Perlukah Penyuluh Pertanian Menulis?

oleh

Oleh : Fathan Muhammad Taufiq *)

Sebagai pejabat fungsional, setiap penyuluh pertanian memiliki tugas pokok yang melekat bidang tugasnya yaitu : (1) Meningkatkan pendidikan, (2) Mempersiapkan penyuluhan pertanian, (3) Melaksanakan penyuluhan pertanian, (4) Melakukan evaluasi dan pelaporan penyuluhan pertanian, (5) Mengembangkan penyuluhan pertanian, (6) Mengembangkan profesi penyuluhan pertanian. Dan salah satu ‘inti’ dari pengembangan profesi penyuluh pertanian adalah membuat karya tulis ilmiah. Artinya, disamping melaksanakan tugas pokok sebagai pendamping, pembina dan pembimbing petani, seorang penyuluh pertanian juga harus bisa mengembangkan profesionalisme dengan mengasah kemampuan melalui kegiatan pembuatan karya tulis ilmiah.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” itulah ungkapan yang pernah disampaikan oleh Pramaodya Ananta Toer, penulis kawakan di hegeri ini. Seorang penyuluh, setiap hari bergelut di lapangan, tentu banyak yang dilihat, didengar, dirasakan dan dilakukannya. Begitu juga sebagai aparatur pertanian yang mengemban tanggung jawab untuk mensejahterakan petani, tentu punya harapan-harapan untuk meningkatkan kualitas pelayanan penyuluhan yang dilakukannya. Itulah sebabnya, setiap penyuluh pertanian harus mampu menulis apa yang dilakukan dan apa yang diharapkan, karena bukan hal sulit bagi seorang penyuluh untuk mencari ‘bahan baku’ sebuah tulisan, karena setiap hari mereka sudajh menemukannya di lapangan..

Seperti kata Pramoedya, jika seorang penyuluh tidak pernah menulis, maka ketika dia memasuki usia pensiun, maka akan ‘finish’lah dia, tak ada yang dapat ditinggalkan untuk dikenang dan dimanfaatkan oleh petani, dan bukan tidak mungkin jasanya selama berpuluh tahun menjadi penyuluh akan segera dilupakan orang. Terkait dengan sustainable extension (penyuluhan berkelanjutan) yang menjadi ‘ruh’ dari pengembangan metoda penyuluhan, juga terkait erat dengan aktifitas menulis dari seorang penyuluh pertanian. Karena apa yang pernah ditulis oleh seorang penyuluh bisa jadi akan menjadi acuan pengembangan metode penyuluhan beberapa puluh tahun yang akan datang.

Penyuluh wajib menulis

Kalau dikaitkan dengan ‘payung hukum’ profesi penyuluh yaitu Peraturan menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 2/PER/MENPAN/2/2008, maka disana sudah tertera jelas bahwa menulis atau membuat karya tulis itu hukumnya wajib bagi semua penyuluh. Apalagi bagi mereka yang sudah mencapai jabatan penyuluh pertanian madya dengan pangkat Pembina (IV/a), sangat tidak dimungkinkan untuk naik ke jenjang pangkat yang lebih tinggi jika tidak pernah membuat karya tulis. Dalam PermenPAN tersebut dijelaskan bahwa bagi penyuluh pertanian berpangkat IV/a yang akan naik pangkat ke jenjang yang lebih tinggi, minimal harus mengumpulkan 12 angka kredit dari membuat karya tulis.

Sementara bagi para penyuluh dengan jabatan fungsional dibawah itu, sering ada asumsi keliru yang menganggap bahwa membuat karya tulis itu hanya merupakan tugas penunjang, padahal kalau disimak peraturan tersebut, disana jelas tertera bahwa pengembangan profesi penyuluh yang salah satu unsurnya membuat karya tulis adalah tugas utama penyuluh pertanian.Asumsi keliru tersebut akhirnya membuat para penyuluh pertanian yang belum mencapai jenjang jabatan penyuluh pertanian madya menjadi enggan untuk mulai menulis. Asumsi yang salah ini juga sering menjadi acuan bagi para penilai angka kredit penyuluh sehingga, karya tulis penyuluh (jika ada) sering dimasukkan sebagai unsur penunjang dalam penilaian angka kredit, ini yang harus segera diluruskan oleh pihak-pihak terkait. Kondisi ini jugamenjadi lebih ‘parah’, karena sebagian besar penyuluh yang masuk sebagai tim penilai angka kredit, ternyata juga tidak pernah menulis, sehingga pemahaman mereka tentang karya tulis juga acap kali keliru dan ini sangat merugikan penyuluh yang rajin menulis.

Yang kemudian menjadi realita di lapangan saat ini, para penyuluh senior yang sebenarnya memilki kepintaran dan keahlian spesifik, akhirnya harus puas dengan pangkat atau golongan ‘pamuungkas” IV/b. Padahal kalau mereka mau menulis satu kali sebulan saja, akan terbuka peluang mereka untuk menggapai karir puncak mereka dengan pangkat akhir Pembina Utama (IV/e).

Kementerian Pertanian yang nota bene sebagai ‘induk semang’ bagi para penyuluh pertanian, sejatinya sudah sejak lama menyediakan wahana menulis bagi para penyuluh pertanian. Sebut saja Tabloid Sinar Tani yang tahun ini sudah berusia 47 tahun, adalah sebuah media pertanian nasional yang efektif untuk ‘mewadahi’ karya tulis para penyuluh pertanian. Namun sampai dengan saat ini, penyuluh pertanian yang mau menulis di media ini masih dapat dihitung dengan jari. Begitu juga dengan media pertanian lainnya yang diterbitkan oleh Kemneterian Pertanian atau relasinya seperti Majalah Swa Daya, Majalah Ekstensia dan Majalah Online Cyber Extension yang membuka peluang seluas-luasnya bagi penulis untuk menyalurkan tulisannya, juga masih ‘sepi’ dari tulisan penyuluh.

Dengan kondisi demikian, agaknya masih ‘jauh panggang dari api” untuk menyebut penyuluh itu sebagai professional sejajar dengan profesi lainnya seperti Widya Iswara, Dosen, Peneliti dan sebagainya. Karena syarat utama seorang penyuluh bisa dianggap professional adalah jika dia mampu melakukan pengembangan profesi dan salah satunya dengan menghasilkan banyak karya tulis yang terkait dengan bidang tugasnya.

Pelatihan menulis hanya sebagai ‘pemicu’

Di tingkat pusat, Kementerian Pertanian sudah beberapa kali menggelar pelatihan menulis bagi penyuluh pertanian, begitu juga beberapa balai diklat pertanian yang berada dibawah Kementerian Pertanian juga pernah menggelar pelatihan serupa. Namun karena jangkauan pesertanya masih sangat terbatas, maka dampaknya juga belum terlikhat secara signifikan. Beberapa pemerintah daerah juga sudah mulai menggelar pelatihan menulis maupun pelatihan jurnalistik bagi para penyuluh pertanian, namun kapasitasnya juga masih sangat terbatas.

Namun sejatinya bermacam pelatihan menulis yang telah dilaksanakan baik oleh Kementerian Pertanian, balai-balai diklat pertanian maupun pemerintah daerah, hanyalah sebagai ‘pemicu’ motivasi menulis bagi penyuluh pertanian. Karena pada akhirnya semua kan kembali kepada minat, keinginan dan kemauan dari para penyuluh sendiri untuk mengembangkan profesi mereka. Jika tidak ada motivasi dari penyuluh sendiri, sebanyak apapun pelatihan digelar, juga tidak akan ada manfaatnya. Dan fenomena inilah yang kemuadian menjadikan profesi penyuluh pertanian masih ‘dipandang sebelah mata’, bukan karena masyarakat tidak menghargai para penyuluh pertanian, tapi mereka sendirinlah yang tidak mau menghargai profesi mereka sendiri. Buktinya, peluang sudah terbuka seluas-luasnya, namun hanya sedikit sekali penyuluh yang mau dan mampu mengembangkan profesi mereka. Sampai kapankah kondisi seperti ini akan terus berlangsung?, semua kembali kepada ‘nawaitu’ para penyuluh sendiri.,

“Tidak ada kata terlambat dalam belajar bagi penyuluh pertanian yang merupakan ujung tombak pemberdayaan petani wajib hukumnya untuk meningkatkan kapasitas diri khususnya dalam menulis karya ilmiah,” begitu yang sering terdengar dari para petinggi pertanian di negeri ini. Namun apalah arti sebuah himbauan, jika yang dihimbau justru mengabaikannya..

*) Staf Dinas pertanian Aceh Tengah, pemerhati bidang pertanian, penyuluhan dan ketahanan pangan, penulis dan contributor artikel pertanian di berbagai media cetak dan online.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.