Oleh: Win Wan Nur*
Pernahkah kita merasa ada sesuatu yang aneh dengan cara dunia ini bekerja? Bahwa sering kali, yang paling vokal justru yang paling didengar, terlepas dari apakah dia benar atau sekadar bicara asal?
Saya mulai benar-benar menyadari fenomena ini ketika melihat bagaimana opini publik di Aceh dibentuk hari ini.
Di berbagai diskusi—baik di warung kopi, media sosial, hingga forum resmi—selalu ada sosok-sosok yang berteriak paling keras, seolah-olah mereka adalah wakil dari kebenaran mutlak.
Padahal, kalau kita bongkar argumen mereka satu per satu, isinya lebih sering kosong daripada berbobot.
Tapi anehnya, mereka tetap dihormati. Dielu-elukan. Dipandang sebagai pemimpin opini.
Kenapa bisa begitu?
Kenapa siapa yang berteriak paling keras, dialah yang paling benar?
Sebenarnya fenomena ini bukan hal baru, ini adalah fenomena yang galib terjadi di setiap peradaban.
Seorang filsuf bernama Richard Greene, mengamati dan menjelaskan fenomena ini sebagai sesuatu yang disebut “The Loudest Voice Effect”—efek di mana orang yang berbicara paling keras dan paling sering justru dianggap paling kredibel.
Logikanya sederhana: semakin sering kita mendengar sesuatu, semakin kita percaya itu benar. Ini sebabnya mengapa kita lebih mudah percaya hoaks yang terus-menerus diulang, dibandingkan fakta yang hanya disampaikan sekali lalu tenggelam dalam kebisingan.
Di Aceh, efek ini sangat terlihat. Mereka yang paling vokal, yang paling sering muncul di ruang publik, akhirnya menjadi wajah dari wacana yang ada.
Tidak peduli apakah yang mereka sampaikan benar atau tidak, selama mereka cukup keras dan cukup sering berbicara, mereka akan dianggap sebagai figur otoritatif.
Dan ketika seseorang sudah mendapatkan status sebagai “pemimpin opini”, orang-orang yang lebih kritis dan lebih paham sering kali memilih untuk diam.
Sebenarnya Mereka Minoritas, Tapi Terlihat Mayoritas
Inilah yang disebut “The Illusion of Majority”, konsep yang dikembangkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann dalam teorinya tentang spiral of silence.
Singkatnya, teori ini menjelaskan bagaimana sekelompok kecil orang bisa terlihat seperti mayoritas, hanya karena mereka lebih berani berbicara.
Sementara itu, mereka yang sebenarnya punya argumen lebih kuat malah memilih diam, karena merasa minoritas dan takut diserang.
Akhirnya, wacana publik hanya diisi oleh suara-suara yang sama, berputar-putar dalam lingkaran, membuatnya terlihat seperti satu-satunya kebenaran.
Coba saja perhatikan di Aceh hari ini. Ada banyak orang yang sebenarnya tidak setuju dengan wacana dominan yang ada—baik itu dalam politik, sosial, atau budaya, juga ekonomi seperti Bank Syariah. Tapi berapa banyak dari mereka yang berani berbicara?
Sebagian besar memilih untuk diam. Nova Iriansyah yang saat itu berstatus gubernur aja terpaksa bungkam ketika dia minta penerapan bank syariah total di Aceh ditunda sampai kita siap dengan segala kemungkinan.
Kenapa? Karena begitu seseorang berani berbeda pendapat, dia akan langsung dituduh macam-macam: antek asing, tidak cinta agama, penghianat bangsa, atau label-label lainnya dan yang paling mustahil dilawan adalah label ANTI SYARIAT ISLAM, ini yang membuat orang berpikir dua kali sebelum berdebat.
Prestise dari Suara Keras
Fenomena ini semakin diperparah oleh apa yang disebut sebagai pola prestise, konsep yang dijelaskan oleh seorang ilmuwan sosial bernama Murray Milner Jr.
Menurutnya, prestise atau penghormatan sosial tidak selalu diberikan kepada mereka yang paling cerdas atau paling berkontribusi, tetapi kepada mereka yang paling terlihat dan paling berani menampilkan diri.
Dan di Aceh, ini benar-benar terjadi.
Lihatlah mereka yang dianggap pemimpin opini hari ini. Apakah mereka dipilih karena gagasan-gagasannya yang luar biasa? Atau karena mereka punya kemampuan untuk menarik perhatian, berbicara dengan penuh keyakinan, dan menyerang siapa saja yang berseberangan?
Di masyarakat kita, keberanian berbicara sering lebih dihargai daripada kedalaman berpikir. Akhirnya, bukan mereka yang paling memahami masalah yang menentukan arah Aceh, tetapi mereka yang paling pandai memainkan persepsi.
Kalau ini terus dibiarkan, Aceh akan semakin jauh dari rasionalitas. Yang mendikte arah masyarakat bukan mereka yang paling bijak, tetapi mereka yang paling pandai memainkan emosi massa.
Apakah kita akan membiarkan Aceh terus dikuasai oleh mereka yang berteriak paling keras, meskipun isinya kosong?
Ataukah kita berani melawan arus, menantang kebisingan dengan substansi, dan memastikan bahwa masa depan Aceh tidak ditentukan oleh sekadar siapa yang paling berani berbicara, tetapi oleh siapa yang benar-benar membawa perubahan?
*Penulis adalah anggota dewan redaksi LintasGAYO.co dan juga seorang YouTuber