Oleh : Rizkan Abqa, S.M. MM*
Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, yang ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik bagi kehidupan dunia, maupun kehidupan akhirat.
Karena Islam merupakan rahmat, hidayah dan petunjuk bagi manusia yang menjalankan kehidupan duniawi, Islam merupakan agama yang telah sempurna dari agama yang sebelumnya.
Islam merupakan salah satu agama yang selalu memberi kemudahan terhadap umat-Nya. Namun terdapat beberapa aturan yang harus dipatuhi dalam melakukan segala sesuatu, dengan bertujuan agar umat muslim memiliki sikap sami„nȃ wa atha„nȃ dalam diri mereka.
Sami’nȃ wa atha’na merupakan suatu bentuk kepatuhan dan loyalitas. Setiap mukmin harus siap melaksanakan segala perintah Allah swt dan mejauhi segala larangan-Nya, mukmin yang sejati memiliki sikap Sami’nȃ wa atha’na (kami dengar dan kami patuh) . Allah swt berfirman:
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). (Q.S. An-Nisa : 59)
Dari ayat tersebut, dapat diketahui bahwa Allah swt menerangkan dengan jelas betapa Sami’nȃ wa atha’na sangat penting dan perlu dijadikan sebagai komitmen hidup bagi setiap Muslim. Didalam Al-Qur‟an terdapat 4 ayat yang membahas tentang Sami’nȃ wa atha’na diantaranya yaitu :
Artinya : Rasul (Muhammad) beriman pada apa (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang mukmin. Masing-masing beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata,) “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Mereka juga berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, wahai Tuhan kami. Hanya kepada-Mu tempat (kami) kembali. (Q.S. al-Baqarah :285 )
Artinya : Ingatlah nikmat Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah Dia ikatkan kepadamu ketika kamu mengatakan, “Kami mendengar dan kami menaati.” Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (Q.S. al-Maidah :7)
Dalam sikap Sami’nȃ wa atha’na yang memiliki arti kami mendengar dan taat. Hal tersebut merupakan sikap yang harus dimiliki seorang muslim dengan ketundukan jiwa dan kerendahan hatinya, sikap Sami’nȃ wa atha’na seseorang ditandai dengan karakter selalu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah swt.
Dan mereka juga meyakini bahwa Allah swt Maha Benar dan Ia berjanji akan memberikan keberuntungan kepada orang-orang yang memiliki sikap tersebut sebagaimana dalam firman Allah swt :
Artinya: Sesungguhnya yang merupakan ucapan orang-orang mukmin, apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar ia memutuskan (perkara) di antara mereka hanyalah, “Kami mendengar dan kami taat. ”Mereka itulah orang-orang beruntung. (Q.S an-Nur :51)
Adapun di dalam ayat yang lain apabila seseorang itu muslim atau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mengetahui, paham, bahkan mendengar peraturan Allah swt, namun mereka tetap tidak mau menaati perintah-Nya, maka mereka itu termasuk ke dalam golongan orang-orang munafik.
Penyebab dari hal tersebut bisa terjadi karena masih lemahnya iman seseorang serta ditambah dengan adanya hawa nafsu dan bujukan setan.
Karenanya, banyak seseorang muslim mengaku beriman tapi sering mengabaikan aturan Allah swt dan lebih memilih aturan lain atau kehendak hawa nafsu sendiri. Seperti firman Allah swt yang berbunyi:
Artinya: Di antara orang-orang Yahudi ada yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, “Kami mendengar, tetapi kami membangkang.” (Mereka mengatakan pula) “Dengarkanlah,” sedangkan (engkau Nabi Muhammad sebenarnya) tidak mendengar apa pun. (Mereka mengatakan,) dengan memutarbalikkan lidahnya dan mencela agama. Seandainya mereka mengatakan, “Kami mendengar dan patuh. Dengarkanlah dan perhatikanlah kami,” tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat. Akan tetapi, Allah melaknat mereka karena kekufurannya. Mereka tidak beriman, kecuali sedikit sekali (Q.S. an-Nisa :46)
Sikap Sami’nȃ wa atha’na telah dicontohkan oleh para sahabat dalam kisah tentang larangan khamar yaitu disebutkan dalam riwayat Ahmad bahwa terkait dengan pelarangan khamar, Allah swt menurunkan tiga tahapan peringatan.
Pada tahap pertama, Allah swt menjelaskan bahwa khamar mengandung beberapa manfaat dan dosa besar, tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya . Allah swt berfirman:
Artinya : Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” Mereka (juga) bertanya kepadamu (tentang) apa yang mereka infakkan. Katakanlah, “(Yang diinfakkan adalah) kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir (Q.S. al-Baqarah: 219).
Pada tahap kedua, Allah swt melarang para sahabat untuk shalat dalam keadaan mabuk :
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub). Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S. An Nisa :43)
Pada tahap ketiga, Allah swt melarang khamar secara keseluruhan :
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. (Q.S Al-Maidah : 90 )
Ketika turun ayat pelarangan khamar tersebut, para sahabat kemudian menumpahkan semua khamar yang mereka simpan di jalanan kota Madinah bahkan menjadi becek karena banyak khamar yang dibuang.
Mereka bersedia melakukan hal tersebut, padahal khamar yang berbahan baku dari air kurma ini menjadi komonitas perdagangan dan tabungan bagi masyarakat Madinah. Pada saat yang sama, mereka menyatakan, “kami tidak akan melakukannya lagi, ya Allah”.
Dewasa ini kita bisa melihat jika peristiwa itu terjadi pada umat Islam saat ini, tentu akan sangat berbeda karena banyak pihak yang menolaknya.
Mereka akan membuat berbagai macam alasan agar bisa menunda atau bahkan membatalkan keputusan pelarangan khamar, apalagi jika pelarangan tersebut bertentangan dengan kepentingan perekonomian sehingga mereka akan bangkrut karena harus menutup usaha mereka, terlebih lagi bagi pengonsumsi karena mereka sudah mulai kecanduan dan akan sangat keberatan dengan larangan-larangan tersebut.
Akan tetapi, para sahabat tidak berlaku demikian karena merekalah teladan dalam menyikapi hukum Allah swt dan Rasulullah saw, sikap yang menunjukkan kepasrahan mereka terhadap aturan syariat karena memiliki sikap sami’na wa ath’na di dalam diri mereka dan mereka para hamba yang sejati yang menghambakan dirinya sepenuhnya hanya kepada Allah swt.
Dewasa ini begitu banyak masyarakat muslim Indonesia sangat mencintai dan mengagumi Al-Qur’an, hanya saja sebagian dari mereka itu hanya kagum pada bacaan dan lantunan dengan menggunakan suara merdu.
Sebenarnya bacaan dan lantunan Al-Qur’an harus disertai dengan pemahaman dan penghayatan dengan menggunakan akal dan hati untuk mengungkapkan pesan-pesan yang terkandung di dalam Al-Qur’an yang memberikan banyak motivasi agar manusia merenungi kandungan-kandungannya dengan cara memberdayakan akal pikirannya.
Kami dengar (ya Allah), dan kami taati. Inilah makna dari kalimat sami’na wa ath’na. Makna yang harus dipahami oleh kita sebagai seorang hamba. Jangan sampai kita hanya sami’na saja namun tidak atha’na.
Apalagi dengan tidak sami’na sama sekali. Iblis misalnya, ia mendengar (sami’na) ketika Allah perintahkan untuk sujud kepada nabi Adam, namun, iblis tidak mentaatinya (atha’na). Iblis berdalih bahwa penciptaannya dari api lebih mulia ketimbang Adam yang diciptakan dari tanah, sehingga karena ketidaktaatannya itu, membuat iblis keluar dari Surga, dan menjadi makhluk yang terkutuk.
Cukuplah Iblis yang seperti itu, dan menjadi bahan pembelajaran bagi kita. Kita sebagai seorang muslim, sami’na wa atha’na adalah kewajiban kita yang harus dilaksanakan.
Setinggi apa pun jabatan, pangkat kita, seluas, dan sedalam apa pun ilmu yang kita miliki, ketika kita berhadapan dengan arahan dari Allah swt (Al Qur’an), maka tugas kita sepatutnya adalah sami’na wa atha’na (kami mendengar ya Allah, dan kami taati).
Semua itu sudah dalam “konsep” Allah swt yang sangat luar biasa, dan tidak bisa diketahui oleh makhluknya secara pasti, kecuali hanya sebatas asumsi saja. Namun, yang jelas semua itu pasti ada maslahat (kebaikannya).
Wallahu a’lam bish-shawabi.





