[Cerpen] Matahari Kopi Para Pedidong Gayo

oleh
{"remix_data":[],"remix_entry_point":"challenges","source_tags":[],"origin":"unknown","total_draw_time":0,"total_draw_actions":0,"layers_used":0,"brushes_used":0,"photos_added":0,"total_editor_actions":{},"tools_used":{"resize":1,"transform":1},"is_sticker":false,"edited_since_last_sticker_save":true,"containsFTESticker":false}

Oleh : Ine Salvani Renggali SY*

Pagi itu, banyak orang-orang mengenakan pakaian seragam warna hitam berrelief khas kerawang Gayo. Mengenakan ikat kepala yang lancip ke atas juga sebuah bantal kecil pada masing-masing tangan.

Aku tau ini adalah sekumpulan orang-orang yang akan berdidong di tanah lapang, sebuah pementasan secara massal tanpaknya akan digelar di sana.

Matahari perlahan naik memberi penerangan, awan gemawan mengitari sehamparan semesta. Udara antara hangat dan dingin dihantar hembusan angin.

Aku pun bergegas ke sana untuk menyaksikan pementasan atau pertunjukan itu. pertunjukan itu digelar di lapangan Sengeda Kabuapen Bener Meriah.

Setelah sampai di sana ternyata ada banyak peserta yang ikut serta dalam pertunjukan ini selain banyak juga penonton yang telah memadati lapangan, berdiri disepanjang lingkaran lapangan pacuan kuda itu.

Selain ada menteri negara RI, juga pejabat daerah dan provinsi juga tak ketinggalan wartawan serta masyarakat umum yang memadatai lapangan yang berada di kaki gunug bur Telong itu.

Pertunjukan itu pun dimulai, ada yang sebagian bertepuk menggunakan bantal ada juga yang bertepuk menggunakan tangan, suara yang sangat tenang dan indah untuk didengar dengan gerakan tubuh yang serentak ke kanan dan ke kiri sambil menggoyangkan kepala mengikuti irama tepukan didong.

Sambil berjalannya pertunjukan itu ternyata ada satu penampilan yang digabungkan di tengah-tengah para pedidong yang banyak itu.

Sebuah pertunjukan yang tidak biasa, yaitu memadukan pertunjukan seni tradisional didong Gayo dengan baca puisi modern oleh dua orang penyair serta seorang anak usia 4 tahun. Kedua penyair itu adalah Fikar W Eda dan Salman Yoga S.

Ketika pertunjukan berlangsung dari lingkaran seperti bualatan obat nyamuk raksasa itu seorang lelaki bangun dari tempat duduknya, berjalan mengelilingi pedidong yang berjumlah 2014 orang itu sambil melihat kekanan kekiri. Ia membaca tulisan yang ada di kertas.

Kertas yang dia bacakan ternyata puisi yang berjudul “Matahari Kopi”. “Matahari Kopi” dalam terjemahan dan tafsirnya puisi itu berarti adalah pohon-pohon kopi yang tumbuh di seluruh tanah Gayo dan kopi ini diibaratkan seperti matahari yang terbit dan tumbuh dari atas tanah dan dari perut bumi.

Bait berikutnya dia juga membacakan sambil berjalan melingkari para pedidong dengan berteriak memegang mikrofon. “Matahari Kopi” ternyata bukan hanya terbit dari perut bumi tapi juga muncul dan hanyut dari Danau Lut Tawar, sebuah danau berair tawar yang terletak di Kabupaten Aceh Tengah.

Matahari yang dimaksud adalah air yang mengalir deras dari hulu dan Danau Lut Tawar ke hilir hingga ke selat Malaka, dan air itu kemudian dimanfaatkan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dapat menerangi seluruh pelosok negeri dengan kekuatan 8,5 megawatt.

Lelaki itu kemudian kembali berjalan melingkari para pedidong-pedidong yang terus bertepuk-tepuk tangan sesuai irama dengan energiknya. Demikianpun dengan ceh-ceh yang terus melakukan dendangan-dendangan syair didong-nya yang syahdu.

Seorang anak berusia 4 tahun itu juga lengkap menggenakan baju kerawang dan topi Pengkah mengikutinya dari belakang. Lelaki itu kembali membacakan puisi yang berisi tentang matahari yang terbit dari pucuk-pucuk pinus burni Telong.

Matahari yang dimaksud adalah jutaan hektar perdu-perdu merkuri atau tusam yang menjadi kekayaan bumi masyarakat Gayo, tusam ini diolah menjadi kertas krap atau kertas semen.

Disamping itu batangnya selain digunakan sebagai bahan bangunan getahnya juga digunakan sebagai bahan baku cat, roda sepeda motor, mobil, bahkan roda pesawat udara dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Itulah yang dimaksud dengan matahari yang terbit dari pucuk-pucuk pinus.

Lelaki itu terus berjalan mengitari para pedidong-pedidong sambil mengangkat kertas dan melayangkannya ke udara. Sementara itu anak kecil yang berusia 4 tahun tiba-tiba datang berjalan ke hadapan lelaki itu dan lelaki itu kemudian mengangkatnya ke bahunya sambil terus membacakan bait-bait puisi terakhirnya

Gayo
Gayo
Gayo matahari yang terbit dari perut bumi
Matahari mengapung dan hanyut dari Danau Lut Tawar
Matahari dari pucuk-pucuk pinus dan burni Telong

Ini menandakan generasi harus berpendidikan agar kekayaan alam bisa diolah menjadi kemakmuran bersama.

Setelah lelaki itu selesai membacakan puisinya ia kembali duduk di tempatnya semula, para pedidong pun terus bertepuk-tepuk tangan sambil menggoyangkan kepala mengikuti irama. Para ceh-ceh senior pun terus melakukan lantunan lagu-lagu yang dia bawakan dalam didong massal tersebut.

Pertunjukan itu pun berlangsung selama kurang lebih satu jam setengah, disaksikan oleh ribuan masyarakat, pejabat daerah juga ada beberapa menteri negara.

Makna dari puisi itu baru dapat dimengerti oleh para pemuda setelah beberapa hari usai pertunjukkan. Mereka menonton ulang melalui rekaman video di seluler mereka, melalui tayangan yutube atau juga melalui publikasi sejumlah media.

Selebihnya pemuda yang ikut menonton atau menyaksikan pementasan saat itu lebih menikmati sebagai sebuah pertunjukkan seni yang belum pernah ada sebelumnya.

Dari kejauhan aku berdiri kaku menyaksikan pementasan kolaboratif yang spektakuler itu. Tanpa mampu bertepuk tangan atau mengucapkan sesuatu. Kagumku di tepi lingkaran lapangan pacuan kuda Gayo dan gagah gunung Bur Telong. []

*Penulis adalah alumnus MAN 1 Takengon dan kini tercatat sebagai mahasiswi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh-Jantho Jurusan Pengkajian Sastra dan Budaya.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.