Oleh : Fauzan Azima*
Andai aku berjumpa dengan jin, lalu dia memberikan kesempatan kepadaku untuk mengabulkan tiga permintaan. Aku hanya akan mengajukan satu proposal; tolong kembalikan ingatanku.
Dalam hidup ini, soal review ulang memory sangat penting. Apalagi akhir-akhir ini wacana kesadaran “Jangan lupa identitas” seperti mendapat moment di tengah berkembangnya revolusi industri 4.0 atau dunia dalam genggaman.
Masalahnya kajian tentang identitas hanya pada dataran “syariat” tentang adat, budaya, asal usul, sejarah dan penghormatan pada nenek moyang yang bersifat komunal, belum kembali kepada diri.
Memperkuat kajian yang mengarah pada “ashobiyah” akan melahirkan kebencian, kesombongan dan hilangnya kasih sayang. Merasa diri paling benar dan menghalalkan darah di luar kelompoknya menjadi kekhawatiran dan semakin menjauhkan diri dari kebaikan.
Kalau identitas diartikan hanya pakaian adat, ya jahit saja baju adat dan pakailah, serta kalau identitas diartikan asal usul keturunan buat saja silsilah keluarga, atau kalau identitas dimaknakan sejarah susunlah buku sejarah yang gemilang. Sekali lagi, itukah identitas yang menyelamatkan kita?
Jalannya barangkali demikian, namun belum sampai ke tujuan akhir. Identitas selamat (Islam) itu seperti pepatah “Kuman diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tak tampak.” Artinya sulit menemukan identitas diri yang sebenar diri meskipun dia berada di dalam diri.
Alangkah ruginya hidup ini kalau belum sampai kepada “Siapa yang mengenal namanya, maka mengenal dirinya, siapa mengenal diri maka mengenal Tuhannya” kemudian diteruskan “Awal dari agama adalah mengenal Allah.”
Sesungguhnya karena kesalahan yang kita perbuat dengan tindakan, sikap dan bathin telah membuat memori identias sejatinya kita disimpan pada satu tempat yang tidak kita tahu persisnya, tetapi petunjukanya berada pada kajian rasa.
Salah satunya adalah rasa pada lidah. Sehingga hakikat makna Rasulullah (rasa bersama Allah), maulud (maunya mulut) dan maulid (maunya lidah) saling berkaitan. Sehingga tradisi maulud atau maulid orang Aceh dengan “idangan” sudah tepat.
Pantas saja, pada setiap bulan Ramadhan, para orang-orang tua dahulu membuat pecel dengan 44 macam dedaunan, termasuk daun jelatang, ternyata tujuannya membangun kesadaran mengingat sejatinya diri dengan rasa.
Aku dengan segala keterbatasan mencari identitasku yang hilang dengan menikmati rasa kopi. Semoga dengan menyeruput kopi dengan sejumlah variannya bisa “terkopi” seluruh ilmu pengetahuan dan siapa identitasku di masa lalu serta “kupikir” aku akan memilahnya untuk kebaikanku melalui akal fikiran, rasa dan perasaan.
(Mendale, Juni 1, 2023)