Oleh : Rizkan Abqa, S.M.,M.M*
Sesungguhnya muara segala urusan manusia di dunia ini tidak lain hanyalah untuk menyembah Allah SWT dan beribadah dengan ikhlas kepada-Nya. Diturunkannya Al-Quran serta diutusnya para Nabi dan Rasul adalah untuk memberi petunjuk jalan agar manusia kembali kepada Penciptanya.
Petunjuk jalan itu menjelaskan kepada manusia tentang ibadah dan hakekatnya serta akibat dari mendustakannya. Sebagaimana petunjuk yang terdapat dalam firman Allah SWT.
Artinya: disebutkan, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku”. (Q.S Adz Dzariyat : 56)
Secara sistemik, ibadah manusia terbangun atas tiga ranah. Pertama, Bangunan Simbolik, yaitu segala aktivitas ibadah yang harus ditampakkan keberadaanya serta disyi’arkan, karena ia merupakan bendera atau simbol Islam yang tanpanya akan memudarkan eksistensi Islam di bumi di mana ia berada.
Merubuhkanya berarti pula merubuhkan agamanya. Islam dibangun di atas lima pondasi, persaksian bahwa tiada Tuhan yang haq disembah melainkan Allah SWT serta Muhammad SAW utusan Allah, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan”. (HR Bukhari dan Muslim).
Pada ranah ini banyaklah umat Islam yang menyambutnya serta sanggup menunaikannya bahkan dari hari ke hari semakin bertambah kuantitasnya. Kita pun mendengar dan menyaksikan bahwa fenomena pertambahan kuantitas ini telah meluas hingga ke berbagai negeri.
Namun dari ibadah yang telah kita tunaikan dan juga disambut oleh sekian banyak saudara-saudara kita umat Islam tersebut perlu kita kritisi tentang seberapa besar nilai atau kualitas yang diperolehnya Apakah tunainya ibadah kita berimplikasi kepada bagusnya karakter akhlak kita sebagai seorang Muslim yang sebenarnya.
Berkenaan dengan hal ini, Nabi SAW telah menyampaikan tausiyah agar menjadi tadzkirah (peringatan) bagi kita. “Berapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga”. (HR Nasa’i dan Ibnu Majah)
Allah SWT berfirman :
Artinya: Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (Al- ankabut: 45)
Apakah shalat yang kita kerjakan dengan rajin itu bahkan ditambah dengan qiyamullail (shalat malam) setiap malam, sudah mencegah kita dari segala perbuatan yang dilarang agama?
Apakah puasanya sudah mampu menghadirkan pengendalian dirinya? Apakah zakat, infaq dan shadaqah telah membuat kita senantiasa mensyukuri nikmat-Nya dan menafkahkan dengan ikhlas di jalanNya?
Haji yang telah kita tunaikan telah membuat kita rela berkorban, ikhlas, memurnikan beribadah kepadaNya? dan seterusnya. Semestinya umat Islam tidak berhenti kepada perilaku rutinitas simbolik semata, sekalipun itu baik, namun harus mampu memaknainya sehingga menjadi lebih baik dan berkualitas dengan cara melangkah kepada tahapan bangunan berikutnya.
Kedua, Bangunan Substansi, yaitu menjalankan ibadah dengan khusyuk serta memaknainya dengan sepenuh perhatian. Ibadah demikian menjalinkan komunikasi dengan Penciptanya, sehingga ia pun melakukannya dengan penuh ketundukan kepada Allah SWT.
Inilah yang menjadikan jiwa manusia menemukan kedekatan dengan Tuhannya, maka ketenangan serta kebahagiaan pun akan dapat diraihnya. Allah SWT berfirman:
Artinya : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Q.S. Ar Ra’du: 28).
Ibadah pada tahapan demikian akan menuntut para pengamalnya untuk senantiasa muhasabah dan melakukan tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa).
Sehingga muncul sikap penjagaan dan pengendalian diri, serta hati-hati apakah amalnya akan menghantarkan ke surga ataukah ke neraka, apakah menimbulkan kemaslahatan ataukah kemudharatan, apakah sunnah ataukah bid’ah, apakah Islam ataukah jahiliyah, dan seterusnya.
Jika dirinya berbuat salah segera memperbaiki diri, jika berbuat dosa ia akan segera istighfar dan bertaubat, jika dinasihati ia mendengar dengan baik, jika menasihati ia pun mawas diri. Ia pun akan membenahi sisi-sisi pemahamannya yang dirasa kurang selaras dengan tuntutan Islam, serta membenahi sisi ibadahnya yang dirasa kurang selaras dengan tuntunan.
Sikapnya menjadi dewasa, jiwanya matang. Ia pun akan segera mengetahui apakah kekurangan dan kelebihannya dalam diri dan agamanya. Ibadah sedemikian inilah yang akan berdampak kepada karakter (akhlaq) serta menghadirkan kekuatan jiwa.
Ketiga, Bangunan Esensi, yaitu pemahaman yang mampu menghadirkan kesimpulan serta menemukan hakikatnya. Setelah menemukan kematangan jiwa, ia pun dapat menganalisa dan mampu menarik kesimpulan dari seluruh aktivitas ibadahnya. dan akan menemukan apa yang selama ini hilang dicari baik oleh dirinya maupun kebanyakan manusia pencari kebenaran dan hakikatnya.
Kesaksiannya syahadat, salat dan zakatnya, puasanya, serta hajinya, dan seluruh tugas ibadah yang dibebankan Pencipta kepada hamba-Nya adalah sebuah tali penghubung dan pengendali antara makhluk dengan Khaliqnya (hablu-minallah), serta merupakan tali penghubung yang sangat kuat antara sesama manusia (hablu-minannaas), dan tali tersebut tak boleh terputus sama sekali.
Selama tali tersebut masih terhubung, maka keserasian, keselarasan, kesatuan dan keutuhan manusia akan terjaga dalam naungan dan bimbingan Allah SWT serta terjalin kedamaian sesama manusia. Maka hal ini akan kembali selaras dengan makna Islam yaitu damai, serta selaras dengan visi ibadah dalam Islam yaitu untuk terwujudnya kedamaian rahmatan lil’alamin.
Wallahu a’lam bish-shawabi.