Oleh : Marah Halim*
Media mengangkat berita hukum bertajuk “Terkait Hibah ke Instansi Vertikal, YAC Minta Mendagri Tegur Bupati Aceh Tengah”. Berita seperti ini tentu mengundang kontroversi. Kontroversi menggiring publik pada dua pihak, setidaknya, atau mungkin juga ada pihak yang “abstain”.
Merangkai tulisan ini, penulis pribadi tidak untuk menempatkan diri pada pihak pro atau kontra, dan kita perlu mengapresiasi YAC yang telah meng-highlight isu ini. Anggaplah ini sebagai rasa sayang anak kepada orang tuanya demi saudara-saudaranya.
Langkah ini juga mengindikasikan berfungsinya elemen masyarakat sipil sebagai salah satu pilar good governance
Juga kepada pemerintah daerah, dalam hal ini Kepala Daerah, kita berharap koreksi dari YAC ini diterima dengan sikap legawa, nobody is perfect, kata orang Inggeris. Sebagai orang tua juga diharapkan tidak bersikap a priori apalagi superior terhadap anak-anaknya.
Sebagai urusan “keluarga”, masalah akan terus ada, dan menduduki posisi orang tua artinya kesiapan menghadapi dan menyelesaikan masalah.
Perspektif Sesajen
Adakalanya untuk menyikapi atau langkah politis kepala daerah kita memerlukan ruang pandang yang menyeluruh untuk menyimpulkan bahwa tindakan A atau tindakan B akan mengarah pada pelanggaran atau bahkan kejahatan menurut hukum.
Misalnya masalah ini kita pandang dari optik ketatanegaraan dan administrasi negara, eksistensi dan fungsi pemerintah daerah kabupaten/kota sangat subordinat.
Di atasnya ada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat yang menempatkan hampir semua organnya di wilayah kabupaten/kota, tujuannya sama, menilai dan mengevaluasi kerja kepala daerah beserta perangkat daerah.
Posisi pemerintah daerah, dengan seabrek masalah konkrit yang dihadapinya, alih-alih menjadi subyek yang merdeka dalam mencari solusi, justru menjadi obyek pengawasan, bukannya pengawasan melekat, justru pengawasan berlapis.
Dalam pergaulan birokrasi, pola hubungan hierarkhis seperti ini menimbulkan gejolak psikologis sendiri. Representasi dari organ superior akan selalu merasa di atas angin bahkan terhadap sekolam organ inferior, berapapun jumlah dan betapapun tinggi jabatannya di level daerah.
Hal ini telah terbukti baru-baru ini saja tatkala keluar putusan Pengadilan Tipikor yang menimpakan hukuman paling menyakitkan bagi seorang ASN (pns), apalagi yang telah berkarir puluhan tahun.
Terhadap hukuman yang menyakitkan itu, bahkan selevel pembina kepegawaian di daerah pun tak berdaya mencegahnya. Kesan yang kuat terasa adalah mereka ditumbalkan justru untuk kelatahan para pembinanya sendiri.
Berhadapan dengan representasi organ Pusat itu, kesatuan organ daerah tak ubahnya seperti domba-domba yang kucar-kacir manakala serigala melolong.
Belum lagi jika serigala senior meminta tumbal, maka yang diincar adalah domba-domba yang lemah dan lengah; sementara yang sedikit lebih lincah mungkin selamat untuk sementara, tetapi hanya menunggu lengahnya saja.
Fenomena “hukum rimba” seperti itu telah terbaca oleh komunitas persilatan birokrasi daerah. Karena itulah, memaknai tindakan A atau B yang diambil Kepala Daerah, mungkin saja itu hanyalah sebagai “sesajen” untuk sekedar menyenangkan organ pengawas dan penghukum; daripada ia meminta tumbal.
Pawang
Realitas sebagai daerah tidak mungkin untuk diubah, setidaknya dengan sistem politik dan ketatanegaraan kita saat ini. Tapi “the show must go on”, dunia persilatan birokrasi akan terus berjalan selama eksistensi negara masih ada, karena itu yang harus terus diasah dan ditempa adalah “seni bela diri”.
Selain kompetensi yang tertulis dalam perundangan, menjadi Kepala Daerah di Kabupaten/Kota juga harus dibarengi dengan kompetensi bawaan lain, yaitu kompetensi sebagai pawang.
Pawanglah yang bisa berkomunikasi dan menjinakkan binatang buas. Mereka bisa menjinakkan ular, serigala, gajah bahkan harimau. Pawang adalah soft skill, keterampilan penting dalam teori kepemimpinan saat ini.
Tidak mungkin hutan tanpa binatang buas. Binatang jinak pun akan menjadi binatang buas manakala ia menyadari adanya “kekosongan” peran binatang buas. Menjadi pawang adalah seni, seni tidak muncul dalam satu hari, tetapi terlatih secara alami sebagai kompetensi dan kelebihan.
Sebagai pawang juga pasti terus-menerus dicurigai menyimpan daging, meski daging sudah terbagi habis. Yang curiga bukan hanya predator, bahkan kecurigaan dari unggas-unggas piaran yang sejatinya telah diberi jatah, tetapi ya begitulah. []