Konsep Parenting Education Membentuk Karakteristik Peserta Didik

oleh

Oleh: Turham AG, S. Ag, M. Pd*

A. Pengertian

Secara sederhana parenting diartikan sebagai pola pengasuhan anak dan education adalah pendidikan, berdasarkan arti kedua kata tersebut dapat dipahami bahwa parenting education merupakan pola pengasuhan berkaitan dengan pendidikan anak itu sendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa parenting education merupakan pekerjaan dan ketrampilan bagi orang tua dalam mengasuh anak untuk mengembangkan seluruh potensi (fitrah) yang telah dibawa anak sejak dilahirkan. Pengasuhan pendidikan dimaksudkan bukan hanya berlaku disekolah melainkan dirumah juga harus dilakukan pengasuhan dalam rangka mendidik. Karena sesungguhnya tugas pendidikan anak adalah kewajiban dan tanggungjawab orang tua.

Sebagaimana Hadirs Nabi “setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tua nyalah yang menjadikan dia yahudi, majusi dan nasrani”. Makna fitrah dalam hadits tersebut merupakan potensi (kemampuan) yang dimiliki anak sejak lahir dan belum pernah diberdayakan. Apabila potensi tersebut tidak digerakan (dibina, dilatih maupun dididik) akan membuat anak menjadi tidak terarah, hal tersebut disebabkan terganggunya perkembangan motorik anak.

Berdasarkan psikologi perkembangan apabila salah satu tahap perkembangan anak terganggu, akan turut mempengaruhi perkembangan selanjutnya, sehingga prilaku anak bisa bermuara kepada prilaku menyimpang.

Oleh sebab itu, parenting education dalam pembahasan ini lebih ditekankan kepada pembahasan tentang pola asuh orang tua terhadap anak dalam keluarga dan guru di sekolah untuk membantu pengembangan potensi anak. Mengingat pentingnya parenting education, maka dalam pelaksanaanya harus dilandasi dengan kepentingan hubungan keluarga dengan sekolah dan juga peran keluarga dalam kepentingan pendidikan anak, sehingga potensi yang dimiliki anak tersebut dapat berkembang secara optimal sebagaimana diharapkan.

Chabib Thoha, mengemukakan bahwa “parenting merupakan suatu cara terbaik yang ditempuh oleh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak”, hal senada dikemukakan M. Shohib, bahwa “parenting merupakan pola asuh, yaitu upaya orang tua yang diaktualisasikan pada penataan lingkungan sosial, lingkungan budaya, suasana psikologis serta perilaku yang ditampilkan pada saat terjadinya pertemuan dengan anak-anak”.

Ungkapan diatas memberi gambaran bahwa parenting atau pola asuh yang dimaksudkan memiliki kesaman makna dengan pengertian pendidikan, yaitu penanaman nilai-nilai, pembinaan dan pemberdayaan potensi kepada anak agar lebih terarah dalam meniti dan menekuni ilmu pengetahuan sampai terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi karakter.

Mustofa Al-Ghulayani, mengemukakan bahwa “pendidikan (Tarbiyah) adalah menanamkan akhlak (budi pekerti) yang utama di dalam jiwa anak, menyiramnya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga tertanam kuat dalam jiwa dan membuahkan keutamaan, kebaikan dan suka beramal untuk kemanfaatan tanah air”.

Sementara menurut Henry Clay Lindgren bahwa “keluarga bukan sekolah, namun memberikan pengalaman-pengalaman pendidikan yang pertama mulai pada masa pertumbuhan dengan usaha-usaha untuk membimbing dan mengarahkan anak serta melatihnya”. Demikian juga Ratna Megawangi berpendapat bahwa “parenting itu merujuk pada suasana kegiatan belajar mengajar yang menekankan kehangatan bukan ke arah suatu pendidikan satu arah atau tanpa emosi”.

Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa parenting merupakan cara mendidik anak oleh orang tua dirumah maupun diluar rumah, secara langsung maupun tidak langsung untuk melatih dan membina serta membimbing pengembangan potensi yang dimiliki anak sampai menjadi karakternya. Mengingat parenting sebagai pola pengasuhan dan pembelajaran, maka tidak terlepas dari perilaku orang tua sehari-hari secara keseluruhan dalam berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung ataupun tidak langsung dengan anak, karena disadari atau tidak prilaku orang tua merupakan contoh yang akan ditiru dan diteladani oleh anak.

Mengingat parenting akan memberi dampak terhadap kehidupan dan perkembangan potensi anak, maka orang tua harus menyadari dan sudah saatnya memberi perhatian khusus terhadap pendidikan anak, perhatian tersebut bukan hanya sekedar memasukan anak kesekolah dan melengkapi semua kebutuhanya, melaikan harus ikut bersama-sama dengan guru memberi perhatian kepada anak dari sisi yang berbeda, demikian juga guru harus terus memperhatikan perkembangan dan masalah yang di hadapi anak didik, tidak sekedar menunaikan kewajiban mengar. Hal ini dimaksudkan agar sejalan program sekolah dengan pola pendidikan orang tua terhadap anak tentang pendidikan.

Bila dikaitkan dengan kearifan lokal, bahwa dalam adat Gayo dikenal dengan utang opat, (hutang yang empat), maksudnya empat kewajiban orang tua terhadap anak yaitu, pertama memberi nama yang baik dan penyembelihan hewan aqiqah, kedua jika anak laki-laki maka dikhitankan, ketiga jika sudah waktunya maka dinikahkan dan keempat adalah pendidikan. Utang yang pertama sampai ke tiga dari dulu sampai sekarang selalu dibuat dengan acara yang meriah, seluruh ahli famili juga turut membantu, mulai dari penyediaan perlengkapan acara, makanan sampai dengan hiburan.

Namun sungguh disayangkan khusus hutang yang nomor empat tentang pendidikan, dewasa ini sudah tidak semeriah dulu melaksanakanya. Banyak orang tua sekedar memasukan anaknya kesekolah tanpa pernah tau bagaimana anaknya disekolah, sanak saudara juga seolah-olah tidak perduli dengan pendidikan saudaranya yang sedang membutuhkan. Parahnya lagi ada orang tua yang datang pertama kesekolah anaknya pada saat mendaftar masuk dan terakhir saat pengambilan ijazah, bahkan ada yang mewakilkan. Anehnya keluarga yang lain juga seolah-olah tidak perduli dengan anak saudaranya. Khusus untuk masalah ini perlu pendalaman lebih lanjut, kenapa bisa nilai adat terhadap pendidikan begitu menurun drastis. Padahal dalam adat Gayo masalah pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dan terpenting dalam kehidupan sampai dituangkan sebagai kewajiban orang tua dan nilai gotong royong terhadap pendidikan pada zaman dahulu adalah suatu yang sangat diperlukan dan dibanggakan.

B. Tujuan

Setidaknya ada empat tujuan dan sasaran dalam parenting education, yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran orang tua terhadap arti pentingnya pengasuhan anak dalam pendidikan, sehingga tumbuh kepedulian orang tua terhadap anak dan pendidikanya.

2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan orang tua dalam melaksanakan pengasuhan dan pembinaan terhadap kepentingan pendidikan bagi anak, sehingga mampu membuat perencanaan terhadap karir pendidikan dan masa depan anak

3. Mempertemukan kepentingan dan keinginan antara pihak keluarga dan sekolah, sehingga jikapun ada permasalahan yang terjadi dapat menemukan solusi secara cepat.

4. Mensinkronkan dan mengutamakan kepentingan antara pengasuhan pendidikan dirumah dengan di sekolah, sehingga anak tidak mengalami dualisme pola parenting education.

C. Prinsip

Jika dicermati, pemerintah telah menegaskan arah kebijakan pendidikan di Indonesia sebagaimana UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu “Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hal dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.”

Undang-undang tersebut memberi isyarat bahwa seluruh komponen bangsa harus turut memperhatikan dan terlibat dalam urusan pendidikan, artinya tugas mendidik anak bukan hanya kewajiban guru dan pemerintah semata melainkan seluruh komponen bangsa, termasuk masyarakat harus bersatu padu dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan anak. Komponen masyarakat dimaksudkan, boleh jadi secara perorangan maupun kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi komite sekolah sebagaimana tertuang dalam permendiknas nomor 75 tahun 2016

Pemerintah juga telah memberi kewenangan terhadap organisasi komite sekolah melalui Permendiknas nomor 75 tahun 2016 untuk membantu pendidikan di sekolah, namun sampai saat ini masalah komite banyak masih banyak yang menjadi polemik disekolah. Hal ini menunjukan ketidak pahaman tentang peran dan fungsi masing-masing dalam menjalankan tugas mengurus pendidikan.

UU No 32/2004 tentang Desentralisasi, merupakan keinginan pemerintah kepada masyarakat agar terus meningkatkan dukungan dan partisipas masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pendidikan secara lebih luas agar mampu melaksanakan pendidikan dengan mandiri, jadi undang-undang tersebut membuka selebar-lebarnya partisipasi masyarakat terutama dalam pendidikan. Kemampuan untuk berpartisipasi ini perlu didorong melalui kebijakan Pemerintah Daerah, sehingga peningkatan parenting education orang tua menjadi lebih baik dan berkualitas.

Jika seluruh komponen masyarakat ikut berpartisipasi dalam pendidikan, guru menjalakan tugas dan fungsinya sesuai ketentuan serta kolaborasi guru dan masyarakat terjalin erat, diyakini akan mampu membentuk karateristik peserta didik sebagaimana diharapkan dalam amanat undang-undang nomor 20 di atas.

Dewasa ini guru hampir dapat dipastikan tidak mampu mengawasi peserta didiknya disekolah, karena selain banyaknya tugas administrasi harus diselesaikan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tugas mengajar dikelas, untuk itulah diperlukan kerjasama yang baik antara orang tua dengan guru dalam mengasuh anak secara bersamaan.

Perlu adanya kesepahaman antara orang tua dengan guru tentang pola asuh anak dirumah dan disekolah, sehingga tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan anak menjadi salah asuh karena dua model pola asuh yang saling berlawanan. Akibatnya anak akan kehilangan arah dan cendrung mencari pola sendiri dalam kehidupanya.

Jika guru dan orang tua sejalan dalam parenting aducation anak, maka dapat membentuk karakter yang baik mengikuti ketentuan agama, oleh sebab itu peran dan fungsi komite sekolah sangat diperlukan untuk membangun komunikasi antara orang tua dengan guru disekolah.

D. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter (character education) dapat dipahami sebagai pendidikan moral, saat ini sangat diperlukan dalam rangka mengatasi krisis moral. Seperti meningkatnya pergaulan bebas, kejahatan terhadap teman, pencurian yang dilakukan remaja dan lain-lainya, semua itu telah menjadi penyakit sosial dikalangan madyarakat dan sekolah hampir tidak mampu mengatasi semua itu dan pendidikan karakterlah yang dapat diandalkan mengatasinya, sekaligus sebagai alasan pentingnya pendidikan karakter.

Menurut Lickona, “karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior)”, yaitu karakter merupakan kelakuan baik didukung dengan pengetahuan yang baik dan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan yang baik.

Pendidikan karakter saat ini sedang menjadi perhatian dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai usaha secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal.

Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai, adapun metode yang tepat pada pendidikan karakter dalam pembelajaran adalah melalui keteladanan yang dicontohkan guru dan orang tua, metode pembiasaan, dan metode pujian serta hukuman. Untuk menerapkan metode tersebut perlu adanya komitmen pelaksanaan parenting education antara guru dengan orang tua yang diprakarsai komite sekolah serta didukung oleh regulasi dari pemerintah daerah.

*Dosen STAIN Gajah Putih Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.