Oleh : Sulaiman Juned*
Puisi, 14 Tahun Mengenang Ie Raya
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Pagi
yang bening jadi kelam. Luka–duka
menari di samudera pikiran. Aku
tatap kota melesat dalam waktu berkalang maut
orang-orang menanggalkan hati satu demi satu. Ini
tubuh siapa punya memanggil-manggil Tuhan di setiap aliran
nadi. Kami ini jiwa–hati mencatat lara, tak bisa lari
tak bisa sembunyi. Orang-orang
berkelahi bersama ombak di kelap-kelip waktu. Orang-orang
lalu lalang diantara aroma manyat–meski teramat pahit. Nafas
pesakitan tersirat di wajah penderitaan. Aku
tabur bunga di pusara bernama Aceh
(Kapan usai hikayat bertopeng ini, duhai)
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Pagi
yang bening jadi kelam. Gundah
gelisah–sakit–pilu menyatu dalam bingkai cita lara. Telah
aku kecup getir di kamar rahasia menghabiskan malam
dalam senyum beku–waktu. Mengirim
setangkai kembang meraih bulan–gerimis
masih berkelahi di halaman. Siapa
diantara kita terluka–padamu
pahatkan resah. Kabut–angin–api–air
mempersiang diri dalam sepi. Secangkir
kesedihan terceruk belati menggali terusan air mata
di kedalaman air mata kami. Seperti
Tuhan pada waktu subuh menabur gelombang
sembunyikan getir–cinta terbunuh udara kelabu
aroma kematian terhidang di perjamuan
menyekap pikiran erat berpangut.
(Aku beli keluh kesah itu selipkan dikain kafanmu)
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membisu
kita bersulang menimang mimipi. Sudah
waktunya kita pulang. Entah
bagaimana menerjemahkan kesucian
terhidang lewat nikmatnya sakit. Sesekali
aku pulang menyaksikan bungong jeumpa patah tunasnya
hanya pada bayang bercerita;
Maskirbi baru saja kita poh cakra di keude kuphi tentang Aceh
agar menyelesaikan konflik dengan cinta–seni biar tak ada
yang mati sia-sia. Memahami luka dengan kasih sayang
bukan dendam. Nurgani Asyik terakhir kali kita keliling
Darussalam–Ulee Kareng serta minum kopi
di Pantai Ulee Lhee sambil menikmati shanset turun
memeluk malam tempat kita berkelahi pikiran. Virsevenny
dimana kau simpan kanvasmu–melukiskan
isi kalbu terbelah. Selamat malam cinta
aku hanya mampu mengirimkan doa
jadikan tembang menemani perjalanan malammu. Di pusara
seluas samudera, tujuh bidadari menabur wangi mawar
antar kepintu surga.
(Hari ini kita berkabung, ditegur Tuhan untuk kenali diri, Ah!)
-Banda Aceh–Padangpanjang, 2004-2018-
*Sulaiman Juned adalah seniman yang aktif dalam dunia teater, ia sudah memainkan lebih dari 250 judul naskah lakon baik naskah luar negeri maupun dalam negeri. Berperan sebagai aktor dan tokoh tanpa dialog sampai menjadi tokoh utama. Sudah menyutradarai 152 judul naskah lakon baik dari karya penulis dunia-nasional-daerah. Dewasa ini Soel hanya mau menyutradarai naskah lakon yang ditulisnya atau naskah lakon yang diproduksi oleh rekan-rekannya. Teater-Sastra-Jurnalistik telah membawanya mengelilingi Indonesia hingga Kalimantan dan Irian Jaya. Berbagai negara termasuk Malaysia, Singapura, Jepang, Brunei Darussalam, India dan negara lain-lainnya. Sulaiman Juned adalah Doktor dari ISI Surakarta-Jawa Tengah mengabdi di Institut Seni Indonesia Padangpanjang Sumatera Barat.