Oleh : Dr. Marah Halim, MH*
Dalam tulisan sebelum ini penulis mencoba membuat analogi SKPD-SKPD Aceh Tengah ibarat armada bus PT. Aceh Tengah. Ada banyak ‘bus’ dengan muatan (urusan yang diselenggarakan) masing-masing; semuanya “mengangkut” kebutuhan masyarakat Aceh Tengah.
Agar muatan sampai di tujuan dengan selamat, tentu saja setiap bus harus dioperasikan oleh supir dan kernet yang profesional.
Memilih supir dan kernet juga bukan perkara mudah bagi “Direktur PT. Aceh Tengah”. Berbagai faktor internal dan eksternal bisa saja memaksa Bupati/Wakil Bupati memilih supir dan kernet bukan yang terbaik, namun risiko yang harus ditanggung nantinya adalah nasib bus dan muatannya ibarat pepatah Arab “wujuduhu ka ‘adamihi”, ada tetapi seperti tidak ada.
Terkait : Seleksi “Supir dan Kernet” Bus Aceh Tengah
Meski ada banyak bus yang harus dioperasikan sesuai amanah otonomi daerah, sebagai top manager Kepala Daerah harus ada prioritas; bus mana dengan supir siapa yang didahulukan dan dibebankan harapan lebih untuk berhasil.
Kita belum bisa melihat seperti apa visi-misi pasangan HAMAS dijabarkan menjadi RPJM selama 5 tahun masa jabatannya, namun dari sejumlah pernyataan yang dikutip media sekilas kita mendapat gambaran bahwa salah satu yang menjadi prioritas adalah pengembangan wisata Danau Laut Tawar (DLT) dan Aceh Tengah.
Jika benar wisata DLT menjadi prioritas utama RPJM Hamas, tentu harus disambut dengan antusias. Sebelum era Hamas, beberapa pemimpin daerah sebelumnya yang sebagian nota bene lahir dan besar di pinggiran DLT, namun di masanya wisata DLT bukan prioritas; ada yang memprioritaskan sektor peternakan karena ybs alumnus pertanian, ada juga yang bergaya simultan tanpa prioritas sektor tertentu; entahlah.
Wisata DLT adalah jati diri masyarakat Aceh Tengah. Me-mainstream-kan wisata DLT sesungguhnya ibarat burung kembali ke sarangnya.
Selama ini, segenap komponen masyarakat Aceh Tengah lebih memilih mem-branding diri dan daerahnya sebagai penghasil kopi Gayo terbaik, padahal penghasil kopi di Aceh dan di Indonesia bukan hanya Aceh Tengah, masih banyak daerah lain.
Periorisasi wisata DLT bisa dikatakan sudah sangat-sangat terlambat. Namun, better late than never, masih lebih baik terlambat daripada tidak pernah sama sekali.
Silih berganti kepala daerah di Aceh Tengah sepertinya belum terpanggil untuk menjadikan wisata DLT sebagai ‘mesin uang’ daerah.
Agar misi periorisasi “Bus Pariwisata Aceh Tengah” ini terwujud, langkah pertama yang harus dilakukan oleh pasangan Hamas adalah memilih supir dan kernet yang profesional dengan jam terbang yang cukup memacu “bus pariwisata”.
Jangan sampai supir dan kernet bus pariwisata terpilih nantinya figur yang asing bahkan alergi dengan pariwisata.
Nantinya, bus pariwisata akan menjadi lokomotif yang akan menarik bus-bus yang lain untuk mem-back up-nya. Supir bus pariwisata terpilih nantinya akan memandu dan men-dirigen semua supir bus untuk bergerak menyesuaikan diri dengan gerak dan manuver-manuver yang dilakukan “supir bus pariwisata”.
Karena itulah, mumpung masih dalam tahap memilih ‘supir dan kernet’, diharapkan tongkat dirigen tidak salah diberikan kepada supir yang tidak memiliki sense dan soul wisata dalam rekam jejak karirnya.
Untuk bus pariwisata ini, begitu supirnya terpilih dia harus segera gaspol membenahi ekosistem pariwisata di Aceh Tengah.
Supir dan kernet “bus pariwisata” harus figur yang bisa membawa perubahan yang nyata bagi wisata DLT. Bukan sekedar unggul dalam rekam jejak, ada 3 kriteria sebagai pemimpin perubahan yang harus bisa ditangkap dari performa calon supir dan kernet (kadis, koordinator, dan sub-ko) di “bus pariwisata” nantinya:
Pertama, kemampuan diagnostic reading, memetakan masalah dan menggambarkan solusi pengembangan sektor pariwisata secara progresif. Ini bisa digali dari para calon di saat presentasi resmi atau secara informal duduk ngopi. Singkatnya figur terpilih harus memilih konsep yang membumi dan aplikatif dan terukur.
Kedua, kemampuan tim efektif, yakni kemampuan untuk meyakinkan dan menggalang dukungan stakeholder dan menyiapkan strategi mobilisasinya untuk mendukung agenda perubahan yang digagas sebagai hasil diagnostic reading.
Ada banyak pihak yang berkepentingan dengan wisata DLT, siapapun yang memimpin bus pariwisata nantinya harus bisa “memiluk” mereka.
Ketiga, kemampuan berinovasi dan beradaptasi menghadapi lingkungan strategis yang berubah dengan cepat.
Akhirul kalam, jika urusan DLT diserahkan pada yang bukan ahlinya, alamat “bus pariwisata” tak menghasilkan laba.
*Widyaiswara BPSDM Provinsi Aceh, Dosen STIHMAT Takengon