Farmer’s Agro Market Dikembangkan BDP Saree

oleh
Aktivitas pasar tradisional di Jalan Peteri IjoTakengon. (Kha A Zaghlul)

Oleh : Fathan Muhammad Taufiq

Aktivitas pasar tradisional di Jalan Peteri IjoTakengon. (Kha A Zaghlul)
Aktivitas pasar tradisional di Jalan Peteri IjoTakengon. (Kha A Zaghlul)

Permasalahan klasik tapi cukup krusial yang selalu dihadapi oleh para petani sampai dengan saat ini adalah persoalan pemasaran produk pertanian yang telah mereka hasilkan melalui kegiatan usaha tani. Terus meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani di bidang teknis budidaya sebagai dampak interaksi petani dengan teknologi informasi ditambah pembinaan intensif yang dilakukan oleh para penyuluh pertanian, akhirnya berdampak positif pada peningkatanan produktivitas hasil pertanian mereka. Namun sayangnya, peningkatan produktivitas belum tentu bisa sejalan dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, salah satunya disebabkan masih lemahnya “bargaining position” petani daam mata rantai pemasaran produk pertanian. Akibatnya harga produk pertanian sering mengalami fluktuasi yang cukup tajam, pada saat panen raya misalnya, harga komoditi pertanian bisa anjlok ke titik terendah, sementara pada saat saat produksi berkurang, harganya akan melonjak drastis.

Sebenarnya kondisi seperti itu bukan hal yang aneh, karena teori supply and demand dalam prinsip ekonomi memang begitu, namun demikian fluktuasi harga yang terlalu tajam sangat berdampak pada tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani. Terjadinya fluktuasi harga produk-produk pertanian memang sangat terkait dengan kontinuitas produksi, dimana pada waktu tertenu produksi berlimpah (over product) sementara di waktu lainnya produk pertanian tertentu langka di pasaran. Kontinuitas produk pertanian ini tentu saja terkait erat dengan prilaku petani itu sendiri, dimana sebagian besar dari petani masih menganut pola bertani secara “latah”, misalnya satu petani menanam cabe, kemudian petani lainnya juga ikut-ikutan menanam karena pada saat itu harga cabe cukup baik. Akibatnya, ketika masa panen tiba, produk yang dihasilkan berlebih dan tidak semuanya bisa tereserap pasar, kalaupun kemudian ada yang menampungnya, harganya relatif rendah.

Menjaga kontinuitas produksi kemudian menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh para petani yaitu dengan menerapkan pola dan jadwal tanam bertingkat atau bergilir. Misalnya, pada area sentra produksi cabe atau bawang merah, penanaman dilakukan secara bertingkat aau bergilir, contohnya pada minggu pertama bulan Januari dilakukan penanaman 100 hektar oleh 5 kelompok tani, kemudian minggu berikutnya juga 100 hektar juga dengan 5 kelompok tani lainnya, dan seterusnya. Pada saat kelompok terakhir melakukan penanaman, kelompok pertama sudah mulai panen, sehingga kontinuitas dan kuantitas produk tetap terjaga, karena setiap minggunya ada kelompok yang panen. Dengan demikian tidak ada kekosongan atau kelangkaan produk di pasaran, sehingga harga komoditi pertanian tersebut akan relatif stabil.

Namun selain kontinuitas produksi, fluktuasi harga juga bisa terjadi akibat para petani belum memiliki akses pemasaran yang baik, salah satunya mereka belum memilki pasar sendiri untuk memasarkan produk pertanian yang mereka hasilnya, sehingga kendali harga masih tetap dipegang oleh para pedagang bahkan mash bisa dipermainkan oleh para spekulan. Karena kendali harga masih tetap dipegang oleh para pedagang, secara otomatis posisi tawar petani menjadi lemah, harga yang ditetapkan oleh para pedagang itulah yang kemudian mau tidak mau harus diikuti oleh petani, meskipun dalam kondisi tertentu bisa saja sangat merugikan mereka.

Kementerian Pertanian yang merupakan institusi yang dianggap paling bertanggung jawab dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, kemudia mulai mencari cara agar posisi tawar petani dalam akses pemasaran produk pertanian semakin meningkat. Tahun 1992 yang lalu, Kementerian Pertanian (waktu itu masih bernama Departemen Pertanian) kemudian meluncurkan program “Pasar Petani”, dengan cara memberi akses dan fasilitas bagi para petani untuk bisa memasarkan produk pertanian secara langsung di pasar yang disediakan khusus untuk mereka. Dengan konsep pasar petani ini, para petani diberikan “lapak” khusus untuk bisa memasarkan langsung hasil pertanian mereka dan bertransaksi langsung dengan konsumen. Konsep ini sebenarnya sangat bagus, karena bisa memutus mata rantai perdagangan hasil pertanian, sehingga profit margin yang diterima petani bisa lebih besar.

Namun sepertinya konsep pasar petani ini kemudian berjalan nyaris tanpa pembinaan lanjutan, lemahnya manajemen pemasaran yang dimiliki oleh para petani, membuat pasar petani tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Demikian juga dengan jangkauan pasar yang hanya bersifat lokal dengan konsumen terbatas, membuat para petani hanya bisa memasarkan hasil pertanian mereka di tingkat lokal, sedangkan produk pertanian yang mereka hasilkan tidak semuanya bisa terserap oleh konsumen lokal. Akhirnya para pegadang juga yang memainkan peran untuk memasarkan produk pertanian tersebut ke luar daerah, karena petani memang tidak dibekali ilmu pemasaran yang memadai, sehingga masih kesulitan ketika akan membangun jaringan pasar di luar daerah. Mestinya ketika dibangun pasar petani, para petani juga dibekali pengetahuan dengan ilmu dan manajemen pemasaran melalui berbagai pelatihan termasuk bagaimana membangun link ke lauar daerah dan bagaimana mem“protect” produk lokal dari “serbuan” produk serupa dari luar.

Ada memang beberapa pasar petani yang kemudian tetap eksis sampai sekarang, seperti pasar petani yang digelar setipa hari Jum’at di Komplek Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Namun kebanyakan pasar petani yang sudah dibangun hampir di semua daerah, kini sudah berubah menjadi pasar konvesional dimana porsi petani untuk memasarkan langsung hasil pertanian mereka, semakin kecil. Salah satu penyebabnya, banyak pemerintah daerah yang tidak memahami fungsi dan peran pasar petani, karena minimnya sosialisasi dan pendekatan dari pusat ke daerah. Posisi tawar petani juga menjadi semakin lemah akibat “serbuan” produk pertanian dari luar yang memang tidak bisa dibendung lagi di era pasar bebas sekarang ini. Kalau kondisi seperti ini masih terus dipertahankan, upaya mensejahterkanan melalui usaha tani, sepertinya akan semakin sulit dicapai.

Berangkat dari keprihatinan atas kondisi tersebut, Balai Diklat Pertanian Aceh atau BDP Saree, sebagai salah satu stake holders pertanian yang akan bertindak sebagai tuan rumah pelaksanaan Pekan Nasional (Penas) Petani Nelayan ke XV, menggagas konsep pasar petani jilid dua yang diberi nama “Farmer’s Agro Market”. Pada prinsipnya konsep farmer’s agro market ini mengadopsi konsep pasar petani yang udah ada sebelumnya, namun dengan penaekanan-khusus yang berfungsi sebagai bentuk “proteksi” kepada petani. Implementasi dari konsep ini sudah mulai digarap oleh BDP Saree dengan membangun Farmer’s Agro Market di komplek balai diklat pertanian yang terletak persis di lintasan utama jalur Medan – Banda Aceh itu.

Menurut Kepala BDP Saree, drh. Ahdar, MP yang juga pemilik gagasan itu, fasilitas yang sedang dibangun tersebut nantinya akan menjadi tempat bagi para petani di wilayah Saree dan sekitarnya untuk memasarkan langsung produk pertanian mereka dan bisa bertransaksi langsung dengan para konsumen. Untuk mem”protect” para petani yang akan memasarkan hasil pertanian mereka, Ahdar menekankan bahwa produk yang boleh dijual di pasar tersebut adalah produk pertanian lokal yang memilki standar mutu baik dan yang lebih penting adalah produk-produk pertanian yang dijual disana adalah benar-benar produk organik. Dengan demikian agro market yang saat ini dalam tahap pembangunan saranan dan prasarana ini, akan memiliki kekhasan sehingga bisa menjadi daya tarik konsumen untuk berbelanja disini, karena produk pertanian yang dibeli disini benar-benar produk organik yang tentu saja aman untuk dikonsumsi.

“Wilayah Saree dan sekitarnya adalah sentra berbagai produk pertanian termasuk produk-produk olahanan hasil pertanian, tapi selama ini para petani belum memiliki akses pemasaran yang bisa mereka kendalikan sendiri, konsep yang kami tawarkan ini diharapkan akan mampu menjadi solusi permanen bagi petani untuk bisa memasarkan produk pertanian mereka sekaligus menetapkan harga sendiri dari produk yang merka hasilkan, sehingga pendapatan mereka bisa meningkat dan kesejahteraan mereka juga ikut terdongkrak” ungkap Ahdar.

Lebih lanjut Ahdar menjelaskan, meskipun pembangunan agro market ini ada kaitannya dengan even Penas ke XV tahun 2017 dimana Aceh menjadi tuan rumah, namun keberadaan agro market ini akan terus dipertahankan selamanya dan bisa menjadi percontohan bagi kabupaten/kota di seluruh provinsi Aceh untuk bisa mengadopsi konsep ini dan menerapkannya di daerah masing-masing.

“Selama ini teman-teman penyuluh sudah melakukan pembinaan kepada petani dan produktivitas hasil pertanian semakin hari semakin meningkat, tapi kalau akses pemasaran produk pertanian ini tidak dibuka dan dikelola secara berkesinambungan, usaha mereka untuk meningkatkan kesejahteraan petani akan sia-sia” lanjut Ahdar “Insya Allah, awal tahun 2017 nanti Farmer’s Agro Market ini sudah bisa difungsikan dan para petani akan punya tempat sendiri untuk memasarkan produk pertanian yang selama ini mereka hasilkan” lanjutnya.

Ahdar juga optimis, konsep yang dia gagas iti akan berhasil karena tepat yang menjadi lokasi agro market ini merupakan kawasan yang ramai dilintasi oleh banyak orang orang karena memang berada di jalur utama yang menghubungkan kota Banda Aceh dengan kota-kota besar lainnya, apalagi kawasan ini juga sedang dikembangkan menjadi kawasan agrowisata yang tentu saja akan banyak dikunjungi wisatawan, dan agro market ini juga diharapkan menjadi salah satu daya tari bagi para wisatawan yang mengunjungi daerah ini.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.