Bulan Tarbiyah Rohani

oleh

Oleh : Zarkasyi Yusuf, S. Sos, M. Pd

Salah satu adagium masyhur dalam Masyarakat Aceh adalah “bangai oek teukoh, bodoh sikula na”, arti sederhananya, “dibilang tolol rambutnya rapi, dikatakan bodoh tapi bersekolah”.

Pesan sederhananya, bagaimana perubahan perilaku seseorang sebagai dampak dari Pendidikan atau tradisi baik yang dijalaninya.

Sebab, sejatinya Pendidikan mampu mengubah sikap dan prilaku anak manusia menjadi lebih baik, jika tidak ada perubahan (menjadi lebih baik) dapat dipastikan bahwa pendidikan yang dijalani tidak membawa dampak berarti.

Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan ‘”pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya). Ragam pendapat para pakar tentang Pendidikan, mulai dari istilah, tujuan dan ruang lingkupnya.

Menurut Syed Naquib al-Attas Pendidikan diistilahkan dengan ta’dib. Sementara Azyumardi Azra berpendapat bahwa pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.

Menurutnya, Ketiga istilah tersebut mengandung makna yang amat dalam, menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaiatan satu sama lain, ketiga istilah itu mampu menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; formal, informal dan non formal.

Tulisan singkat ini hanya fokus pada Pendidikan Rohani saja, apalagi dengan datangnya bulan Ramadhan sebagai media untuk menempa Rohani menjadi lebih terdidik dan menjadi baik.

Ruh merupakan tubuh yang halus/al jism aI-Iathifah, bersumber di lorong-lorong hati yang bertubuh, beredar melalui urat-urat dan otot-otot ke segala bagian tubuh, memancarkan cahaya hidup dan perasaan.

Dari kata “ruh” kemudian muncul istilah ruhiyah, yang terbentuk dari akhiran kata “ruh” diberi imbuhan ya nisbah diakhirnya sehingga menjadi ruhi. Kata ruhi diberi imbuhan ta’ marbutah diakhirnya menjadi ruhiyah untuk menyesuaikan bentuk (perempuan/female) dari kata tarbiyah (pendidikan).

Dalam Bahasa Indonesia, kata sepadan dengan kata ruhiyah rohani atau spiritual yang merupakan lawan dan kata maadi atau materiil. Aspek rohaniah (spiritual) adalah aspek yang didewasakan dan di insan kamilkan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.

Rohani dikaitkan dengan roh yang bermakna susunan badan halus, unsur-unsur halus atau gaib yang keberadaannya mempakan syarat utama bagi proses hayati, terutama yang berhubungan dengan kesadaran, pikiran dan kemauannya. Unsur-unsur halus tersebut mencakup jiwa, akal, hati dan nafsu.

Unsur Rohani tersebut terdiri dari roh sebagai alat hidup, akal sebagai alat penimbang, nafsu sebagai alat pendorong, dan hati sebagai alat pemutus (pengambil Keputusan).

Terkait Rohani, Quraish Shihab mengatakan bahwa manusia adalah penyatuan dua unsur jasamani dan Rohani. Ditekankan bahwa unsur rohani yang menggerakkan sejarah manusia, mengantarkan masyarakat maju ke depan atau runtuh berantakan.

Imam al-Ghazali mendudukan persoalan Rohani dengan menjelaskan maknanya secara lahiriah, fungsional, dan makna hakiki dari setiap perkara rohani seperti al-ruh, al-nafs, al’aql, dan al-qalb. Sederhananya al-ruh, al-nafs, al-aql, dan al-qalb merupakan kamar kamar yang terdapat pada sebuah istana yang disebut rohani.

Ramadhan Sebagai Madrasah Pendidikan Rohani

Dalam Bahasa Arab, pendidikan rohani dikenal dengan istilah al-tarbiyah al-ruhiyah. Pendidikan Ruhani merupakan pendidikan mengasah pikiran, hati, dan tubuh dalam menapaki pengalaman-pengalaman sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Ma’rifatullah).

Pendidikan Spiritual juga dikenal sebagai pendidikan kepribadian yang didasarkan kepada kecerdasan emosional dan spiritual (ruhaniah) yang bertumpu pada masalah diri.

Jika disederhanakan, pendidikan rohani adalah “usaha merubah, mengarahkan, melatih dan membimbing serta mempengaruhi unsur-unsur kerohanian yang bersifat dinamis itu menuju ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan menurut ukuran-ukuran Islam”.

Islam mempunyai sistem pendidikan rohani sendiri, tujuannya untuk mengarahkan seseorang betul-betul menerima ajaran Islam, menerima seluruh cita-cita ideal yang terdapat dalam al-Qur’an.

Peningkatan jiwa dan kesetiaannya hanya kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani dari tingkah laku kehidupan Baginda Nabi Muhammad SAW.

Asal usul ruh pada dasarnya mengakui adanya Allah dan menerima kesaksian dan pengabdian kepada-Nya. Namun faktor lingkungan dapat mengubah sifat asli tersebut. Ini berarti bahwa ada kemungkinan ruh bisa menyimpang dari kebenaran.

Ramadhan yang diberikan Allah sebagai “kado Istimewa” untuk Nabi Muhammad SAW sering disebut dengan nama syahru at-tarbiyah (bulan Pendidikan).

Untuk itu, Ramadhan semestinya dimamfaatkan menjadi “institusi pendidikan (madrasah)” yang dapat dijadikan untuk menerapakan ilmu (kongnitif) dan amal kebaikan (afektif dan psikomotorik) yang akan menjadi Latihan (drill) bagi rohani manusia.

Puasa yang diwajibkan dalam Ramadhan salah satu tujuannya adalah untuk mengendalikan hawa nafsu, hawa nafsu inilah yang membelokkan dan mengacaukan Pendidikan ruh manusia.

Menurut Imam al-Ghazali syahwat merupakan daya pertama yang ada sejak bayi, baru kemudian disusul daya ghadab saat usia tujuh tahun. Setelah daya ghadab mulai matang baru disusul oleh daya tamyiz.

Karena nafsu syahwat dan ghadab mendahului adanya dibanding kematangan kekuatan rohani lainnya, maka ia lebih membekas di hati dari yang lain. Sebab kedua adalah akhlak yang ada sejak awal kehidupan di mana kekuatan rohani belum stabil terus dikuatkan oleh perilaku yang menuntut kesenangan nafsu itu.

Dua sebab ini yang membuat proses perbaikan rohani ini menjadi tidak mudah. Tujuan perbaikan dan penyucian rohani bukan meniadakan nafsu secara total, karena hal itu melawan fitrah.

Sumber utama perbuatan maksiat adalah hawa nafsu dalam diri manusia, sementara “bahan bakar” hawa nafsu itu sendiri adalah makanan.

Mengurangi mengonsumsi makanan adalah salah satu cara meredupkan hawa nafsu, sehingga mampu dikendalikan. Jika seseorang mampu mengendalikan diri, maka ia mampu arahkan tubuhnya untuk melakukan kebaikan dan menghindari perbuatan maksiat.

Imam Al-Qusyairi dalam Risalah-nya dan Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Adzkar-nya menyebutkan bahwa obat hati ada lima perkara, (1) membaca Al-Quran disertai perenungan, (2) mengatur pola makan agar perut tidak kenyang (bisa puasa atau cara lain), (3) bangun malam (tahajud, zikir, atau amal lainnya), (4) merendahkan diri di hadapan Allah pada akhir malam, (5) bergaul dengan orang-orang saleh.

Salah satu latihan Pendidikan Rohani manusia yang dipraktekkan dalam Ramadhan adalah membaca al-Qur’an, bahkan Ramadhan sering dikenal dengan sebutan syahru al-Qur’an. Membaca al-Qur’an adalah obat penting bagi hati manusia, sehingga ia akan benar benar menjadi instrument yang akan menemukan jalan kebenaran.

Kegagalan Pendidikan Rohani bagi manusia menjadi penyebab rusak dan hancurnya kehidupan.

Kecurangan, kejahatan dan premanisme akan merajarela dan kesemrautan hidup akan terjadi dimana-mana, orang kaya tidak lagi peduli dengan yang miskin, orang kuat tidak lagi sayang dengan kaum lemah, intelektual tidak lagi mencerdaskan kaum bodoh, rakyat tidak lagi tunduk dan patuh pada pemimpin, begitu pula pemimpin yang tidak lagi sayang dan mengayomi rakyat yang dipimpinnya.

Mari berlomba-lomba mengisi Ramadhan dengan amal kebaikan, karena kebaikan akan menjadi asupan penting bagi tumbuh kembang Rohani manusia.

Jika Pendidikan Rohani manusia hambar, manusia akan merasa kekurangan ditengah gelimang harta, akan merasa susah ditengah kepungan nikmat dan Rahmat Allah.

Salah satu dampak kegagalan Pendidikan Rohani bagi manusia digambarkan Allah dalam al-Qur’an surat al-‘Araf ayat 179 ;

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf ayat 179).

*Penulis adalah Alumnus Magister Menajemen Pendidikan Islam Universitas Pesantren KH. Abdul Chalim Mojokerto Jawa Timur. ASN Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.