Takengon-LintasGAYO.co : Penerapan Zona Nilai Tanah (ZNT) Dalam Penentuan Nilai Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kecamatan Kebayakan, Bebesen, Lut Tawar, Bies, Pegasing dan Bintang mengacu pada Keputusan Bupati Aceh Tengah Nomor: 590/331/DPKAT/2023 tanggal 5 Juni 2023 dinilai tidak memiliki kepastian hukum.
Maharadi Aktivis anti korupsi Aceh, menilai lemahnya regulasi dan kesenjangan dalam penerapan zona nilai tanah di Kabupaten Aceh Tengah, adalah kurangnya dasar hukum yang kuat.
“Hanya dengan mengacu pada Surat Keputusan Bupati sebagai instrumen regulasi, proses pemungutan pajak BPHTB menjadi tidak memiliki kepastian hukum dan legalitas yang cukup,” sebut Maharadi
Seharusnya, diperlukan dasar hukum yang lebih kuat. “Instrumen hukum di wilayah Aceh Tengah saat ini hanya sebatas Surat Keputusan Bupati, seharusnya secara regulasi minimal Peraturan Bupati atau bahkan menjadi Peraturan Daerah/ Qanun Kabupaten,” tegas Maharadi.
Pemberlakuan Surat Keputusan Bupati tersebut juga terjadi kesenjangan dan berlaku tidak adil karena hanya diterapkan di Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Tengah diantaranya Kebayakan, Bebesen, Lut Tawar, Bies, Pegasing dan Bintang sementara masih 9 Kecamatan yang belum diberlakukan.
Sejak ditandangani pada bulan Juni 2023 SK Bupati tersebut juga masih belum tersosialisasikan dengan baik di tingkat Kecamatan maupun Desa.
“Regulasi yang ada tidak cukup jelas dan kuat untuk mengatur zona-zona nilai tanah dengan baik. Akibatnya, banyak lahan yang diberi nilai yang tidak realistis atau tidak sesuai dengan potensi sebenarnya. Hal ini telah memunculkan kesenjangan yang signifikan dalam nilainya antara zona-zona yang berdekatan,” kata Maharadi.
Masalah lainnya adalah dalam penerapan ZNT di Kabupaten Aceh Tengah. Meskipun regulasi yang ada seharusnya menjadi panduan bagi pemerintah daerah dalam menentukan nilai tanah, implementasinya masih belum konsisten.
Terdapat kasus-kasus dimana pemerintah daerah memberikan penilaian tanah yang berbeda untuk lahan yang sebenarnya memiliki potensi yang sama. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan kebingungan di antara pemilik lahan dan pengembang yang ingin berinvestasi di wilayah ini.
“Dalam beberapa kasus, terdapat praktik-praktik korupsi dan nepotisme dalam penentuan nilai tanah. Hal ini tidak hanya merugikan pemilik lahan yang nilainya ditentukan secara tidak adil, tetapi juga menghambat perkembangan pembangunan yang seharusnya dihasilkan dari penggunaan tanah yang optimal,” ujarnya.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah daerah Kabupaten Aceh Tengah harus mengambil tindakan yang tegas dalam memperkuat regulasi terkait ZNT.
Regulasi harus jelas, kuat, dan dapat memberikan panduan yang konsisten dalam menentukan nilai tanah di wilayah ini. Selain itu, pengawasan dan kontrol yang ketat harus diterapkan untuk mencegah praktik korupsi dan nepotisme dalam penentuan nilai tanah.
“Secara regulasi BPHTB diatur dalam UU Nomor Nomor 28 tahun 2009, maka Kabupaten harus mempersiapkan instrumen yuridis untuk
melaksanakan pemungutan BPHTB sebagai pajak daerah,” tandasnya.
[Red]