Kopi Tak Hanya Sebatas Minuman

oleh

Oleh : Zarkasyi Yusuf*

Semenjak pandemik melanda, baru minggu kedua Maret 2021 saya berkunjung lagi ke Aceh Tengah karena ada tugas dari Kantor tempat saya bekerja. Saya berangkat sekitar jam 23.00 wib dari Banda Aceh, tiba di Kota Takengon sekitar jam 07.00 pagi.

Seperti biasa, rasanya belum lengkap jika sampai di Takengon belum menikmati seduhan kopi arabika Gayo. Tidak jauh dari hotel tempat saya menginap, ada warung kopi sederhana namun begitu menarik perhatian saya, apalagi di situ juga disediakan bubuk kopi, saya pun melihat langsung proses roasting kopinya.

Tidak menunggu lama, kopi yang saya pesan pun diantar. Sambil menikmati kopi, mata saya melihat sebuah gambar di dinding yang bertuliskan anatomi coffee. Gambar itu menjelaskan tentang struktur tubuh dari sebatang kopi, cukup menambah pengetahuan saya sebagai orang yang masih awam tentang kopi.

Pada sisi lain dinding, saya juga melihat sebuah tulisan “Despresso”, despresso diartikan sebagai gambaran perasaan saat kopi yang diminum habis. Dari kata “despresso”, saya memahami bahwa yang menulis kata ini tentu memiliki maksud tertentu, tidak hanya mengambarkan kopi hanya sebatas minum semata, tetapi kopi juga bisa dijadikan sebagai ungkapan perasaan hati.

Dalam perkembangannya, memang kopi selalu menjadi inspirasi. Sebab itulah, tidak heran jika ada ulama yang menulis kitab yang hanya membicarakan tentang kopi, diantaranya; Umdatus Shafwah fii Hukmil Qahwah yang ditulis oleh Abdul Qadir bin Muhammad Al-Jaziry pada tahun 1587 M.

Risalah Inusis Shafwah bi Anfusil Qahwah yang dikarang oleh Sayyid Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Idrus, kitab Irsyadul Ikhwan fi Syurbil Qahwah wad Dukhan yang dikarang oleh Syekh Ikhsan Jampes Kediri, serta kitab Shafwatus Shafwah fi bayan Hukmi al-Qahwah oleh Syekh Addul Qadir bin Syeh.

Tidak hanya kitab, al-Faqih syekh Bamakhromah juga menulis syair-syair tentang kopi. Terkait kopi, Ibnu Hajar al-Haitami pernah menulis “tsumma ‘iklam ayyuha al-Qulub al-Makrub anna hadzihi al-Qahwah qad ja’alaha ahlu al-shuffa mujlibatun lil al-asrar mudzhibatun li al-Akdar” (Ketahuilah wahai hati yang gelisah, bahwasannya kopi ini telah dijadikan sebagai pengundang datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, serta penghapus kesusahan oleh Ahli Shafwah (orang orang yang bersih hatinya).

Referensi yang dinukil di atas memberikan pemahaman bahwa kopi tidak hanya sebagai minuman saja, kopi benar-benar menjadi inspirasi sehingga melahirkan karya-karya besar sebagai manivesto dahsyatnya kopi.

Harapannya, begitu pula dengan anugerah tanaman kopi yang diberikan Allah kepada kawasan dataran tinggi Gayo, tumbuh subur dengan hasil melimpah dan berkualitas dunia.

Menjadikan kopi sebagai inspirasi dan komoditi peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Ini, bukan hanya impian saya saja, tetapi impian semua pihak, terutama masyarakat kawasan dataran tinggi Gayo.

Melejitkan Potensi Kopi

Sore harinya, saya diajak minum kopi oleh seorang teman yang tinggal di Bener Meriah, teman saya ini asli orang Gayo. Kami memilih salah satu cafe di seputaran kota Takengon. Dalam diskusi tersebut, saya mendapatkan banyak informasi terkait kopi di kawasan dataran tinggi Gayo, diantaranya bahwa luas lahan kopi di dataran tinggi gayo lebih dari 70 ribu hektar yang dapat menghasilkan kopi Arabica lebih dari 60 ribu ton setiap tahunnya.

Saya baru tahu bahwa kopi Gayo dinobatkan sebagai kopi Arabica terbaik di dunia pada International on Conference of Coffe Science yang dilaksanakan di Bali pada Oktober 2010. Saya yakin, masih banyak prestasi hebat kopi arabika Gayo.

Usaha menjadikan kopi tidak hanya sebatas minuman pasti telah dirintis oleh Pemerintah Aceh, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo lues, agar kopi mampu menginspirasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan dataran tinggi Gayo.

Sudah sepatutnya di kawasan daratan tinggi Gayo didirikan Pusat Studi Kopi Gayo (PSKG). Lembaga ini sejatinya menjadi lembaga resmi yang mendapat dukungan dari pemerintah, diberikan kewenangan, tugas dan fungsi untuk memberdayakan kopi dataran tinggi Gayo, tidak hanya sisi komoditinya saja, tetapi juga termasuk riset untuk pengembangannya pada masa yang akan datang.

Dulu, Pemerintah Belanda mendirikan Besoekisch Proefstation pada Januari 1911 yang merupakan lembaga riset untuk pengembangan kopi dan kakao. Lembaga ini berubah nama menjadi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PUSLITKOKA) berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor 786/Kpts/Org/9/1981.

Kini, PUSLITKOKA diperluas tidak hanya menghasilkan IPTEK unggul namun juga mendidik enterpreneur baru berbasis komoditas kopi dan kakao dengan ditetapkannya Coffee and Cocoa Science Techno Park (CCSTP) sebagai unit strategis PUSLITKOKA.

Belajar dari PUSLITKOKA, maka kehadiran PSKG menjadi jembatan dalam ikhtiar menjadikan kopi Gayo menginspirasi dan memberikan kemakmuran. Dalam mendukung PSKG, kampus jantung hatee rakyat Aceh (USK dan UIN Ar-Raniry) dapat ikut berkontribusi.

Tidak hanya PSKG, ilmu tentang kopi dapat dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran pada jenjang sekolah menengah atas/sederajat (setidaknya untuk mata pelajaran muatan lokal). Sehingga akan muncul semangat dari generasi muda yang mendorong mereka untuk menjaga dan melestarikan kopi Gayo sebagai bahagian dari kebudayaan dan kesejahteraan.

Untuk melanggengkan kisah kopi Gayo dalam lintasan sejarah dalam multi perspektif, sejatinya direkam dalam catatan, terutama kaifiat dalam menanam dan membudidayakannya harapannya, catatan ini akan menjadi kitab rujukan bagi siapa pun yang ingin menanam kopi.

Sebagai contoh adalah Buku Sejarah Kopi Rindoe Benteng (Mengukir Sejarah Kopi Melalui Wakaf Menuju Ekowisata Di Tangerang) yang terbit pada Januari 2020, ditulis Kamaruddin Batubara dan Hamdani.

Buku ini mendokumentasikan bagaimana Kota Tangerang Banten menjadi pusat sejarah perkebunan kopi di masa lalu, serta budaya minum kopi yang secara bisnis berpeluang untuk dikembangkan agar bisa menjadikan mata pencaharian baru bagi masyarakat Tangerang.

Buku ini mengejak menghidupkan kembali upaya melestarikan kopi dengan menjual kopi secara modern dan kekinian. Mengemas budaya minum kopi lebih asik dan menciptakan bisnis kopi bagi masyarakat Tangerang.

Terkait dengan dokumentasi kopi dataran tinggi Gayo, salah satu buku yang mungkin merekam beberapa sisi tentang kopi adalah Jelajah Kopi Nusantara-Cita Rasa Kopi Gayo yang ditulis oleh Tim Litbang Kompas.

Tanpa terasa, sudah 90 menit kami duduk berdiskusi, diskusi kami terasa singkat rasanya, apalagi ditemani seduhan sanger Arabica dengan rasa yang begitu menggoda. Kami pun berangkat pulang menuju hotel tempat saya menginap.

Hanya satu harapan, Ikhtiar menjadikan kopi tidak hanya sebagai minuman harus terus diupayakan, apalagi dengan dukungan dan daya tarik dataran tinggi Gayo yang kini menjadi salah satu destinasi wisata. Para pelancong tidak hanya menikmati panorama alam Gayo, tetapi menyaksikan masyarakatnya yang mampu menjadikan kopi menginspirasi kehidupan.

Saya berharap apa yang menjadi impian saya, seperti tertuang dalam tulisan ini dibaca oleh para pihak terkait, mendapat dukungan untuk kesejahteraan masyarakat dataran tinggi Gayo dengan menjadikan kopi sebagai pusat kajian pendidikan dan budaya, serta menjadi salah satu alat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga anugerah yang diberikan Allah dapat menuai berkah. Do it or Never!

*ASN Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.