Oleh : AS. Dewi, S.Pd.I., M.Pd*
Wabah pandemik Covid-19 mengharuskan belajar atau bekerja di rumah (learning or working from home) (diatur dengan SE Mendikbud Nomor 4 tahun 2020 tentang pelaksanaan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Covid-19); jelas ini sesuatu yang tidak pernah terbayangkan.
Fenomenalnya lagi ini terjadi di seluruh dunia; diberitakan hanya benua Arktik dan Antartik saja yang belum terdampak (BBC News, 08 April 2020). “Perang Dunia” telahpun ditabuh untuk menghadapi unseenable enemy yang melumpuhkan semua urat nadi kehidupan ini, khususnya pendidikan.
Aktivitas pendidikan sepertinya paling prioritas “dimatikan” mengingat aktivitas ini melibatkan manusia-manusia mentah muda belia yang sangat rentan tertular atau menularkan.
Menyiasati kondisi ketidakpastian ini, Indonesia seperti halnya negara-negara lain menerapkan proses belajar secara daring (online) sebagai upaya minimal atau “selemah-lemah iman” agar jantung pendidikan tetap berdenyut.
Mengingat situasi darurat ini entah sampai kapan, maka upaya minimal ini tentu harus berbuah maksimal; berlebihankah? Tentu tidak, IT (information technology) telah memberi bantuan yang patut untuk disyukuri.
Sejurus belajar daring diterapkan, telahpun meluncur aplikasi Zoom yang memungkinkan banyak orang (1000 orang atau lebih) untuk melakukan telecommuting (komunikasi jarak jauh) untuk berbagai keperluan seperti rapat, belajar, sidang pegadilan, resepsi dan sebagainya.
Belakangan aplikasi dari platform lain seperti Whatsapps dan Line juga telah mengikuti jejak Zoom dengan kemampuannya masing-masing sebagai alternatif; intinya secara IT hampir tidak ada kendala yang berarti, persoalan justru pada kesiapan kita menggunakan capaian itu.
Lompatan Pembelajaran
Belajar dan bekerja di dan dari rumah di sisi lain adalah lompatan budaya yang ekstrem, terlebih bagi budaya kita di Timur yang “doyan” silaturrahmi, namun hal ini sesungguhnya telah diprediksi telah lama karena komunikasi jarak jauh ini merupakan bagian dari era industri generasi keempat yang telahpun ditabuh sejah awal milenium ini.
Revolusi Industri keempat atau yang kita kenal era industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 ini dibangun diatas Revolusi Digital (Revolusi Industri Ketiga) yang ditandai dengan munculnya terobosan teknologi di sejumlah bidang. Teknologi dan tren dalam era 4IR seperti Internet of Things (IoT), robotika, Virtual Reality (VR), dan kecerdasan buatan (AI) akan mengubah cara hidup kita dan bekerja.
Menurut Professor Klaus Schwab, orang yang pertama kali menciptakan frasa ‘Revolusi Industri Keempat’ mengatakan bahwa di era tersebut akan ada kecepatan terobosan teknologi, cakupan luas, dan dampak luar biasa.
Peralihan era Industri yang terus akan berlanjut adalah suatu kepastian. Yang keteter justru manusia-manusia yang tidak siap dengan perubahan itu. Kemajuan IT itu tidak akan pernah mundur ke belakang, ada pemaksaan yang absolut bagi semua orang dan negara untuk mengikutinya jika tidak ingin tergilas dalam arti dirugikan oleh kemajuan itu. Terbukti siapapun yang gagap akan tertinggal, termasuk dalam kegiatan belajar mengajar.
Sadar atau tidak, penerapan LFH dan WFH karena wabah ini telah memaksa peralihan sistem pembelajaran. Meski saat ini dianggap “menyiksa”, tetapi seiring perjalanan waktu jika manfaatnya dirasakan langsung, maka “siksaan” itu justru akan siap untuk dihadapi; ingat, salah satu kemampuan manusia adalah kemampuan beradaptasi, tapi di balik kemampuan itu ada aspek psikologisnya, yaitu mau atau tidak beradaptasi (berubah). Hikmah di balik musibah ini adalah wabah Covid-19 ini telah “membuka mata” kesadaran jutaan manusia akan revolusi Industri sebagai simbolik capaian penggunaan akal budi manusia.
Bukan suatu kebetulan barangkali jika tuntutan kemandirian dalam belajar secara daring atau online sangat relevan dengan konsep “merdeka belajar” yang menjadi gawean dari Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim saat ini.
Meski konsep tersebut masih menjadi wacana yang cenderung seperti polemik di kalangan pemikir serta praktisi pendidikan, namun dengan situasi pandemi saat ini bisa menjadi konteks yang tepat untuk menguji konsep tersebut, meski konsep tersebut sejatinya bukan untuk situasi “luar biasa”.
Jika dipahami secara sepintas, konsep merdeka belajar lebih merupakan ajakan filosofis kepada perlunya peralihan paradigma penyelenggaraan pendidikan (shifting paradigm) dari pendidikan yang kurang memberdayakan dan mengembangkan potensi peserta didik kepada pendidikan berorientasi pada upaya untuk “meledakkan” potensi belajar yang ada pada siswa; karena itu pola-pola penyelenggaraan pendidikan yang terkesan mengungkung dan mengkrangkeng potensi siswa.
Bukan hanya siswa yang perlu “dimerdekakan” tetapi juga guru karena sistem yang ada saat ini juga berimbas pada kemerdekaan guru dalam mengajar, Siswa dikungkung dengan ujian, sedangkan guru dikungkung dengan rencana pembelajaran; akhirnya siswa belajar hanya untuk ujian, bukan untuk mengetahui kompetensi apa yang sudah terbangun dalam dirinya. Demikian juga, mengajar sebagai tugas guru hanya dimaknai sebagai kegiatan skenariotik untuk melaksanakan apa yang tertulis dalam RPP.
Yang terjadi selama ini, siswa belajar untuk ujian dan guru mengajar untuk memenuhi RPP. Ujian dan RPP bukan lagi sarana untuk mencapai tujuan, tetapi sudah menjadi tujuan itu sendiri.
LFH dan WFH karena Covid-19 ini sepertinya sekaligus menjadi batu uji konsep “merdeka belajar”. Jika selama ini pembelajaran dilaksanakan dengan proses dan pola yang kaku (statis) berbasis interaksi langsung dan ketat, maka dengan belajar daring guru dan siswa “merdeka” dari rutinitas yang tidak perlu, menyita waktu dan lebih banyak kesibukan administratif yang tidak susbtansial.
Dengan belajar daring guru dituntut untuk lebih banyak berpikir strategis dan efektif karena belajar daring menuntut komunikasi yang efektif dan efisien. Untuk itu, skenario pembelajaran guru bukan semata-mata tersurat rapi dalam RPP, tetapi yang paling penting skenario itu bisa berjalan dalam komunikasi virtual.
Tantangan Kemandirian
Dengan berbagai perubahan diatas, maka perlu ada konsekwensi yang menuntut stakeholder pendidikan khususnya guru, siswa, pihak administrasi sekolah, dan orang tua untuk menumbuhkembangkan kemandirian mereka.
Kemandirian yang diinginkan disini ialah bagi para guru, belajar dari pengalaman melalui pandemi Covid-19 ini dituntut agar lebih sigap melengkapi persenjataan diri disamping keharusan memiliki kompetensi diri yang sempurna juga terlebih urgen lagi adalah memiliki penguasaan teknologi digital dan benar-benar terampil dalam mengoperasikannya, adanya kelengkapan administrasi mengajar minimal membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dual fungsi tidak hanya tepat guna di dalam sistem belajar konvensional (tatap muka di kelas) juga cakap dalam pembelajaran daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Kemandirian guru untuk terus menimba ilmu dan meningkatkan kompetensi diri amatlah diharapkan tanpa harus menunggu panggilan mengikuti training atau pelatihan dari lembaga pendidikan maupun instansi lainnya secara gratis.
Kemauan yang tinggi dari seorang guru untuk menjadi agen perubahan dan pengendali mesin-mesin pada Revolusi Industri 4.0 bukan sebaliknya guru harus termarginalisasikan dan pekerjaannya digantikan oleh mesin-mesin kecerdasan buatan (AI). Apa jadinya bila mesin-mesin yang tidak mempunyai unsur rasa, bahasa, dan karakter yang menjadi pembimbing ilmu bagi anak didik kita, lalu apa yang terjadi pada jiwa-jiwa anak-anak kita.
Kalaupun tidak bisa melebihi keadaan normal, hasil yang relatif sama saja dengan proses normal akan merupakan capaian yang luar biasa. Untuk terwujudnya azam itu, syarat utama yang harus dipenuhi adalah adanya kemandirian dari semua elemen yang terlibat dalam proses belajar-mengajar, yaitu sekolah, guru, siswa, dan orang tua.
Keempat organ ini merupakan organisasi belajar yang masing-masing harus berfungsi sesuai eksistensinya.
Sejauh mengenai IT hampir selalu ada solusi, justru letak masalahnya adalah pada kita masyarakat pengguna aplikasi-aplikasi itu. Bagi sebagian besar masyarakat kita semua aplikasi itu adalah barang asing.
Jangankan aplikasi Zoom, masih banyak daerah seperti di Aceh yang berkutat dengan masalah klasik; “tower”, smartphone dan paket data. Data yang dilansir oleh media Kompas bahwa laporan dari UNESCO tercatat sekitar 830 juta pelajar tak memiliki akses ke komputer dan lebih dari 40 persen pelajar tak memiliki akses internet di rumahnya (Opini Kompas, Iwan P. 2 Mei 2020).
Bukan hanya perangkat keras (hardware) seputar tower, HP, dan data yang memicu masalah dalam penerapan belajar daring; yang tidak kalah memusingkan bagi mereka yang tidak familiar dengan IT adalah berbagai aplikasi software (perangkat lunak) untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Aplikasi-aplikasi itu berkembang dengan sangat pesat yang menuntut pengguna juga dinamis dalam mengenali dan menggunakannya.
Semua stakeholders pendidikan harus mandiri melaksanakan kegiatannya dengan medium virtual (maya) yang menggantikan medium nyata. Saat ini, bagi kita yang tidak sanggup membuat alat-alat komunikasi yang canggih itu, lebih baik realistis dan menghabiskan waktu untuk mengakrabkan diri dengannya.
Jangan sampai keasingan kita dengan teknologi informasi itu justru menjadikan kita sebagai korban. Jika sekolah, guru, murid dan orang tua tidak segera “berdamai” dengan pola belajar daring ini, maka setiap elemen itu akan menjadi korban dengan sendirinya.
Sekolah yang tidak siap dengan tenaga IT-nya akan dijauhi masyarakat; guru yang tidak bisa mengikuti arus IT akan “pensiun” dengan sendirinya; siswa yang tidak akrab dengan IT akan kalah berkompetisi merebut tempat yang layak dalam dunia kerja; dan orang tua yang tidak paham eksistensi dan fungsi IT bagi anaknya akan melihat kekalahan anaknya dalam persaingan kehidupan.
Kepada semuanya hanya ada pilihan, berubah sekarang atau tidak. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bahwa untuk bisa eksis dalam belajar daring ini syarat utamanya harus memaksa diri keluar dari zona nyaman (comfort zone).
Sekolah dengan fungsi administrasinya; guru dengan fungsi informasi dan konfirmasi pengetahuannya, siswa dalam fungsi subyek belajar yang sedang mengembangkan dirinya, serta orang tua dalam fungsi sebagai pemberi motivasi dan pengawasan.
Sebagai administrator, sekolah diharapkan kemandiriannya dalam mengelola record atau catatan capaian belajar dan perkembangan siswa; catatan yang darinya akan diperoleh perkembangan seorang siswa dari waktu ke waktu. Kemandirian guru yang diharapkan adalah kemandirian meningkatkan kompetensi diri agar bisa berbagi dengan siswanya.
Kemandirian siswa adalah dalam kemauan dan kemampuan mengikuti arahan secara sukarela dan sadar serta taat proses tanpa harus dihela oleh siapappun. Sedangkan kemandirian orang tua adalah keterlibatannya secara intens mengikuti dan mengamati proses perkembangan kompetensi anaknya secara day by day; sekaligus memberi penguatan-penguatan.
Kemandirian keempat unsur inilah yang dituntut dalam menjalani LFH selama Covid-19 ini. Namun, ini barulah merupakan sebuah langkah awal dari sebuah budaya belajar yang sama sekali baru, karena itu banyak pihak yang mengalami cultural shock (kejutan budaya).
Dalam konteks ini, dari keempat elemen yang disebutkan di atas, elemen manakah yang kira-kira yang paling siap dituntut kemandiriannya? Sekolah, guru, atau orang tua? Atau jangan-jangan justru kemandirian siswa yang paling siap mengingat pembelajaran online berbasis IT yang bagi kalangan milenial bukanlah sesuatu yang asing dan bukan pula “barang” yang perlu dirisaukan.
*Guru MTsN 1 Banda Aceh






