Menilik Persamaan Guru dan Dosen

oleh

Oleh : Johansyah*

Dosen adalah dosen, dan guru adalah guru. Ada kesamaan dan tentu banyak juga perbedaannya. Salah satu kesamaannya keduanya adalah sama-sama melaksanakan proses pembelajaran, dan penumbuhan karakter.

Adapun perbedaannya lebih pada pendekatan dan metode pembelajarannya saja.
Suatu hari dua sahabat karib berdialog. Teman yang satu dosen dan satunya lagi guru.

Temannya yang guru mengatakan; enak ya jadi dosen, mengajarnya tinggal memberi tugas makalah pada mahasiswa, lalu mereka satu persatu presentasi. Kita nanti tinggal memperbaiki atau mengarahkan kekurangan makalah yang diprsentasikan’.

Temannya yang dosen mengatakan; ‘ya wajar begitu karena yang diajar orang dewasa, mereka sudah bisa mencari dan mengembangkan pengetahuan sendiri’.

Saya ingin garis bawahi, baik dosen maupun guru sebenarnya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Tunggu dulu kalau kita mau mengatakan bahwa tugas dosen itu jauh lebih ringan.

Tinggal memberi tugas kepada mahasiswa, lalu mereka membuat makalah dan mempresentasikan hasilnya. Poin intinya dosen itu juga memiliki tugas yang sama dengan guru, yakni mendidik.

Dari itu, sistem perkuliahan yang seperti biasa itu masih jauh dari tugas dosen sebagai pendidik. Tugas utama mereka adalah menumbuhkan karakter para mahasiswa.

Secara kognitif dan pencerdasan otak, mahasiswa memang sudah bisa mandiri, namun misi penumbuhan akhlak mulia itu tidak pernah berhenti.

Tidak ada batasan waktu dalam penumbuhan karakter. Minsalnya ada asumsi bahwa penumbuhan karakter itu hanya tugas para guru di sekolah, baik tingkat dasar maupun menengah. Di kampus mahasiswa sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi terserah mereka.

Pandangan seperti ini sangat berbahaya jika kita terapkan di kampus. Sekali lagi misi penumbuhan karakter itu tidak akan pernah berhenti pada batas usia tertentu. Dia akan terus berlangsung sampai kapan dan di mana pun.

Sama halnya dengan misi kenabian Muhammad SAW yang membawa misi utama perbaikan akhlak. Sasarannya adalah orang-orang dewasa yang sudah berilmu, kaya, dan hebat, tapi tidak berakhlak. Dalam mengemban misi penumbuhan karakter tersebut semua tingkat usia menjadi prioritas bagi beliau. Hanya saja pendekatan dan metode yang digunakan berbeda.

Soal pembelajaran di kampus sebaimana disinggung tadi, kalau hanya soal pencerdasan otak, di masa pandemi ini bahkan jauh lebih gampang. Sang dosen dapat memberikan tugas melalui online. Presentasi dapat dilakukan dengan zoom meeting, dan berdiskusi dari rumah masing-masing. Jadi sangat gampang.

Tapi bagiamana dengan upaya penumbuhan karakternya? Sesungguhnya itu tidak akan pernah diperoleh kecuali dari sistem interaksi langsung antara mahasiswa dan dosen. Dari interaksi inilah mereka akan memperoleh nilai karakter tertentu dan ini berlangsung secara alamiah, bukan ilmiah.

Gaya berbahasa seorang dosen, cara dia melayani mahasiswa, kedisiplinan masuk, cara membimbing, dan perilaku lainnya, itu sangat berpengaruh terhadap kecerdasan hati si mahasiswa. Satu contoh saja, minsalnya penasehat akademik (PA).

Apa sebenarnya tugasnya? Apakah hanya sekedar menandatangani KRS dan KHS? Adakah dia mengetahui potensi, kondisi keluarga, hingga persoalan yang dihadapi mahasiswanya, dan adakah perannya dalam membantu si mahasiswa dalam mengatasi persoalan yang dihadapi? Seberapa dalam kepedualiannya terhadap hal-hal seperti ini?

Kita juga sering mendengar seorang mahasiswa sering kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhirnya karena seorang pembimbingnya sulit ditemui dengan beragam alasan. Sekali jumpa bukan memberikan arahan, tapi memarahi mahasiswa.

Sebagian mahasiswa tidak mau lagi menyelesaikan tugas akhirnya hanya karena persoalan dengan pembimbing, dan betapa banyak tidak ada penangan khusus dari kampus untuk menyelesaikan persoalan seperti ini. Sejatinya PA memiliki peran penting dalam mengatasi persoalan seperti ini.

Beberapa waktu lalu, ama Prof. Dr. Sukiman (Guru Besar UIN SU asal Gayo) sempat bercerita pada kami dalam sebuah diskusi di Bebuli. Katanya, di sebuah kampus ada seorang dosen yang kalau mau tanda tangan skripsi, mahasiswi di suruh masuk ke mobil dan membuka baju. Bagaimana seorang dosen bisa bersikap seperti ini yang jauh dari keberadaban? Bagaimana perkembangan karakter mahasiswa dengan karakter buruk dosen seperti ini?

Masih banyak hal ganjin sebenarnya jika kita merujuk pada pengalaman masing-masing tentang suasana kampus. Saya lebih melihat kampus sebagai pusat pencerdasan otak. Upaya transformasi nilai dan penumbuhan akhlak mulia sepertinya sangat renggang dan tidak menjadi prioritas sebab banyak kampus yang berasumsi bahwa mahasiswa itu orang yang telah dewasa dan mandiri. Dia sudah dapat memilih sendiri mana yang baik dan mana yang buruk. Mau selesai kuliah silakan. Tidak selesai rasakan sendiri.

Sekali lagi, kita perlu membangun kesadaran akan pentingnya penumbuhan karakter di kampus dan dosen itu sama dengan guru. Sama-sama memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama, yakni mendidik dan menumbuhkan karakter mahasiswa. Meski secara teknis memiliki beberapa perbedaan.

Hal yang tidak mungkin kita pungkiri bahwa guru adalah produk dari kampus. Di kampuslah mereka memperoleh wawasan yang berkaitan dengan keguruan. Maka sungguh sangat naif apabila kampus sebagai pencetak guru mengenyampingkan misi penumbuhan karakter kepada mahasiswa.

Kampus harus berusaha semaksimal mungkin untuk melahirkan lulusan tarbiyah calon guru yang kokoh tauhid dan bagus akhlaknya. Oleh karenanya tidak keliru bila ada yang mengatakan bahwa dosen itu juga guru. Meski demikian, sebagian ada yang gengsi dan mempertahankan diri bahwa dosen itu adalah dosen, dan guru adalah guru.

Tapi yakinlah karakter dosen itu sangat memengaruhi karakter mahasiswa sebagai calon guru. Artinya ada kemungkinan calon guru itu akan berkarakter baik sebagaimana yang dicontohkan dosennya. Ini adalah persoalan keteladanan. Maka saya mengatakan sebelumnya, tidak ada limit bagi misi penumbuhan karakter. Bahkan di kampus itu lebih prioritas mengingat kita akan mencetak para calon guru.

Sebagai penutup, beberapa tahun lalu ada seorang istri yang berprofesi seorang guru mengatakan kepada si suami; ‘kami hari ini upacara peringatan hari guru’. Suami yang dosen menjawab; ‘kami juga akan melangsungkan upacara peringatan hari guru di kampus’.

‘kalau kampus tidak memperingati juga tidak ada masalah kan?’ tanya sang istri. Lalu suaminya mengatakan; ‘sesungguhnya dosen itu juga pendidik, dan guru itu adalah hasil didikan mereka. Jadi kita sama-sama memperingati hari guru, karena kita sama-sama pendidik’. Wallahu a’lam bishawab!

*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.