Seleksi “Supir dan Kernet” Bus Aceh Tengah

oleh

Oleh : Dr. Marah Halim, M.Ag., MH*

Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah melalui Bupati Drs. Haili Yoga, M.Si saat ini sedang atau mungkin juga telah selesai mengadakan fit and proper test pejabat pimpinan tinggi pratama (level Eselon II).

Untuk hajatan ini, Bupati telah membentuk tim seleksi berjumlah 4 orang yang memadukan unsur akademisi dan birokrat; dari akademisi ada Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA dan Prof. Dr. Ridwan Nurdin, MCL; sedangkan dari pemerintah Aceh ada Kepala Badan Kepegawaian Aceh (BKA) Abdul Qohar, S.Kom., M.Si dan Makmur Ibrahim, SH., M.Hum, mantan Kanreg BKN Aceh yang pernah menjadi pejabat eselon II di beberapa SKPA.

Dari profil tim tidak perlu diragukan lagi karena kapabilitas dan pengalamannya masing-masing, namun yang perlu juga di-cukehbacut hendaknya tim seleksi bisa bekerja dengan bebas dan merdeka sehingga bisa memberikan rekomendasi yang tepat kepada Bupati.

Di masa-masa lalu, bukan hanya di Aceh, pola lelang jabatan ini yang di Aceh digagas pertama sekali oleh Gubernur Irwandi di periode pertamanya, rentan dimanfaatkan sebagai dasar atau alat legitimasi untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas dan transparansi dalam penempatan dalam jabatan.

Mengapa perlu seleksi?

Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah adalah organisasi yang besar, karena itu kerjanya harus mengikuti prinsip-prinsip organisasi seperti adanya pembagian tugas, adanya pengkhususan, adanya perencanaan, pengawasan, dan sebagainya.

Organisasi ibarat badan manusia yang secara kasar terdiri dari kepala, tangan dan kaki, masing-masing memiliki fungsi yang tidak mungkin dipertukarkan satu sama lain.

Tugas kepala dengan organ-organ penting yang ada padanya seperti mata, hidung dan telinga adalah organ penangkap informasi atau data, karena itulah Bupati sebagai pimpinan daerah tidak boleh lemah dalam data dan informasi untuk setiap urusan penyelenggaraan pemerintahan.

SKPD yang ada ibarat tangan dan kaki yang merealisasikan apa yang diputuskan oleh hati untuk dilaksanakan, karena itu antara kepala dan kaki harus klop, jika tidak klop maka jalannya pemerintahan seperti jalannya penderita stroke; apa yang diinginkan kepala tidak nyambung ke kaki dan tangan.

Ibarat pimpinan perusahaan angkutan penumpang/barang, Bupati Aceh Tengah sedang melalui tahapan penting dalam mengawali masa jabatannya 5 tahun ke depan; tahapan itu ialah memilih sopir dan kernet untuk mengoperasikan bus-bus dan truk-truknya; truk-bus yang akan mengantar “jasa pelayanan publik” kepada masyarakat Aceh Tengah.

Ada truk yang akan mengangkut “komoditi” dasar dan fundamental yang menjadi amanat penyelenggaraan otonomi daerah, yakni kesehatan, pendidikan, infrastruktur, perumahan, sosial, serta ketertiban/ketentraman masyarakat.

Ada juga truk dan bus yang mengangkut kebutuhan-kebutuhan non pelayanan dasar yang tidak kalah pentingnya dengan keenam urusan wajib pelayanan dasar.

Kondisi awal yang harus segera tergambar pada Bupati sebagai top manager adalah selama ini “truk dan truk” mana yang telah mengantarkan muatannya dan sampai dengan memuaskan kepada masyarakat?

Karena ada banyak faktor yang membuat muatan-muatan pelayanan publik tidak ternikmati oleh calon penerimanya; ada yang habis digasak oleh “sopir”, ada yang lebih banyak untuk biaya “reparasi truk”, ada yang terkuras karena lambannya perjalanan, dan belum lagi alasan-alasan post majeur, dan sebagainya; intinya muatan angkutan tidak sampai sebagimana mestinya.

Langkah-langkah pemanasan birokrasi yang diambil oleh Bupati Aceh Tengah yang bisa terpantau melalui media sosial seperti terjun langsung melihat kondiri “truk” dan “sopir” adalah langkah-langkah awal yang cukup baik untuk mendapatkan data primer, tidak mencukupkan diri pada laporan-laporan ABS.

Interaksi langsung dengan masyarakat sebagai penerima manfaat sangat penting dilakukan, mungkin dalam hal ini perlu juga meniru gaya kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi (KDM) Gubernur Jawa Barat.

Gaya KDM persis gaya Khalifah Umar ibn Khattab yang terjun langsung ke lapangan; kondisi nyata di lapangan memberi gambaran tentang proses untuk penyelenggaraan suatu urusan.

Seorang top manager wajib memahami -tidak harus tahu detail-tujuan dan proses penyelenggaraan setiap urusan. Lemah pemahaman proses hanya akan memberi ruang nyaman pada “sopir dan kernet” yang ABS.

Bagaimana menyeleksi “supir” SKPD?

Pesan terpendam adalah untuk keenam urusan ini hendaklah dipilih “sopir dan kernet” yang betul-betul mumpuni dan memiliki sertifikat dan lisensi yang layak.

Untuk keenam urusan ini, selayaknya sopir dengan lisensi SIM B2 Umum, yaitu sopir untuk mengemudikan kendaraan alat berat, kendaraan penarik, atau kendaraan bermotor yang menarik kereta tempelan/gandengan umum dengan berat lebih dari 1.000 kg.

Hal ini karena memang keenam urusan wajib pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perumahan, sosial dan tramtib) itu sangat menentukan sejahtera atau tidaknya masyarakat.

Keenam urusan itu adalah syarat mutlak yang harus dinikmati masyarakat agar bisa mengakses urusan-urusan lain yang mengarah pada kesejahteraan.

Untuk “bus dan truk” yang mengangkut/menyelenggarakan urusan wajib non pelayanan dasar bolehlah diserahkan pada sopir-sopir dengan lisensi SIM B1 Umum, yakni sopir untuk mengemudikan mobil penumpang umum dan mobil barang umum dengan berat lebih dari 3.500 kg seperti bus dan truk, artinya satuan kerja yang menyelenggarakan urusan-urusan wajib non pelayanan dasar itu termasuk satuan kerja yang masuk kategori primer juga, tetapi sedikit lebih rendah dari urusan wajib pelayanan dasar.

Selanjutnya untuk satuan kerja selevel kantor, UPTD, lembaga daerah, atau yang menyelenggarakan urusan penunjang setidaknya diberikan kepada “sopir-sopir” dengan lisensi sekelas SIM A Umum untuk mengemudikan mobil penumpang umum dan mobil barang umum dengan berat tidak lebih dari 3.500 kg seperti adalah angkutan kota.

Harapan masyarakat adalah terpilihnya sopir dan kernet “bus” Aceh Tengah yang mahir dan lihai memacu “bus” Aceh Tengah di jalan yang sempit, berkelok dan berlobang.

Tidak ada jalan di Aceh Tengah yang lurus-lurus saja seperti jalan tol, justru jalan-jalan Aceh Tengah penuh dengan tanjakan dan turunan tajam, disinilah dibutuhkan sopir dan kernet yang berpengalaman.

Memang faktor pengalaman tidak bisa juga dijadikan satu-satunya pertimbangan memilih. Pilihan selalu didasarkan pada dua aspek, loyalitas dan kapabilitas.

Loyalitas berdasarkan ukuran obyektif pada komitmen yang tinggi pada tuntutan kinerja dan mutu yang ditumpahkan dalam RPJM, bukan loyalitas buta dan semu. Kapabilitas juga bukan kapabilitas merekayasa anggaran, tetapi kapabilitas menyampaikan semaksimal “muatan truk” pada para mustahiq-nya.

Harapan juga agar pilihan bukan karena faktor like dan dislike hanya karena dendam politik; sebab dalam politik berlaku asas “tidak ada teman dan musuh yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan”.

Karena itu jika ada pejabat-pejabat daerah yang terdeteksi terlibat dalam dukung dan tidak mendukung calon, sepertinya itu hanyalah karena keterpaksaan; hana mangat, karena itu mereka lakukan bagaikan makan buah simalakama; bahwa ada satu dua yang menyolok betul dosis politiknya ketimbang dosis birokratnya tentu telah terpetakan oleh “Direktur PT Aceh Tengah”.

*Widyaiswara BPSDM Aceh, Dosen STIHMAT Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.