Hitungan Berbeda, Nilai Puasa Tetap Harus Sama

oleh

Oleh : Prof. Dr. Ali Abubakar, M.Ag*

(Khutbah Jumat di Masjid Babul Maghfirah, Peukan Bada, 15 Maret 2024)

Tahun ini, umat Islam di Indonesia mengawali Ramadhan pada hari yang berbeda. Warga Muhammadiyah dan warga yang yakin dengan perhitungan ilmu hisab/falak mengawali puasa pada tanggal 11 Maret 2024, sedangkan organisasi masa Nahdhatul Ulama (NU) dan Pemerintah menetapkannya 12 Maret 2024.

Perbedaan ini sudah pernah terjadi pada beberapa tahun sebelumnya. Hanya saja tidak banyak terangkat ke permukaan karena ketika memulai puasa tidak ada “kehebohan”; semuanya berjalan “sunyi” walaupun dalam suasana meugang yang ramai.

Akan berbeda dengan hari raya idul fitri dan idul adha. Tahun lalu, Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1444 H pada Jumat, 21 April 2023, melalui perhitungan ilmu falak atau ilmu astronomi, sedangkan Pemerintah dan NU pada hari berikutnya, Sabtu 22 April 2023, melalui rukyat dengan kriteria ketinggian hilal 3 derajat.

Sepanjang 20 tahun sebelumnya, yaitu 2003-2022, Indonesia pernah merayakan Hari Raya Idul Fitri beda hari tiga kali.

Tahun 2024 ini, dua ormas Islam terbesar di Indonesia (Muhammadiyah dan NU) kemungkinan besar akan menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Rabu, 10 April 2024 karena berdasarkan perhitungan hisab, sehari sebelumnya, pada saat matahari terbenam tanggal 9 April 2024, ketinggian hilal sudah 6 derajat lebih.

Ini melampaui kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang menetapkan kriteria ketinggian hilal 3 derajat.

Ada hal yang menarik di sini. Umat Islam di seluruh dunia dapat menerima perbedaan ini dengan lapang dada. Memang debat-debat kecil di kalangan tertentu pasti ada, tetapi secara umum, umat Islam dapat memahami bahwa perbedaan ini hanyalah sekedar perbedaan cara pandang, bukan substansi.

Karena itu, yang dikehendaki oleh Syariat adalah bersikap moderat; menghormati pendapat yang berbeda, tidak menyalahkan apalagi mencibir.

Tentu saja, sikap moderat berlaku sepanjang pendapat-pendapat tersebut didasarkan pada dalil yang kuat dan tidak menyalahi pokok-pokok agama atau ilmu pengetahuan yang sudah umum, misalnya bulan Qamariah hanya 27, 28, atau 31 hari.

Nabi menyatakan bahwa usia bulan adalah 29 atau 30 hari. Itu juga temuan ilmu astronomi yang belum terbantahkan.

Selain itu, yang paling penting adalah bahwa walaupun memulai dan mengakhiri puasa berbeda, nilai puasa harus sama yaitu “pengendalian diri” (imsak) atau self control; tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.

Nilai itulah yang harus didapatkan melalui puasa. Nilai ini pula yang akan membawa setiap orang beriman meraih tujuan tertinggi puasa yang disebutkan oleh Al-Qur’an yaitu derajat taqwa (QS. Al Baqarah: 183).

*Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.