telah lama tertidur.

Ini adalah kesempatan untuk menggali kembali pengetahuan yang mungkin bisa memberi manfaat bagi masyarakat Gayo di masa mendatang.

Membangun korpus bahasa Gayo bukan sekadar mencatat kata-kata lama. Ini adalah usaha menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran yang mungkin telah hilang, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan menyiapkan landasan bagi masa depan.

Setiap kata yang kita lestarikan adalah jejak menuju kebangkitan budaya, ilmu pengetahuan, dan kesejahteraan bersama.

Lalu, pertanyaannya kini kembali kepada kita: Apakah kita akan membiarkan kata-kata ini menghilang selamanya? Ataukah kita akan mengulurkan tangan, menggali kembali warisan ini, dan menjadikannya bagian dari kehidupan kita lagi? Karena dalam setiap kata, ada dunia yang menunggu untuk ditemukan kembali.

Preneten : https://github.com/Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo/wiki/Predeten

*Peneliti Bahasa dan Sejarah Gayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.