Gempa Gayo (bagian 5)
Catatan: Aman ZaiZa
LK ARA, lelaki itu terlihat tetap bersemangat, meski usianya tidak muda lagi. Semangat yang membara dalam dirinya itu membuatnya tak pernah berhenti berkarya. Laksana kata pepatah “makin tua makin ber isi” itulah sosok Lesek Keti Ara (LK Ara).
Matanya awas dalam melihat disekeliling, hal ini terlihat saat penulis menghadiri acara pameran foto amal “Pray for Gayo” yang diselenggarakan anak-anak fotografer yang tergabung dalam wadah Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh. Dari kejauhan, ia sudah melambaikan tangannya bertanda penyambutan.
Setelah berjabat tangan dan bertegur sapa menanyakan kabar masing-masing, kamipun makin larut dalam perbincangan. Ditanganya terlihat sebuah klipingan kumpulan puisi dari berbagai penyair nasional, internasional yang menyangkut gempa Gayo.
Ternyata puisi-puisi tersebut dikumpulnya dari berbagai postingan para teman dan sahabat yang bersimpati dan empati terhadap gempa Gayo. Satu persatu puisi yang berserakan di laman akun facebook dikumpulkannya menjadi ratusan buah puisi.
“Klipingan buku ini sudah diminta menko Polhukam saat ia berkunjung ke lokasi gempa, dan janjinya akan diserahkan ke Presiden,” ujar LK Ara.
Saat ini LK Ara terus berusaha untuk bisa membukukan klipingan puisi tersebut dalam sebuah buku yang nantinya akan berkolaborasi dengan foto-foto tentang gempa Gayo. Jadi dalam satu halaman itu akan ada foto dan puisi para penyair di seantero Indonesia ini.
Pada saat pembukaan pameran foto amal “Pray for Gayo” LK Ara dinobatkan membacakan ouisi karyanya di hadapan Wakil Walikota Banda Aceh Hj Illiza Sa’aduddin Djamal serta para undangan dan para masyarakat yang menghadiri lokasi ramadhan fair di Taman Sari Banda Aceh itu.
Saat itu, ada dua puisi yang dibacakanya yakni “Kampung Serempah” dan “Nisan Kertas”. Dua buah puisi yang amat menyentuh. Betapa tidak, dalam setiap bait yang ditulis, mengambarkan berapa pedih dan perih bencana gempa Gayo tersebut.
“Kampung Serempah” mengisahkan bagaimana daerah yang terparah kena dampak gempa 6,2 SR itu akan tinggal nama. Kampung yang tenggelam itu merupakan peringatan sang Khaliq bagi ummat manusia.
Kampung serempah akan tinggal nama
Yang tenggelam ke dalam bumi
Seperti ia tak suka tinggal disini
Bersama kita lagi
………….
Begitu LK Ara melukiskannya pada pertama puisi tersebut. Puisi yang dibuat di Blang Mancung pada 9 Juli 2013, bersamaan datanganya Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ke kawasan tersebut guna melihat masyarakat korban gempa yang mengungsi.
Dibagian akhir LK Ara menulisnya:
Kita hanya mencatatnya
Sebagai kenangan yang pernah ada
Pesawahan yang indah
Terletak disebuah lembah
Kita mengukirnya
Pada pohon atau batu
Sebagai tugu
Yang pada saatnya juga akan berlalu
Betapa dalam makna yang dinukilkan LK Ara. Namun kita semua tidak berharap, orang-orang akan lupa akan Serempah yang nantinya akan di relokasi ke lokasi lain yang tidak jauh dari perkampungan asal.
Pada puisi kedua, yang dibacakan LK Ara menggambarkan bahwa puing-puing longsor berupa batu dan kayu menjadi nisan para “syuhada gempa” yang tertimbun di dalammnya. Sebagaimana diketahui, hingga saat ini masih ada 6 warga Serempah yang belum diketahui keberadaannya dan jasadnya masih hilang bersama reruntuhan bersama kampung yang hilang.
LK Ara menggambarkannya dalam puisi yang diberi juduil “Nisan Kertas”:
Nisanku tak terbuat dari kayu dan batu
Lebih tak mungkin lagi dari batu pualam
Nisanku terbut dari kertas
Mungkin diambil dari lembar buku tulisku
Ketika aku dikubur
Orang sibuk mengurus diri sendiri
Musibah gempa sedang terjadi
Di negeri kami
Orang tuaku dan saudara dekat
Masih sempat mengubur mayat ku
Kelak mungkin orang bertanya
Siapa dikubur disini
Tak ada yang bisa menjelaskan
Aku hanya murid SD di Blang Mancung
Duduk di kelas lima
Belum punya karya apa-apa
Namaku Sabardi
Lebih cepat dipanggil ilahi
Karena sayang-NYA tak terperi
Ingin memelihara mataku yang muda
Untuk menyaksikan keonaran dunia
Begitulah LK Ara mengisahkan bagaimana nasib orang-orang yang dikuburkan dengan secara sederhana, tanpa ada nisan yang menandai makam syuhada gempa itu. Sungguh, Allah punya rencana lain akan musibah ini, tinggal kita memaknainya.
Apakah kita terus larut akan keserakahan, saling bermusuhan dan menjauhi segala perintah-NYA. Gayo adalah pilihan Allah, sebagai daerah yang senantiasa bangga akan kekayaan alam dan potensi pertaniannya terutama kopi.
Hanya rasa syukur dan selalu ingat kepada-NYA kita maknai bencana ini. Sekali lagi, Allah punya sekenario lain dari bencana ini, tinggal kita saja yang harus bisa membaca isyarat yang tersirat tersebut…bersambung