[Cerpen] Sarjana dari Kampung Rawa Menggali

oleh

New Picture (6)Darmawansyah, S.Pd.I*

Kabut berselimut dingin menusuk tulang saat bangun dari ranjang, kenikmatan tidur setelah terlelap dan bangun di pagi hari. Matahari bersinar, siul bersahutan burung merayap di dahan rindang sebagai pertanda pagi yang datang menuju siang.

Aku menikmati mentari yang hinggap di dedaunan, memancar bak pelangi di saat hujan reda. Sinarnya begitu indah, seolah memandang wujud indah sang pemilik keindahan alam saat cuaca cerah tidak berembun dan tidak berawan.

Kini aku harus pergi mencari secercah pengetahuan demi mewujudkan cita-cita. Ayah dan ibu yang sedang bersiap pergi ke kebun mencari rizki bagi kehidupan esok. Kuucapkan salam dan berpamit. Kadang jalannan kering dan kadang berlumpur, tergantung cuaca yang berubah-ubah.

Berhitung, membaca dan menulis itulah materi yang selalu aku terima dari lembaga pendidikan di pojok sebuah desa yang jauh dari tempat tinggalku. Perkebunan dan semak belukar menjadi wahana yang indah dalam perjalanan ke sekolah, siulan burung hutan dan sahutan moyet-moyet kadang menjadi teman dalam perjalananku.

Tidak banyak yang mengecam pendidikan dari generasi muda di kampungku. Selama bertahun aku mengikuti pendidikan dari jenjang yang paling dasar hingga ke jenjang yang tinggi. Mereka hanya menjadi petani dan tekun menjadi petani, sudah dua puluh lima tahun umurku, petani dan pertanian adalah program utama dari kehidupan yang berlangsung di kampung Rawa Menggali tempat tinggal dan tanah kelahiranku.

Tak banyak orang yang menyukai keluarga kami. Tidak penting pendidikan dalam pandangan mereka, pertanian dan petanilah yang penting, apa yang terlihat merupakan ketergantungan pada pertanian tidak ada pada tulis baca. Itulah pandangan mereka pada dunia pendidikan, dan memang jarak sekolah dengan perkampungan kami pun tidak dekat. Pagi hingga sore hari mereka habiskan di wilayah perkebunan, tua, muda dan anak-anak selalu pergi ke kebun sepanjang hari tidak lain yang mereka cari adalah uang, pakaian dan makanan. Demikianlah tradisi yang berjalan di perkampungan kami.

Pendidikan merupakan hal tabu dan tidak menghasilkan serta tidak menjadi penolong bagi kehidupan pertanian mereka. Cangkul, golok dan tenaga menjadi usaha yang penting untuk meraih kelangsungan hidup. Demikianlah susahnya hidup di pinggiran hutan tropis dengan kondisi tanah yang subur. Demikianlah gambaran yang diungkapkan oleh Sosiolog Muslim pengarang buku Mukaddimah Ibnu Khaldun, beliau menyatakan “orang cerdas mayoritas berasal dari wilayah yang tandus dan tidak memiliki lahan subur sedangkan mayoritas orang bodoh berasal dari wilayah yang subur dimana dengan mudah ditemukan bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari.”

Demikianlah gambaran Kampung Rawa Menggali dengan lahan yang subur lagi baik, dengan penduduk yang tidak mementingkan pendidikan selain makanan untuk mengenyangkan perut semata.

Selama bertahun penduduk kampung menganggap aku sebagai orang aneh yang tidak dapat menjadi penopang keluarga dikemudian hari, karena tidak mampu menjalankan pertanian dengan baik. Ocehan yang keluar selalu terngiang ditelingaku, teman sebayaku selalu berkata

“apa guna kupu-kupu penghias keluarga tak berguna hingga tua, pendidikan yang diraih hanya menghabiskan harta benda”, komentar yang selalu keluar dari kata-kata teman sebayaku.

Puluhan tahun aku mengabdi menjalani pendidikan demi meraih cita-cita yang aku gantungkan di kala aku kecil dulu “guru”, cita-cita yang mulia pembawa berkah keluarga di kemudian hari baik duniawi maupun ukhrawi menyeberangkan keluarga dari lahan yang tertindas dengan kebodohan menuju lahan subur dengan pengetahuan dan ilmu yang aku raih dari pendidikan bertahun lamanya.

Saat zaman telah berubah, pembangunan terus melaju, mata dunia terus terbuka hingga masuk ke kampungku. Penduduk mulai melongok pada perubahan dunia dan kini mereka sadar akan dunia di luar. Sebagian masyarakat melihat dunia luar melalui televisi, “tercengang”. Itulah kata yang cocok buat mereka.

Aku pergi meninggalkan kampung halaman, merajut asa menjelajah bumi merambah wahana, menapaki jalan meraih cita-cita. Kini teringat aku akan lembah tempat tinggal dimana dibesarkan, sejengkal tulang menjadi manusia yang mengenal alam. Melangkah kembali mencoba melirik kampung halaman nun jauh di mata dekat di hati, menatap sepi di ujung negeri menggapai dedaunan nan hijau berseri memantulkan mentari bak pelangi di sebalik bukit lembah hijau gelap berdecit ranting beradu saat angin bertiup membalikkan gerak pohon di siang hari.

Rawa Menggali, sebuah desa pribumi berjarak puluhan kilo meter dari pusat kota, sebuah intan permata, lembah bumi penumbuh tanaman penikmat raga peningkat nafsu hewani tuk melangsungkan hidup merayap masa. Mata tertuju pada gubuk tua di bawah rindangnya dedaunan pohon mangga dan durian yang menunggu panen di musim ini. Dari langkah kaki menuju ujung negeri mengait ranting menyinsingkan celana menapaki jalan, langkahku menuju tempat di mana mimpi kugantung.

Kini, aku telah menggapai mimpi. Seonggok gelar sarjana menempel di ujung nama, Sarjana Pendidikan, sehingga namaku bertambah menjadi Salim Abdullah, S.Pd. Nama yang baik karena memang orang tuaku seorang yang sedikit mengerti agama yang diperoleh dari kakek dulu. Desaku hanya mendukung agama saja, bagi siapa yang mampu membaca Al-Qur’an, sudah baligh maka akan dinikahkan tak perlu pendidikan tinggi yang penting bisa tulis dan baca saja sudah cukup.

Mau jadi apa aku ini? Gelar sarjana telah aku miliki, ilmu sedikit telah aku kantongi, apalagi yang aku diamkan! jadi orang yang berdiri atau menjadi orang terus berevolusi merajut mimpi membalikkan Dunia Rawa Menggali menjadi Rawa yang penuh dengan budi dan wujud pelangi menyinari negeri. Langkah terus terpatri menapak jalan menuju pengabdian ilmu duniawi dan ukhrawi guna membangun negeri, meresapi tanah timbun ari-ari dan bumi tempat dimana aku tumbuh dan meletakkan mimpi yang tergantung jauh di ufuk bintang dan kini telah aku miliki.

  Kini aku kembali, berharap diri menghias indahnya lembah yang dulu penuh dengan onak dan duri, menepis kata “kupu-kupu tak berguna, hanya menghabiskan harta benda tidak mampu meningkatkan kedudukan keluarga”. Semua mata menatap, mengamati wujud insan yang dulu meninggalkan bumi tempat kaki berpijak tumbuh mengikuti fase tumbuh dan berkembangnya makhluk Allah yang paling mulia.

Semua kata menyapa, mengkaji masa lalu yang kelam ternyata tidak berguna, penyesalan tidak tumbuh diawal kata saat angan menghujam menetapkan masa dua, tiga dekade yang akan dihadapi pada tahun-tahun berikutnya. Wajah warga penuh rona, haru dan hampa mengingat masa dulu yang kelam akan generasi kini dengan ilmu dan skill menghadapi dunia.

Kupu-kupu rawa, wajah makhluk yang diabaikan saat menunjukkan keindahan kuasa Tuhan di dahan tangkai dedaunan serabut akar pohon nan menjulang, gemericik air mengalir melantunkan nada suara riuk nan damai di bawah bayang-bayang cahaya mentari begitu besar dari ciptaan Allah SWT. [SY]

*Penulis adalah Guru Pada MTs Negeri Jagong Kabupaten Aceh Tengah.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.