Catatan Win Wan Nur

SELAIN Lokop, Kalul adalah satu wilayah Gayo yang terisolir dari wilayah-wilayah Gayo lainnya. Sama seperti Lokop, Kalul yang terisolasi dari saudara-saudara Gayo-nya juga mengalami sejumlah persoalan akibat sulitnya berinteraksi dengan saudara-saudara dalam lingkup budayanya.
Tapi berbeda dengan Lokop yang karena secara budaya berbeda dengan suku mayoritas di kabupatennya, kemudian mendapatkan diskriminasi secara sosial dan ekonomi. Kalul relatif tidak merasakan diskriminasi itu. Terutama sejak Aceh Tamiang (Tempat suku Gayo Kalul berdomisili) dimekarkan dari Aceh Timur.
Bisa jadi ini terjadi karena dalam komposisi etnis di Aceh Tamiang, mayoritas 60% adalah suku Melayu. Suku melayu inilah yang mendominasi pemerintahan.
Masalah utama yang dialami oleh warga Kalul lebih kepada identitas ke-Gayo-an yang terancam hilang. Sebagai gambaran, bagaimana parahnya ancaman atas hilangnya identitas Kegayoan di dalam masyarakat Gayo Kalul. Bisa penulis rasakan saat berbincang dengan Bapak Drs Ilyas Mustawa, Ketua MPU Aceh Tamiang yang merupakan wakil dari Gayo Kalul dalam seminar “Asal Usul/Budaya Gayo” yang diselenggarakan di Gayo Lues 25-26 November 2014.
Ketika itu beliau menanyakan pada penulis mengatakan berasal dari Isak. Biasanya, kalau penulis mengatakan ini. Biasanya akan dilanjutkan dengan pertanyaan, di Isak di kampung apa?, anak siapa? Atau minimal mengangguk dan mengatakan ‘Ooo’.
Kenapa demikian?
Itu karena, dari sekian banyak kampung di Gayo, ada tiga kampung yang sangat akrab dan bisa dikatakan dikenal oleh semua urang Gayo. Pertama Linge dan kedua Serule. Kedua kampung ini sangat dikenal karena selalu disebut ketika orang Gayo menceritakan asal-usulnya. Sebutan “Asal Linge Awal Serule” dikenal oleh Urang Gayo.
Kampung ketiga adalah Isak. Kampung ini dikenal karena kisah Muyang Mersa dan anak-anaknya yang dipercaya menjadi raja-raja di penjuru Aceh. Salah satu anak Muyang Mersa yang terkenal adalah Datu Merah Mege. Bisa dikatakan, semua orang Gayo mengenal cerita ini.
Jadi, siapapun yang mengaku orang Gayo pasti tahu Isak.
Tapi, ketika saya menjawab seperti itu, respon dari Pak Ilyas adalah. “Maksud saya dari kabupaten mana?, Aceh Tengah, Bener Meriah atau Gayo Lues?”
Saya sempat terdiam dan mengira si bapak sedang bercanda. Tapi ketika saya perhatikan lagi sama sekali tidak ada tanda-tanda bercanda dalam pertanyaan si bapak. Beliau benar-benar tidak familiar dengan nama Isak dan benar-benar serius ketika menanyakan saya berasal dari kabupaten mana.
Itu artinya apa ?, seumur beliau saja sudah tidak tahu lagi cerita Datu Merah Mege, Muyang Mersa dan ‘sejarah’ penting Gayo lainnya. Apatah lagi generasi di bawahnya. Budaya Gayo di Kalul, benar-benar dalam bahaya, malah bisa dikatakan sudah di ambang kepunahan.
Maka tidak heranlah ketika Pak Ilyas mendapat kesempatan berbicara pada satu sesi seminar. Beliau dengan nada keras dan volume maksimal mengatakan di depan seluruh peserta.
“Ni kami I Kalul?, Saman nge osop, Bines nge Tumpes” ( Untuk kami di Kalul, Saman sudah hilang, Bines sudah Tumpas). Kemudian beliau melanjutkan.
“Betih kam ke seni sana seni ni kami?…KEYBOARD MAK LAMPIR!!!” (Tahukah kalian apa kesenian kami sekarang?…Keyboard Mak Lampir!!!)
Semua peserta seminar terdiam. Pak Ilyas kemudian melanjutkan ceritanya, tentang bagaimana sulitnya urang Gayo Kalul melawan serangan budaya luar. Bahasa Gayo Kalul perlahan tapi pasti mulai menghilang, semakin hari semakin sedikit yang menggunakan. Bahasa Gayo yang masih tersisa dan sering digunakan pun sudah banyak terkontaminasi bahasa luar, bercampur dengan bahasa jawa, aceh dan melayu.
“Kalau situasi ini terus kalian diamkan, dalam beberapa tahun lagi Gayo Kalul akan hilang dari catatan peradaban”, lanjut beliau.
Satu-satunya alasan kenapa ini terjadi, tidak lain karena tidak adanya akses transportasi langsung antara Kalul dan wilayah Gayo lainnya. Padahal, kalau kita perhatikan pada Peta, jarak Kalul dengan Gayo Lues hanya sekitar 40-an kilometer.
Secara pribadi hal ini disampaikan oleh Pak Ilyas kepada bupati Gayo Lues, dan kabarnya bupati Gayo Lues berjanji akan memperjuangkannya. Sebab, kalau mengharapkan inisiatif dari pemerintah Provinsi. Pembangunan jalan dari Kalul ke Gayo Lues hampir mustahil bisa dibangun. Sebab alasan pembangunannya bukan karena pertimbangan ekonomi, yang menjadi alasan setiap pembangunan infrastruktur selama ini. Kepentingan pembangunan jalan ini lebih kepada urusan penyelamatan budaya.
Selain mengusulkan pembangunan jalan ini. Ibnu Hasyim, bupati Gayo Lues juga berjanji akan berkunjung ke Kalul, bersama tim muspida, membawa rombongan Saman dan Bines. Bupati juga berjanji akan mengirimkan pelatih Saman dan Bines ke Kalul, supaya generasi muda Kalul tidak kehilangan identitas karena tercerabut dari akar budaya warisan nenek moyangnya.
*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo